Oleh: Aulia Hidayat
Jambipos-Kebudayaan adalah salah satu ciri yang senantiasa melekat di dalam diri suatu daerah, mulai dari golongan tua, golongan muda, sampai anak-anak dan generasi yang baru terlahir ke muka bumi. Dalam KBBI Edisi V kata ‘kebudayaan’ sendiri berarti hasil kegiatan dan penciptaan batin (akan budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
Ada pun kejelasan lainnya yaitu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Sumatera Barat adalah sebuah wilayah yang geografisnya terletak pada pesisir pantai barat pulau Sumatera. Di sana terdapat etnis yang cukup besar yaitu etnis Minangkabau yang ruang lingkupnya sudah mencapai belahan dunia akibat adanya para perantau yang imigran, berkerja, dan hal lain sebagainya.
Dalam hal ini Minangkabau cukup populer di kalangan masyarakat nusantara terkhususnya dalam historis yang terjadi di masa lampau, banyaknya para intelektual dari Minangkabau yang cukup berperan penting pada masa pra kolonial mau pun pasca kolonial.
Tokoh-tokoh yang cukup terkenal membantu perjuangan Indonesia antara lain seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Buya Hamka, dan para pejuang lainnya yang membantu merintis Kemerdekaan Indonesia.
Dalam hal ini intelektual tersebut terlahir karena adanya didikan sebagai pendorong atau pendobrak kemauan yang menjadi ledakan pengetahuan terhadap seorang individu. Penulis mengambil sebuah contoh dari seorang tokoh yang bernama Hatta.
Hatta atau yang kerap disebut Bung Hatta sedari kecilnya dididik di Minangkabau tepatnya di Bukittinggi, Sumatera Barat. Hatta sendiri dididik oleh orang tuanya sebagaimana cara mendidik anak Minangkabau pada umumnya yaitu dengan belajar di Surau.
Semasa hidupnya Hatta pernah putus sekolah karena ingin bekerja di Padang akan tetapi orang tua Hatta tidak merestuinya, ia menginginkan anaknya cerdas. Dalam peristiwa ini pembaca bisa simpulkan bahwasanya uang dapat dicari kemana pun akan tetapi pengetahuan tidak semua orang bisa mendapatkannya butuh kemauan untuk hal itu.
Kerasnya didikan di Minangkabau membuat para muda-mudi mau pun anak-anak bisa terdidik dengan benar, tekad yang dikobarkan orang tua Hatta membuat ia bisa bersekolah ke negri seberang yaitu negeri Belanda atau Naderland.
Hal ini bisa menjadi sebuah contoh bagi era sekarang membaca adalah salah satu jati diri, apalagi kita sudah membahas persoal tentang sejarah. Banyaknya hal yang bisa diambil dari sejarah bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Minang mengatakan ‘ambiak nan elok, buang nan buruak’ maksudnya adalah apapun yang menurut pembaca penting simpan begitulah kira-kira sebagaimana sejarah.
Penulis juga pernah mendengar para tertua yang masih hidup ia menceritakan bagaimana para orang tua mendidik anaknya, katanya dulu jika guru marah ke murid dan murid menangis sampai mengadu di rumah maka di rumah akan dapat jatah keduakalinya.
Dalam hal ini sistem pendidikan Minangkabau dulunya mengajarkan seseorang untuk menyelesaikan masalah dengan sendirinya jika masalah itu tidak terlalu fatal, hal ini justru yang membuat lahirnya intelektual Minangkabau yang hanya bisa dikenang sampai hingga sekarang.
Hal ini justru yang mulai memudar di masa sekarang kasus yang terjadi malah sebaliknya dan membuat si anak menjadi sangat ketergantungan terdahap seseorang terutama kepada seorang lelaki Minangkabau yang setelah dewasanya akan mengalami masalah yang cukup ekstrem mulai dari masalah hidup atau jika ia hidup di rantau nantinya.
Para orang tua Minangkabau pada umunya mendidik anak dengan keras supaya kelak ia akan terbiasa dengan masalah yang ia jalani terutama kepada para lelaki.
Para orang tua dulunya mengajarkan kebudayaan kepada anaknya karena jati diri anak tersebut adalah etnis yang ia terima saat ini, kedua adalah belajar agama sebab dengan dibekali ilmu agama anak-anak tersebut akan menjadi seorang yang berguna baik di dunia mau pun akhirat serta bisa membuka hati untuk belajar karena hati yang terang dapat mudah disinggahi oleh segala yang ada, pada umumnya anak-anak belajar agama di Surau, dan yang ketiga adalah belajar pengetahuan umum dengan guna mempelajari segala hal yang ada di dunia supaya menjadi orang yang berguna kelaknya, hal ini justru bisa ditemui di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan lapau sebagai tempat perdebatan antara suatu individu dengan individu lain di Minangkabau.
Singkatnya semua yang penulis jelaskan adalah cara kerja kebudayaan itu sendiri. Maksud dari itu ialah bagaimana anak-anak dididik dalam ruang lingkup masyarakat Minangkabau begitulah hasilnya, di masa dulunya generasi yang baru tumbuh akan dididik sebaik mungkin tanpa dimanja dan hal lainnya, hal ini terbukti dengan lahirnya intelektual-intelektual yang ada berasal dari Minangkabau seperti yang penulis sebutkan tadi. Eksistensi sistem pendidikan ini akan membentuk moral dan akal seorang yang ingin dididik nantinya.
Pada masa sekarang hal ini mungkin terlalu langka terjadi sebab kemajuan zaman dan modernisasi yang terjadi sudah mendunia, sistem kultur yang ada sudah mulai pudar siring perkembangan zaman seperti yang terjadi di Minangkabau.
Sebenarnya dampak dari kebudayaan itu sendiri bersifat positif seperti di Minang tentang etika yang diajarkan ada dalam kato nan ampek namun bentuk itu mungkin akan lenyap jika tidak dikembalikan hal lain yang membuat bentuk pemudaran adalah hilangnya satu per satu golongan tertua yang ada di suatu daerah tersebut dan bisa saja membuat hilangnya sistem pendidikan tersebut. (JP-Penulis Adalah Mahasiswa dari Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Berdomisili di Padang Panjang).
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE