Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Widget HTML

 


Filosofi Baju Bundo Kanduang

Filosofi Baju Bundo Kanduang

Oleh: Husna Fadilla Handesya
 
Jambipos-Sesuai dengan pepatah Minangkabau: “kok bunyi dapek didanga, kok rupo dapek diliek”. Wujud bunyi dapat kita temukan dari musik tradisional Minangkabau seperti rabab, saluang, bansi, ataupun talempong.

Sedangkan wujud rupa dapat dilihat dari bangunan Rumah Gadang, songket, motif-motif ukiran, dan motifnya, serta pakaian adat. Salah satu wujud rupa yang terdapat dalam kebudayaan Minangkabau adalah pakaian adat. Bundo Kanduang atau Limpapeh Rumah Nan Gadang adalah pakaian adat dari Minangkabau, Sumatera Barat. Istilah ‘limpapeh’ memiliki arti tiang tengah pada bangunan rumah adat di Sumatera Barat.

Sesuai artinya, peran limpapeh sangat penting agar bangunan rumah gadang dapat kokoh, apabila limpapeh roboh maka rumah gadang juga akan roboh. Itu artinya peran ibu dalam sebuah keluarga sangatlah penting karena beliau berperan dalam mengurus rumah tangga. Apabila ibu tidak pandai dalam mengurus rumah tangganya maka keluarga juga tidak bisa bertahan lama.

Makna Simbolik yang terdapat dalam pakaian Adat bundo kanduang Minangkabau

1. Pakaian Bagian Atas
Tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek adalah penutup kepala yang terbuat dari kain balapak. Perlengkapan ini bentuknya seperti tanduk (runcing) yang berumai emas atau loyang sepuhan. Maknanya adalah kepemilikan rumah gadang.

2. Pakaian Bagian Tengah
Baju kurung dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung yang dihiasi dengan benang emas dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik, terutama minsai-nya, bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. Sementara, balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri bermakna simbolik bahwa seorang bundo kanduang bertanggung jawab melanjutkan keturunan.

3. Pakaian Bagian Bawah
Kain sarung (kodek) balapak bersulam emas bermakna simbolik kebijaksanaan. Artinya, seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana yang diibaratkan oleh pepatah “memakan habis-habis, manyuruk (bersembunyi) hilang-hilang”.

4. Perhiasan
Perhiasan tersebut terdiri dari seperangkat kaluang (kalung) yang terdiri dari sembilan macam bentuk, seperangkat gelang dan cincin yang juga terdiri dari bermacam bentuk. Kalung dan gelang tersebut hanya dipakai pada saat dilaksanakan upacara adat dimana bundo kanduang hadir dengan segala kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat.

5. Lambak
Istilah lambak merujuk pada perlengkapan pakaian adat Bundo Kanduang bagian bawah. Lambak biasa disebut dengan sarung namun terbuat dari songket maupun berikat. Fungsi sarung atau lambak yakni sebagai penutup bagian bawah untuk wanita.

6. Baju Batubue
Baju batubue merupakan pakaian adat Minangkabau berupa baju kurung atau baju yang digunakan sebagai baju atasan. Baju ini disebut juga dengan baju bertabur karena hiasan bajunya bertabur pernik-pernik sulaman yang terbuat dari benang emas. Pernik-pernik tersebut adalah simbol atau lambang dari kekayaan alam yang berlimpah di ranah Minang.

Motif atau coraknya taburan benang emasnya tidak hanya satu, namun bermacam ragam yang mengisyaratkan bahwa ranah Minang kaya akan kekayaan alam. Ada empat variasi warna yang terdapat pada baju batubue. Warna-warna tersebut antara lain: hitam, merah, biru, serta lembayung. Bagian leher dan tepi lengannya terdapat hiasan yang biasa disebut Minsie.
 
Pakaian ini biasanya digunakan oleh kaum perempuan yang sudah menikah sehingga pakaian ini sangat signifikan terhadap simbol pentingnya peran seorang ibu di dalam sebuah keluarga. Pakaian adat Bundo Kanduang merupakan aset budaya daerah masing-masing. 

Setiap daerah di Minangkabau memiliki pakaian adat Bundo Kanduang yang beragam macamnya. Bundo kanduang memakai tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain balapak tenunan. 

Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang. (JP-Penulis Adalah MAHASISWI SASTRA MINANGKABAU, UNIVERSITAS ANDALAS/Jurusan : Sastra Minangkabau)

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar