Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Pacu Jawi, Tradisi Unik Sumatera Barat

Mirta Putri Maini.
Oleh : Mirta Putri Maini

Suku Minangkabau terkenal akan keberagaman tradisinya yang unik dan masih dilestarikan hingga sekarang. Salah satunya adalah tradisi Pacu Jawi. Tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu ini, berasal dari Nagari Tuo Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.

Pacu artinya lomba kecepatan, Jawi sendiri adalah maksudnya sapi atau lembu, karena di Sumatera Barat sapi biasa disebut dengan Jawi. Pacu Jawi sendiri adalah balapan sapi khas Minangkabau. Tradisi Pacu Jawi ini biasanya dilakukan sehabis panen padi. Tradisi ini dilakukan atas dasar rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah

Awalnya Pacu Jawi adalah solusi untuk membajak sawah sebelum ditemukannya cara membajak sawah seperti sekarang. Pacu Jawi ditemukan oleh Datuak Tantejo Gurhano saat mencari cara agar sawahnya menjadi subur dan mudah ditanami. Cara itu kemudian ditiru dan diterapkan oleh warga sekitar.

Meski namanya berarti “balapan”, sapi-sapi tersebut dilepas hanya berpasangan tanpa lawan dan tidak ada pemenang resmi. Setiap pasang sapi berlari secara bergiliran sementara penonton menilai sapi-sapi tersebut (kebanyakan berdasarkan kecepatan dan kemampuan berjalan lurus) dan terkadang membeli sapi yang lebih baik dengan harga yang jauh lebih mahal daripada harga normal. 

Masyarakat Tanah Datar (terutama dari empat kecamatan yaitu Sungai Tarab, Pariangan, Lima Kaum dan Rambatan) telah menyelenggarakan acara ini selama berabad-abad untuk merayakan panen raya. Acara ini juga diiringi dengan festival desa dan budaya bernama Alek pacu jawi. 

Acara tersebut kemudian menjadi atraksi wisata yang didukung pemerintah dan menjadi tujuan fotografi, memenangkan beberapa penghargaan di industri fotografi. Sejak tahun 2020, pacu jaw telah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu pertunjukan seni unik warisan budaya spiritual Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat, Gunung Marap harus terlihat jelas. Gunung setinggi 2.891 meter ini konon merupakan asal muasal masyarakat Minangkabau yang tinggal di Sumatera Barat. 

Warga sekitar yang sebagian besar berlatar belakang pertanian mengadakan acara ini saat lahan kosong setelah panen dan menjelang penanaman berikutnya. Lokasinya berbeda-beda antar nagara (tingkat desa atau kecamatan) yang berbeda di Tanah Datar. 

Nagari ini terletak di empat kecamatan yang secara tradisional menjadi tuan rumah pacu jawi yaitu Sungai Tarab, Pariangan, Lima Kaum dan Rangkat. Keempat kecamatan ini terdiri dari 26 nagara (per 2014) dengan ketinggian berkisar antara 550 hingga 700 meter, total sawah seluas 96,16 km², dan lebih dari 12.000 ekor sapi (angka tahun 2012 disimpan selama berabad-abad). 

Sebelum kemerdekaan Indonesia dan diawali dengan pesta panen dan hiburan bagi penduduk desa. Dulunya acara ini hanya diadakan dua kali dalam setahun, namun musim panen yang semakin singkat membuat acara ini bisa diadakan lebih sering. 

Pada tahun 2013, Nagari Tanah Datar menyelenggarakannya secara bergantian setiap dua bulan sekali, dengan setiap shift terdiri dari empat acara yang dilaksanakan pada hari Rabu atau Sabtu Meski namanya pacu Jawi (Minang berarti "balapan sapi"), acara tersebut bukanlah pacuan sapi sesungguhnya. Setiap peserta yaitu sepasang sapi yang dipimpin oleh seorang joki secara bergantian berlari melewati sawah. Sapi jantan berumur 2-13 tahun digunakan sebagai hewan ternak, dan berlari berpasangan diikatkan pada bajak kayu tempat joki berdiri. 

Arena lomba merupakan tanah berlumpur bekas persawahan yang kosong setelah panen. Sumber berbeda (yang melihat Pacu Jawi dalam konteks berbeda) merujuk pada panjang lintasan berbeda mulai dari 60 meter hingga 100 meter dan 250 meter. 

Di trek balap, kedalaman lumpur bisa mencapai 30 cm. Sapi-sapi tersebut dilatih untuk berlari ketika mendapat isyarat, yakni. ketika bajak yang diikat menyentuh tanah dan seseorang menginjaknya. Seorang joki dapat berdiri dan memimpin sapi-sapi tersebut dengan memegang ekor kedua sapi tersebut tanpa menggunakan cambuk. 

Tali yang menghubungkan kedua sapi tersebut longgar, sehingga sering kali sapi-sapi tersebut berlari ke arah yang berbeda atau dengan kecepatan yang berbeda. Joki harus memimpin sepasang sapi tersebut agar tidak terpisah dan langsung berlari menuju garis finis, berusaha agar dirinya tidak terjatuh.

Penonton, tak jarang termasuk wisatawan mancanegara, menyaksikan acara tersebut dari lahan kering di pinggir persawahan. Salah satu daya tarik dari acara ini adalah perilaku sapi-sapi yang tidak terkendali sehingga para joki sering terjatuh atau harus menyetir untuk melindungi diri dan mengendalikan sapi-sapi tersebut. 

Terkadang joki akan menggigit ekor sapi agar berlari lebih cepat (apalagi jika sapi tersebut lebih lambat dari pasangannya). Lumpur bisa terciprat ke mana-mana, termasuk penonton. Terkadang sapi itu berbalik dan berlari ke arah penonton. 

Cedera bukanlah hal yang jarang terjadi, terutama bagi para joki. Belum ada pemenang resmi yang diumumkan, tetapi sebagian besar penonton menilai sapi berdasarkan kecepatan, kekuatan, dan kemampuan berlari lurus. 

Menurut tradisi, kemampuan berlari lurus penting untuk mengajarkan filosofi bahwa orang yang mampu mengikuti jalan lurus (Minang: luruih) adalah orang yang paling terhormat bukan hanya bagi sapi tetapi juga bagi manusia. Memiliki seekor sapi yang dianggap pintar di Pacu jawi menjadi kebanggaan warga sekitar. 

Selain itu, sapi yang dianggap bagus oleh masyarakat bisa meningkatkan nilai jualnya dua hingga tiga kali lipat dari harga normal. Keuntungan finansial inilah yang menjadi salah satu motif utama para peserta. Ratusan ternak dapat mengikuti acara Paju Jaw, termasuk ternak dari desa tuan rumah dan desa lainnya. 

Dinas Pariwisata Tanah Datar kini menawarkan uang dan truk untuk mengangkut sapi tersebut. Sebelum pemerintah terlibat, peserta dan sapi mereka bisa berjalan sejauh 50 kilometer (seringkali dalam semalam). 

Pada acara tersebut, sapi-sapi yang tidak bertanding diikat di tempat parkir, biasanya di dekat garis finis. Kehadiran sapi-sapi ini disebut-sebut dapat membantu sapi-sapi yang bertanding agar melaju lebih cepat karena ingin berkumpul dengan teman-temannya. 

Perayaan ini sering kali disertai dengan sapi yang mengenakan suntiang (hiasan kepala khas Minangkabau), permainan musik seperti kendang dan talempong pacik, tari piring, pasar dadakan, permainan tradisional, panjat pinang, dan lomba layang-layang. Sebelum pemerintah terlibat, warga sepakat menanggung seluruh biaya acara, namun kini Dinas Pariwisata Tanah Datar menanggung sebagian biayanya. (JPO-Penulis merupakan mahasiswi Prodi Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas).

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar