Oleh: Jamhuri
Sebagai pemegang hak keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program pembangunan pemerintah terkesan telah gagal dalam mewujudnyatakan suatu bentuk campur tangannya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam mencapai tujuan negara.
Masyarakat ataupun rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi pada sebuah organisasi kekuasan terkesan hanya dijadikan sebagai alat pelengkap pembantu dalam upaya memenuhi keinginan penguasa dan akan tetap berada pada posisi semula yaitu sebagai penonton sejati yang penuh harapan dan angan-angan akan sebuah janji politik.
Sejumlah kebijakan publik (Publict Policy) yang dibuat oleh pemangku amanah rakyat terkesan sama sekali tidak lagi sesuai dengan defenisi ataupun pengertian pengabdian, akan tetapi lebih cenderung sebagai hasil daripada orientasi dan motivasi berdasarkan stratifikasi sosial pribadi dan sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kebutuhan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Bahkan Pemerintah terkesan menjadi budak kekuasaan Oligarki dan telah tega dengan sengaja mengabaikan nilai-nilai etika birokrasi dan etika perjanjian tidak tertulis dengan masyarakat sebagai pemberi amanah, janji sebagai hiasan bibir (lips services) hanyalah isapan jempol dan menjadi senjata utama dalam upaya untuk menutupi kegagalan pelaksanaan pelayanan publik (public services) dengan cara mengedepankan argumentasi hukum politik kepentingan dalam mengemukakan alasan pembenaran dan alasan pemaaf.
Salah satunya yang terjadi pada kebijakan perencanaan pembangunan Pelabuhan Samudera yang semula pada tahun 2011 berencana akan berkerjasama dengan 18 perusahaan pemegang kuasa pertambangan batu bara yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Pertambangan Batu Bara dan Mineral (AP2BM) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Jambi untuk pelaksanaan pembangunan ruas jalan jalur khusus sepanjang lebih kurang 220 kilometer, yang akan dibangun menggunakan sistem recycling yang mampu menahan beban mencapai 40 ton lebih dan merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia.
Jalan yang akan menghubungkan kawasan usaha pertambangan dan kebun kelapa sawit yang berada di Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Kabupaten Batanghari, menuju Dermaga Samudra Ujung Jabung.
Pembangunan jalan yang studi kelayakan (Feasibility Study-FS)nya dilakukan dengan cara menjalin kerja sama dengan pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang pada saat itu (2011) belum dapat diketahui secara pasti besaran biaya yang akan dibutuhkan.
Akan tetapi Pemerintah Provinsi Jambi memperkirakan untuk pembebasan lahan saja akan menelan biaya yang tidak sedikit yaitu mencapai nilai Rp 600.000.000.000,00 (Enam Ratus Miliar Rupiah).
Telah dipastikan bahwa pembangunan jalan tersebut sudah terlaksana pada tahun 2012 dan diperkirakan akan rampung, dalam jangka waktu satu atau dua tahun, dengan harapan ruas jalan ini akan memperlancar arus transportasi menyangkut tentang angkutan batu bara, hasil perkebunan, dan angkutan barang lainnya, tanpa melewati jalan milik pemerintah.
Memperhatikan pada perkiraan dimulainya tahapan pelaksanaan dan perampungan pekerjaan pembangunan jalan tersebut dengan limit waktu sebagaimana diatas artinya perkiraan tersebut memiliki hubungan ataupun identik sekali dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi, yang menetapkan bahwa kewajiban melalui jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus siap selambat-lambatnya Januari 2014.
Dengan demikian seharusnya harkat dan martabat serta wibawah dan kehormatan Pemerintah Provinsi Jambi tidak mesti ternodai dengan lahirnya catatan hitam sejarah perjalanan roda pemerintahan yang sejak tahun 1957 saat pertama kalinya disyahkan berdirinya Pemerintahan Provinsi Jambi atau selama lebih kurang 67 tahun belum pernah ada tindakan anarkis, seperti yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu.
Akan tetapi angan-angan tetaplah angan-angan, hayalan tidak ubah bak fantasi ilusi, harapan tinggallah harapan impian mewujudkan campur tangan pemerintah sebagaimana konsep negara kesejateraan (welfare state) melahirkan tindakan anarkis.
Tindakan yang diperkirakan berawal dari penilaian terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemerintah yang dinilai merupakan rezim gagal dengan penilaian negative atau yang dianggap rezim pemerintahan daerah yang paling buruk dalam sejarah pemerintahan Provinsi Jambi.
Serangan dengan lemparan batu yang merusak kantor gubernur oleh massa aksi unjuk rasa penolakan atas pemberlakuan Instruksi Gubernur Nomor: 1/INGUB/DISHUB/2024 tentang Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Batubara.
Pada hakikatnya bukanlah tertuju kepada gedung kantor gubernur, akan tetapi lebih merupakan suatu bentuk serangan yang ditujukan kepada harkat dan martabat, wibawah dan kehormatan pemerintahan Provinsi Jambi, serta secara tidak langsung menyerang hak dan hajat hidup orang banyak serta ekspektasi seluruh warga masyarakat Provinsi Jambi, termasuk keluarga dari para pelaku pengrusakan itu sendiri.
Serangan itu sendiri bukanlah disebabkan karena sempitnya jalan raya yang dilalui oleh armada angkutan Batubara akan tetapi lebih disebabkan karena sempitnya jalan pikiran dalam melihat dan mencari penyelesaian permasalahan yang dihadapi.
Suatu gambaran tentang perbuatan yang terlahir dari isi kepala yang mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran sebagai akibat dari kedahsyatan kekuatan dorongan hawa nafsu dan naluri akan kepentingan keuntungan pribadi yang berhasil mengesampingkan nalar dan nurani serta nilai-nilai manusiawi ataupun kemanusiaan.
Ungkapan perasaan kecewa salah kaprah, kesalahan cara berpikir dalam proses penyampaian pendapat dan salah sasaran dalam menilai kinerja kabinet rezim Jambi Mantap, yang seharusnya perlu ditinjau adalah kinerja kabinet pembantu gubernur khususnya pada bidang-bidang berkompeten dalam penanganan persoalan Ekonomi dan Sumber Daya Alam (SDA) beserta Dinas Perhubungan yang dinilai tidak memiliki etos dan kemampuan kerja.
Karena bagaimanapun hebatnya seorang gubernur tidak mungkin dia mampu menyelesaikan semua pekerjaan seorang diri, atau dengan ilustrasi betapa pun hebat dan kerasnya sebatang lidi tidak akan pernah dapat menjadi sapu.
Untuk itu negara mengatur pemberian hak dan kewenangan membentuk kabinet pembantu yang diiringi dengan pendelegasian kekuasaan. Sederhananya kabinet kerja dapat diartikan sebagai suatu kumpulan orang-orang hebat yang memiliki kemampuan atau profesionalitas kerja pada bidang-bidangnya masing-masing.
Sehubungan dengan polemik armada angkutan Batubara menjadi tugas pokok dan fungsi Biro Ekonomi dan Sumber Daya Alam dan Dinas Perhubungan sebagai Leading Sector dan sebagai Stakeholder yang bertindak sebagai ujung tombak penyelesaian polemik yang membebani pikiran gubernur Jambi tersebut.
Kedua Lembaga tersebut sebagai leading sector yang merupakan sektor basis yang diharapkan akan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah baik dari segi kontribusi maupun dari segi daya saing ataupun sebagai Stakeholder yaitu pemangku kepentingan atau beberapa kelompok orang yang memiliki kepentingan di dalam pemerintahan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan dari kebijakan secara keseluruhan, terkesan diduduki oleh Aparatur Sipil Negara yang baru belajar mengenakan seragam kebesaran pejabat pemerintahan daerah, hingga seakan-akan tidak mengerti Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Disinyalir polemik yang berawal dari membludaknya akumulasi armada angkutan Batubara tidak disebabkan karena peningkatan kuota kebutuhan eksport material Batubara tersebut akan tetapi lebih disebabkan karena ketidak mengertian atau ketidak patuhan pejabat negara/daerah terhadap AUPB dan azaz serta norma atau kaidah Hukum Perizinan, dan Hukum Administrasi Negara.
Kehadiran pemangku hak atas wewenang dan jabatan pada kabinet Jambi Mantap yang disertai dengan niat kesengajaan untuk tidak mematuhi ketentuan yang mengatur tentang mekanisme Izin Pengangkutan dan Penjualan (IPP) Batubara sebagaimana amanat Pasal 135 dan Pasal 136 Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Batubara.
Merujuk pada ketentuan sebagaimana kedua pasal diatas mendasari penilaian bahwa penerapan kebijakan pemberian nomor lambung armada angkutan Batubara beserta seluruh instrument pelaksanaannya disinyalir adalah merupakan suatu perbuatan atau tindakan menyalahgunakan wewenang dan jabatan (Abuse of Power) atau merupakan suatu perbuatan atau tindakan menyalahgunakan maksud dan tujuan diberikannya jabatan (detournement de pouvoir).
Sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi jika dilakukan tindakan pencegahan dini yang tepat dan benar dengan mengedepankan prinsip hukum adalah alat kontrol sosial (Law as a tool of sosial engineering) untuk memelihara keteraturan atau kedamaian sosial (Social order) dengan jaminan ketaatan (conformity) terhadap semua instrument hukum, terutama ketaatan terhadap AUPB yang tercantum dalam Sembilan Undang-Undang yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dengan menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi dari semua bentuk kekuasaan, hukum yang mengatur kekuasaan bukan sebaliknya kekuasaan yang mengatur hukum demi sebuah kepentingan pemenuhan stratifikasi sosial dengan perasaan malu menjadi pejabat negara jika tidak hidup mewah dan tidak kaya raya.
Adanya ketaatan (conformity) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan seharusnya tidak ada indikasi tindakan pungutan liar (Pungli) dari penerapan kebijakan nomor lambung, dan tidak mesti lahir sejumlah diskresi oleh pihak Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Provinsi Jambi, menyangkut penyelesaian polemik angkutan Batubara yang telah merenggut ratusan jiwa anak manusia sebagai korban kecelakaan Lalu Lintas angkutan Emas Hitam tersebut.
Kesimpulan sementara sebagaimana pada uraian diatas diambil dengan memperhatikan hal-hal menyangkut tentang hak dan kewenangan pelaksana kebijakan nomor lambung kendaraan dan hal-hal yang terkait atau menyangkut tentang status kepemilikan kendaraan yang digunakan dan nomor lambung itu sendiri beserta penetapan nilai harga sticker angkutan tersebut yang disinyalir tidak memiliki dasar hukum yang memiliki kepastian hukum yang mengikat.
Penilaian tersebut didasari dengan tidak ditemukannya Peraturan Daerah ataupun Peraturan Kepala Daerah dan/atau setidak-tidaknya Surat Keputusan Gubernur yang telah mendapatkan persetujuan ataupun rekomendasi dari DPRD Provinsi Jambi untuk diberlakukan tarif atas nomor lambung tersebut.
Penetapan tarip tersebut disinyalir tidak didukung dengan Surat Ketetapan Retrebusi Daerah (SKRD) ataupun ketentuan pemungutan retrebusi pengendalian lalu lintas, sebagaimana yang telah diatur pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 97 tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas Dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
Demi terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawah perlu dilakukan penkajian lebih mendalam sejauh mana keabsahan hasil yang didapat dari penetapan harga dan penjualan nomor lambung dimaksud untuk dicatat sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Fakta hukum menyangkut langkah-langkah penyelesaian polemik angkutan Batubara yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jambi disinyalir merupakan suatu gambaran nyata ketidak mampuan kabinet rezim Jambi Mantap memberikan saran dan pendapat yang sesuai dengan keahlian dan porsi jabatan masing-masing, baik menyangkut yang tertulis tuang dalam makalah sewaktu mengikuti proses assessment untuk mendapatkan jabatan maupun yang terkandung dalam kesakralan kalimat Sumpah Jabatan.
Kejadian demi kejadian yang terjadi dan dialami atau dihadapi oleh pemerintah Provinsi Jambi telah memberikan gambaran seakan-akan Gubernur Jambi Al Haris mengalami keadaan yang identik ataupun sangat mirip dengan cerita orang buta kehilangan tongkat ditengah kegelapan malam di dalam rimba belantara.
Jika ungkapan kekecewaan sebagaimana diatas seharusnya kemungkinannya dilatar belakangi oleh buruknya komunikasi antara para pihak dari beberapa unsur, baik yang bersifat internal Pemerintahan maupun dengan masyarakat umum, sehingga tidak ditangani secara professional yang sekaligus merupakan tindakan pencegahan dini.
Dengan tindakan pencegahan secara dini tersebut tidak akan memberikan kesempatan bagi pihak pemilik kepentingan keuntungan pribadi untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap titik kelemahan dan keterbatasan masyarakat dari sektor ekonomi maupun dari aspek pengetahuan menyangkut tentang ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara normative atau dengan mempergunakan perspektif azaz causalitas aksi massa tersebut erat hubungannya dengan kegagalan Kementerian Perhubungan menyelesaikan pembangunan Pelabuhan Samudera Ujung Jabung.
Kegagalan yang menyebabkan angan-angan dan impian pemangku kebijakan sebagai inisiator dalam upaya memajukan kesejahteraan umum tersebut harus terkubur entah di kedalaman laut kepentingan politik kekuasaan, hingga angan dan impian tersebut hanya sebatas sebuah unit mesin produksi polemik yang tetap berada ditengah-tengah keresahan masyarakat menanti dan menuntut tanggungjawab jabatan dan sumpah jabatan.
Polemik yang tidak diketahui secara pasti sampai kapan akan berakhir, bahkan lebih cenderung hanya akan selalu menjadi sebuah panggung politik pergantian rezim kekuasaan penguasa yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penantian panjang yang menunggu kehadiran hukum sebagai aktor utama pemberi solusi dari misteri angan-angan keinginan kepentingan politik kekuasaan tersebut.
Penantian yang telah berlangsung lebih kurang selama 12 tahun yang ditandai dengan adanya dua rezim kekuasaan presiden yaitu Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan rezim Joko Widodo dua Priode serta tiga rezim kekuasaan Gubernur yang dimulai dengan rezim Hasan Basri Agus (HBA), Zumi Zola Zulkifli Nurdin, dan yang sekarang rezim Jambi Mantap dibawah kepemimpinan Al Haris.
Sepertinya angan-angan dan harapan masyarakat tidak akan pernah terwujud tanpa adanya kelahiran tangan-tangan perkasa pemegang hak dan kewenangan melakukan penegakan hukum yang mampu mengungkap misteri baik dari sisi pelaksanaan dari setiap indikator kegiatan yang dimaksud maupun menyangkut tindakan yang menghambat terlaksananya tugas pokok dan fungsi serta tujuan negara, secara normative pelaku penghambatan yang hanya mengedepankan egosentris kepentingan politik kekuasaan semata adalah pengkhianat bangsa.
Bak pepatah yang berbunyi: bagaikan pungguk merindukan bulan, pembanguan tersebut tidak kunjung selesai, sebuah penantian panjang masyarakat atas azaz manfaat penggunaan uang rakyat tersebut telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit yaitu lebih kurang selama 12 (Dua Belas tahun) dan masih saja tetap berada pada posisi semula yaitu penantian tanpa kepastian.
Disinyalir tindakan penghambatan tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan untuk gagalnya sebuah kebijakan yang dicanangkan menjadikan mubazir uang rakyat yang tidak sedikit bahkan telah mencapai nilai Ratusan Miliar Rupiah demi untuk membangun monument dan arca perseteruan dendam kepentingan politik kekuasaan dari setiap pemangku atau pembuat kebijakan publik pada setiap kali terjadi pergantian rezim kekuasaan.
Penantian tanpa kepastian menanti kehadiran Kemanfaatan Hukum sebagaimana tujuan dan fungsi hukum yang akan merubah warna dan paradigma politik kepentingan kekuasaan yang diawali dengan peninjauan ulang terhadap fakta hukum yang berhubungan atau menyangkut tentang perencanaan pembangunan tersebut yang diawali dengan menelusuri segala sesuatu menyangkut Studi Kelayakan (Feasibility Studies-FS) dengan mempergunakan perspective Hukum Administasi Perencanaan.
Serta yang tidak kalah pentingnya yaitu melakukan proses ataupun upaya penegakan hukum terhadap pembebasan lahan dengan perkiraan menelan biaya sebagaimana diatas, agar dalam penggungaan uang rakyat tersebut akan benar-benar dapat dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat, tanpa ada kewajiban memberikan keuntungan kepada para pihak yang memiliki kepentingan.
Pemenuhan atas kepentingan dan keinginan yang disinyalir diawali dengan mengabaikan dan memperkosa azaz dan kaidah ataupun norma Hukum Administrasi Perencanaan, dan Hukum Pertanahan sampai dengan membuktikan adanya indikasi perbuatan melawan hukum lainnya.
Hal itu perlu dilakukan agar krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum tidak menjadi semakin tebal. Agar masyarakat tidak lagi mempedomani quotes yang menilai bahwa hukum tajam kebawah dan tumpul keatas sebagai suatu kebenaran.
Tindakan hukum tersebut tidak hanya terhenti pada pembangunan jalanan penghubung dan pembebasan lahan tersebut, akan tetapi termasuk meninjau kembali fakta-fakta hukum terkait dengan pembangunan Pelabuhan Samudera yang berdasarkan informasi yang kiranya layak atau dapat untuk dipercaya menyebutkan bahwa kegiatan tersebut telah menelan biaya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berkisar pada nilai sebesar Rp. 219 Miliar lebih.
Dengan perincian penggunaan anggaran tersebut yaitu sebagai berikut: pada tahun anggaran 2014 proyek ini pengerjaannya dilakukan oleh pihak PT. Dewa Ruci Mulia yang menghabiskan anggaran biaya sebesar Rp 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah). Kemudian tahun 2015 proyek tersebut dikerjakan PT. Tobe Indah dengan nilai proyek Rp. 40.000.000.000,00 (Empat Puluh Miliar Rupiah).
Dari sini saja sepertinya terdapat suatu keanehan ataupun kejanggalan dimana pekerjaan yang katanya dilakukan dengan tahun jamak (Multy Years) akan tetapi dalam waktu satu tahun (2015) oleh pihak Kementerian Perhubungan kegiatan tersebut kembali dilakukan pelelangan dengan pemenang lelang yaitu badan hukum dari korporasi yang berbeda disertai dengan nilai pekerjaan yang berbeda pula.
Secara bersamaan pada tahun yang sama (2015), PT. Dewa Ruci Mulia juga melaksanakan pekerjaan proyek tersebut dengan nilai anggaran yang berbeda dan lelang tersendiri yaitu dengan nilai Rp. 65.000.000.000,00 (Enam Puluh Lima Miliar Rupiah). Artinya secara yuridis Badan Hukum ini (PT. Dewa Ruci Mulia) tidak sedang menjalani sanksi hukum.
Jika kegiatan ini dikerjakan dengan menggunakan system tahun tunggal (One Years) kenapa Kementerian Perhubungan melalui Direktur Jendral Hubungan Laut harus melakukan lelang tender pada setiap tahun?. Artinya sampai disini benar-benar harus dilakukan penerapan azaz dan norma atau kaidah Hukum Pembuktian terhadap perencanaan kegiatan pembangunan Pelabuhan yang dimaksud.
Selanjutnya pada tahun 2016 PT. Putri Salju Satria sebagai pemenang tender atas pekerjaan yang menelan biaya sebesar Rp 49.600.000.000,00. (Empat Puluh Sembilan Miliar Enam Ratus Juta Rupiah) dan pata tahun 2017 proyek tersebut kembali ditenderkan dan dilaksanakan oleh PT. Karunia Karya dengan pagu anggaran sebesar Rp 20.000.000.000,00 (Dua Puluh Miliar Rupiah).
Berikutnya pada tahun 2019 paket pekerjaan lanjutan berupa pembangunan fasilitas pelabuhan laut Ujung Jabung dengan pagu sebesar Rp 41.076.148.000,00 (Empat Puluh Satu Miliar Tujuh Puluh Enam Juta Seratus Empat Puluh Delapan Ribu Rupiah) dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 36.884.074.608,91 (Tiga Puluh Enam Miliar Delapan Ratus Delapan Puluh Empat Juta Tujuh Puluh Empat Ribu Enam Ratus Delapan koma Sembilan Puluh Satu Rupiah), yang disepakati dengan perikatan antara pihak Kementerian Perhubungan dengan PT. Jumindo Indah Perkasa sebagai pemenang tender dengan kontrak senilai Rp 35.040.210.000,00 (Tiga Puluh Lima Miliar Empat Puluh Juta Dua Ratus Sepuluh Ribu Rupiah).
Luar biasa suatu perikatan yang benar-benar memberikan keuntungan bagi keuangan negara dengan nilai yang luar biasa yaitu sebesar Rp. 6.035.938.000,00 (Enam Miliar Tiga Puluh Lima Juta Sembilan Ratus Tiga Puluh Delapan Ribu Rupiah).
Dari perspektif Matematika maka dapat diketahui bahwa kegiatan pembangunan Pelabuhan Samudera tersebut terhitung sejak 2014 sampai dengan 2019 telah menelan biaya yang amat besar yang bersumber dari APBN yaitu sekitar Rp 219.640.210.000,00 (Dua Ratus Sembilan Belas Miliar Enam Ratus Empat Puluh Juta Dua Ratus Sepuluh Ribu Rupiah).
Suatu harga yang begitu sangat mahal yang dibayar oleh negara untuk sebuah bagian daripada tujuan negara dalam mensejahterakan rakyat sebagaimana pada konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Sayangnya harga tujuan negara yang mahal tersebut dalam priode pergantian rezim kekuasaan penguasa sebagaimana diatas tidak atau belum sama sekali memberikan manfaat apapun dan harus terbengkalai hanya disebabkan karena benturan kepentingan politik kekuasaan oknum pemegang hak dan kewenangan kekuasaan politik.
Dahsatnya benturan kepentingan politik kekuasaan tersebut ternyata mampu membuat pikiran mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran, hingga mampu mengesampingkan nilai-nilai religious sumpah jabatan yang menghadirkan Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai saksi atas penerimaan amanat rakyat tersebut.
Pikiran yang dirasuki bisikan nafsu birahi kejahatan politik untuk melakukan perbuatan atau tindakan penyalahgunaan wewenang dan jabatan (Abuse of Power) ataupun pemikiran untuk menyalahgunakan maksud dan tujuan diberikannya wewenang dan jabatan (Detournement de Pouvoir).
Secara normative pada tahapan ini yang bersangkutan tidak lagi mengingat bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Bahkan yang bersangkutan terkesan melupakan etika moral dan culture set bangsa dengan budaya Ketimuran, serta yang lebih parahnya lagi oknum dimaksud sepertinya menganut paham hukum adalah saya, hingga terkesan telah dengan sengaja melupakan segala konsekwensi hukum baik itu hukum privat maupun hukum publik serta hukum masyarakat yang tidak memiliki batasan massa hukumannya.
Niat baik dari pencetus ide ataupun gagasan pembangunan yang bersentuhan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak tersebut oleh pemerintah Provinsi Jambi waktu itu telah diwujudkan dengan adanya pembebasan lahan dengan ukuran seluas 97,8 hektare dengan alas hak berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Pemerintah Provinsi Jambi, dan dari luasan lahan tersebut yaitu seluas 12 hektare akan dihibahkan kepada Kementerian Perhubungan agar kebijakan tersebut tidak lagi menjadi panggung atau ajang perseteruan kepentingan politik kekuasaan.
Sehingga niat dan i’tikad baik tersebut tidak harus kandas dan menjadi barang rongsokan yang tidak bernilai sama sekali, artinya angan-angan dan harapan (ekspektasi) masyarakat akan terwujud sebagaimana mestinya dengan terwujudnya secara nyata campur tangan pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum.
Demi rakyat tidak ada solusi lain selain daripada mengakhiri kejam dan sadisnya perseteruan kepentingan politik kekuasaan, antara sesama Kepala Daerah tidak sedikitpun memiliki dan menanam benih perseteruan kepentingan politik kekuasaan.
Kredo kedaulatan tertinggi ditangan rakyat jangan dijadikan paradoks dengan bahasa ambigu ataupun bahasa kamuplase dengan quotes kedaulatan tertinggi berada dikepentingan penguasa, wewenang dan jabatan bukan sekedar legitimasi kekuasaan meraih kepentingan pribadi.
Pemikiran yang tidak menjadikan penantian harapan masyarakat bergantung pada sejauh mana hukum mampu untuk melihat azaz manfaat dari penggunaan keuangan negara tersebut dapat merubah warna taraf kehidupan beserta harkat dan martabat bangsa penghuni negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah ini.
Dengan mempergunakan perspektif azaz causalitas, kiranya bukanlah hal yang berlebihan jika dinilai bahwa pengrusakan atas harkat, martabat dan wibawah serta kehormatan Pemerintahan Provinsi Jambi beserta menodai ekspektasi masyarakat tersebut baik secara de jure maupun secara de facto tidak lah murni hanya menjadi tanggungjawab dari para pelaku pengrusakan itu sendiri.
Akan tetapi dapat dimintakan juga pertanggungjawaban dari pelaku benturan perseteruan kepentingan politik kekuasaan yang menjadikan tidak bermanfaatnya penggunaan keuangan negara yang semula diharapkan sebagai bentuk perwujudan secara nyata dari campur tangan pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana amanat konstitusional dan sesuai dengan konsep yang dianut oleh negara yaitu negara kesejahteraan (welfare state).(J24-Penulis Adalah – Direktur Eksekutif LSM Sembilan)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE