Jakarta, JPO-Pagi itu, Katedral menjadi lautan doa. Ribuan umat katolik memadati ruang suci, bersatu dalam keheningan yang nyaring, menyaksikan Jalan Salib yang bukan sekadar pementasan, melainkan perenungan.
Di bawah langit Jumat Agung yang redup, hadir "Mater Purissima" — Ibu yang sangat suci — tajuk Jalan Salib Kreatif tahun ini yang mengambil perspektif yang jarang disentuh: kisah sengsara Kristus dari mata Bunda Maria.
Tangis haru pecah di beberapa sudut. Bukan karena adegan yang menyayat, tetapi karena kehadiran yang sungguh hidup. Di atas panggung, Yesus tak sekadar diperankan, tapi dihidupi.
"Sebenernya saya tidak terpikirkan ya bahwa saya dapat memerankan peran ini dan awalnya saya kira hanya sebagai sampingan, tetapi saya merasakan suka cita itu ketika benar-benar memerankan sosok Yesus itu benar-benar merasakan suatu karunia yang menyentuh ke hati. Sehingga dari pendalamannya, sampai bahkan kegiatan sehari-hari kita masih tetap harus bersama yesus," ujar Arya Setiawan Tarigan (20), pemeran Yesus yang tampak masih terisak usai pementasan.
![]() |
Umat Katolik menampilkan prosesi Tablo Kisah Sengsara Yesus Kristus saat Hari Jumat Agung di Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (18/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan |
Arya menjalani proses panjang untuk sampai ke peran yang ia sebut sebagai 'bagian dari Allah'. Mulanya ia ragu. Bahkan orang tuanya sempat tidak mengizinkannya.
"Tetapi Tuhan berkata lain, saya bisa di posisi ini," tuturnya.
Untuk memahami sosok Yesus, Arya tidak hanya membaca Kitab Suci. Ia menggali referensi lintas iman, mencermati bagaimana pandangan Yahudi terhadap Yesus, dan menelusuri geografi Tanah Suci.
"Yesus itu bukan sesosok manusia saja, tetapi bagian dari Allah, di mana bagaimana kita memerankan sesosok Allah tapi dari segi manusia," ucap dia.
![]() |
Umat Katolik menampilkan prosesi Tablo Kisah Sengsara Yesus Kristus saat Hari Jumat Agung di Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (18/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan |
Di tengah umat yang berlinang air mata, Arya menyampaikan pesannya.
"Saya ingin menyampaikan bahwa Yesus ke dunia ini bukan sebagai Yesus saja, melainkan ada perantara yaitu Bunda Maria itu sendiri. Maka dengan sesosok Bunda Maria kita harus menghormati beliau supaya tanpa kehadiran beliau, Yesus tidak akan hadir ke dunia ini," tambah dia.
Bagi Arya, pendalaman peran bukan sekadar akting, tapi juga spiritual. Bahkan, ia juga disarankan untuk melakukan pengakuan dosa.
"Kami melakukan rekoleksi bersama romo, kami juga disarankan pengakuan dosa," katanya.
Sementara untuk peran Bunda Maria, Friska Magdalena memikul peran yang berat dengan hati yang penuh syukur.
"Awalnya saya diajak untuk bergabung dalam JSK (Jalan Salib Kreatif) ini. Begitu banyak masukan positif dari teman-teman yang langsung menunjuk saya dan mendoakan saya semoga menjadi Bunda Maria. Saya juga nggak tahu kenapa doa itu dilontarkan kepada saya," cerita Friska.
Doa itu terkabul. Friska menjadi Maria. Tapi bukan Maria yang diam dan lembut saja, melainkan Maria yang meratapi tujuh luka, tujuh duka.
"Saya merasa diri saya masih sangat kurang sempurna tapi diberikan peran seperti ini... Saya mohon doa dari Bunda Maria supaya saya benar-benar bisa memerankan sebagai dirinya sampai saat ini," ujarnya.
Di dalam pementasan itu, ketika Yesus jatuh untuk ketiga kalinya dan Maria menatapnya dari kejauhan, ribuan pasang mata tak kuasa menahan air mata. Sebab mereka tahu, ini bukan drama. Ini adalah cinta yang disalibkan, dan duka seorang ibu yang menanggung dunia bersama putranya.
Dan di altar yang harum dupa, umat pun pulang. Bukan hanya membawa gambar salib dalam ingatan, tetapi juga sosok Bunda Maria yang memeluk luka manusia dengan kelembutan surgawi. (JPO-Red)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE