Sri Purwaningsih . |
Jambipos, Jambi-Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tampaknya akan menghindari konflik kepentingan dalam penunjukan Penjabat Wali Kota Jambi, paska berakhirnya jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jambi Periode 2018-2023 pada 5 November 2023 mendatang. Sebelumnya Gubernur Jambi dan Anggota DPRD Kota Jambi telah mengusulkan tiga nama kepada Mendagri sebagai calon Penjabat Wali Kota Jambi.
Tiga nama yang diusulkan itu adalah Arif Munandar, yang saat ini menjabat sebagai Asisten I (Bidang Pemerintahan dan Kemasyarakatan) di Setda Provinsi Jambi, John Eka Powa, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jambi, dan Kemas Muhammad Fuad, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi.
Namun dari ketiga nama yang diusulkan itu, Mendagri justru tidak memilih ketiganya. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) justru menunjuk Sri Purwaningsih yang saat ini menjabat Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri sebagai Pj Wali Kota Jambi.
Sebagai Sekretaris Bangda, Sri juga pada 9 Oktober 2023 lalu ditunjuk sebagai Pelaksana Harian (Plh) Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa. Sebelumnya, Sri telah tercatat sebagai Sekretaris Bangda sejak kepemimpinan Dirjen Bangda, Hari Nurcahya Murni yang pernah menjadi Pj Gubernur Jambi 2021 lalu.
Sebelum jadi orang nomor dua di Dirjen Bangda, Sri menduduki jabatan Direktur Singkronisasi Urusan Pemerintah Daerah IV Ditjen Bina Bangda Kemendagri. Penjabat Wali Kota jambi Sri akan dilantik Selasa pagi (7/11/2023) mendatang. Pelantikan di Rumah Dinas Gubernur Jambi pada Selasa (7/11/2023). Usai dilantik, penjabat Wali Kota Jambi itu akan diarak menuju Griya Mayang, Rumah Dinas Wali Kota Jambi.
Sementara itu, terkait kepastian penunjukan Pj Walikota Jambi, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Provinsi Jambi Luthpiah belum memberikan jawaban pasti. Saat ditemui wartawan dikantornya, Luthpiah belum bisa memberikan penjelasan kepada wartawan.
Tim penilai akhir (TPA) yang dibentuk oleh Presiden, yang terdiri dari beberapa instansi, seperti Kemendagri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Sekretariat Negara, Badan Kepegawaian Negara, dan Badan Intelijen Negara, akan memutuskan calon yang paling layak.
Proses ini diatur berdasarkan Peraturan Mendagri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Wali Kota, dan Penjabat Bupati.
Bunyi Pasal 3 dari peraturan tersebut mengamanatkan bahwa pejabat ASN atau pejabat pada jabatan ASN tertentu yang menduduki JPT Pratama di lingkungan Pemerintah Pusat atau di lingkungan Pemerintah Daerah bagi calon Pj Bupati dan Pj Walikota.
Selain itu, penilaian kinerja pegawai selama tiga tahun terakhir harus memiliki nilai baik, tidak pernah dihukum disiplin berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan harus memiliki surat keterangan dari rumah sakit pemerintah yang menunjukkan bahwa mereka sehat jasmani dan rohani.
Meskipun aturan ini sejalan dengan prinsip keprofesionalan, mekanisme penunjukan Pj kepala daerah telah menjadi subjek kontroversi di beberapa daerah.
Salah satu kasus menonjol adalah penunjukan Pj Bupati di Kabupaten Muna Barat dan Buton Selatan Sulawesi Tenggara (Sultra) serta Pj Bupati Pulau Morotai, Maluku Utara.
Sebagaimana dikutip dari Jurnal MENGGUGAT PENUNJUKKAN PENJABAT (Pj) KEPALA DAERAH TANPA PEMILIHAN: Tergerusnya Kedaulatan Rakyat dan Menguatnya Dominasi Pemerintah Pusat.
Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi, kala itu telah mengusulkan tiga nama calon Pj Bupati untuk kedua kabupaten tersebut kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Namun, keputusan Mendagri mengejutkan dengan menetapkan figur yang berbeda, di luar usulan Gubernur.
Ali Mazi merespon keputusan ini dengan menolak melantik pejabat bupati hasil keputusan Mendagri di dua kabupaten tersebut.
Meskipun kontroversi ini menciptakan polemik, akhirnya kedua Pj Bupati tersebut tetap dilantik.
Dalam penjelasannya terkait proses penunjukan Penjabat Kepala Daerah, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menekankan bahwa penunjukan penjabat kepala daerah mengacu pada asas profesionalitas dan berdasarkan undang-undang.
Tito Karnavian merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang memiliki tujuan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun yang sama dengan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.
Tito Karnavian menjelaskan bahwa usulan calon penjabat kepala daerah dari Kemendagri dirancang dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain, terutama dalam situasi di mana terdapat potensi konflik kepentingan, seperti yang pernah terjadi di Sulawesi Tenggara.
Dalam hal ini, Kemendagri akan memilih penjabat yang memiliki komitmen pada profesionalitas dan tidak terlibat dalam politik praktis.
"Kita mempertimbangkan juga faktor-faktor yang lain. Nah, kemudian ketika banyak sekali konflik kepentingan, yang paling aman itu kalau didrop dari pusat, seperti misalnya di Sultra ada satu yang dari Kemendagri. Kenapa dari Kemendagri? Kita pilih penjabat profesional, dan kita yakinkan bahwa dia tidak memihak kepada politik praktis," tutur Tito Karnavian.
Pernyataan Tito Karnavian memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang proses penunjukan penjabat kepala daerah yang diatur oleh undang-undang dan prinsip profesionalitas, serta pentingnya meminimalkan potensi konflik kepentingan dalam proses tersebut.
Dengan demikian, meskipun gubernur dan DPRD memiliki wewenang untuk mengusulkan, keputusan akhir dalam penunjukan Penjabat Kepala Daerah tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Ini menciptakan ketidakpastian dan ketegangan dalam proses penunjukan kepala daerah sementara, yang memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana otonomi daerah dapat dijaga dalam konteks ini.
Kontroversi ini mencerminkan pergeseran kuasa yang signifikan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam penunjukan kepala daerah sementara, yang semakin menguatkan dominasi pusat dalam proses ini. (JP/Berbadaisumber/Lee)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE