Jakarta, JPO-Penunjukkan Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet menuai polemik. Pengangkatannya dianggap melanggar Undang Undang TNI dan menjadi “noda awal reformasi TNI”. Tapi pihak Istana berdalih posisi Teddy tidak setara menteri, dan Presiden Prabowo telah mengubah nomenklaturnya menjadi seperti “Sekretaris Militer, Sekretaris Pribadi”.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Hasbi mengatakan pria yang akrab disapa Mayor Teddy itu akan bekerja di bawah Kementerian Sekretariat Negara. Artinya posisi dia bukan setara dengan menteri.
“Kemungkinan besar Seskab (sekretariat kabinet) itu kemungkinan besar ada di bawah Kementerian Sekretariat Negara nantinya,” kata Hasbi, Senin (21/10/2024).
Apakah Mayor Teddy harus mundur atau pensiun dini? Tanya wartawan di Istana. “Saya akan mendalami. Saya belum dapat arahan dari presiden, saya baru saja dilantik. Tanyanya ringan-ringan dulu saja,” jawab Hasbi.
Sufmi Dasco Ahmad, politikus Gerindra sekaligus tangan kanan Presiden Prabowo Subianto ikut menimpali. Menurutnya, Mayor Teddy tak perlu pensiun dini atau mundur dari keanggotaan TNI.
Kata Dasco, Presiden Prabowo sudah mengubah nomenklatur pejabatnya, sehingga jabatan Mayor Teddy sama seperti jabatan-jabatan lainnya yang legal diisi oleh perwira TNI atau Polri.
"Seperti Sekmil (Sekretaris Militer), Sekpri (Sekretaris Pribadi), dan lain-lain," kata Dasco seperti dikutip dari Antara.
Dia menambahkan, jabatan tingkat seperti yang diduduki Teddy itu batasan paling tinggi adalah setara eselon dua, atau berpangkat Brigadir Jenderal. Dengan demikian, kata Dasco, dengan pangkat Mayor, Teddy masih bisa mengisi jabatan sekretaris tersebut.
"Dengan perubahan nomenklatur ini, dapat diisi oleh saudara Teddy tanpa harus pensiun dari TNI karena bukan setingkat menteri," kata dia.
Karena statusnya yang menjadi anggota aktif TNI menduduki jabatan yang tidak diatur dalam UU TNI, kata peneliti SETARA Institute, Ikhsan Yosarie.
“Karena yang jelas Pasal 47 ayat 2 Undang-Undang TNI itu sudah spesifik menjabarkan kementerian mana saja yang diperbolehkan diduduki oleh TNI aktif, tanpa pensiun dini,” katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (22/10/2024).
Merujuk pada beleid ini, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Namun syarat ini tidak berlaku ketika prajurit aktif menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Menurut Ikhsan, dalih Istana tentang jabatan seskab berada di bawah kementerian sekretariat negara sebagai “tidak nyambung”.
“Jadi, argumentasi soal eselon dua yang seskab, atau di bawah kementerian, itu sama sekali tidak relevan dan tidak menjawab persoalan regresi reformasi TNI,” katanya.
Ia menggambarkan penunjukan anggota aktif TNI di jabatan sipil yang tidak sesuai dengan aturan sebagai “noda awal” di pemerintahan Prabowo terhadap semangat reformasi TNI.
“Ini sudah noda awal. Apakah dia akan semakin membesar atau dia bisa dihapus, dicuci atau diminimalis. Tapi tetap saja maksud saya dihapus itu bagaimanapun Mayor Teddy ini harus pensiun di sini dulu,” kata Ikhsan.
Mengapa TNI aktif di jabatan sipil dipersoalkan?
Reformasi 98 memiliki agenda untuk menghapus doktrin Dwifungsi ABRI–Angkatan Bersenjata Republik Indonesia–sebutan TNI era Orde Baru. Selain menjaga pertahanan, TNI di masa itu juga berperan dalam sektor politik sosial.
Para pimpinan militer kala itu menduduki posisi-posisi sipil seperti bupati, gubernur, menteri hingga jabatan lainnya. Fungsi tentara seperti itu kemudian disebut aktivis disalahgunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menciptakan "rezim otoriter yang melemahkan demokrasi".
Konsep itu disebutnya menempatkan militer sebagai alat pertahanan keamanan negara dan juga berperan dalam kehidupan ideologi, politik, ekonomi hingga sosial.
Doktrin itu kemudian dikukuhkan sebagai kebijakan politik oleh Suharto melalui Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. UU ini telah dicabut pada 2002.
Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 82 itu berbunyi, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasar Undang Undang Dasar 1945 dalam segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.”
Di bawah rezim Suharto, ABRI menduduki jabatan-jabatan sipil secara luas, mulai dari ketua rukun tetangga (RT), kepala daerah, anggota parlemen hingga menteri.
Pascareformasi, TNI mengalami reformasi dan Dwifungsi ABRI dihapus.
Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun, kecuali pada jabatan terbatas yang telah ditentukan dalam UU TNI. Seorang anggota TNI saat mengikuti pelatihan
Penempatan keanggotaan aktif TNI pada jabatan sipil seperti penunjukkan Mayor Teddy sebagai sekretaris kabinet bukan satu-satunya yang menjadi polemik.
Paling banyak dari mereka menempati posisi komisaris BUMN, diikuti pejabat kementerian sampai staf khusus menteri.
Dalam polemik lainnya, pada 2019, anggota TNI aktif, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo yang ditunjuk menjadi kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menuai kritik.
BNPB saat itu tidak masuk dalam daftar lembaga yang diperbolehkan diduduki oleh keanggotan aktif TNI, sebagaimana diatur dalam UU TNI.
Pasal 63 ayat 2 menyebutkan kepala BNPB dapat dijabat oleh PNS, prajurit TNI, anggota Polisi, atau profesional. Jabatan ini juga diberikan hak keuangan dan administrasi setingkat menteri.
Sejak itu, posisi kepala BNPB dapat diisi oleh anggota aktif TNI sampai sekarang. Peneliti dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan reformasi TNI kerap kali terhambat bukan hanya dari faktor TNI, tapi juga pejabat sipil.
"Karena pejabat sipil lah yang kemudian membuka ruang berbagai akses-akses entah itu peran, jabatan, ataupun kewenangan di luar fungsi-fungsi pertahanan," katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa jabatan presiden yang saat ini diduduki oleh Prabowo mengemban posisi supremasi sipil.
"Meskipun presiden ini (Prabowo) adalah eks-militer, tapi bagaimanapun dia kan sudah sipil sekarang... Sipil artinya dia harus tunduk kepada mekanisme dan sistem demokrasi yang berlaku. Rule of law-nya adalah demokrasi sekarang." katanya. (JPO-Red)
Sumber: bbc.com
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE