Oleh: Joko Yuliyanto
Jambipos-Kolom opini adalah media berekspresi dan berkreasi bagi penulis untuk menuangkan gagasan atas kegelisahan terhadap fenomena lingkungan, sosial, bahkan politik. Memberikan sudut pandang berdasarkan kecakapan pengetahuan atau referensi seputar topik yang dibahas. Harapannya banyak orang yang membaca, syukur bisa mengubah tatanan sosial atau kebijakan yang fundamental.
Di Indonesia, hak kebebasan berpendapat diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.**”
Era informasi dan teknologi memudahkan setiap orang untuk mengemukakan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Penguasa (pemerintah) tidak punya hak untuk membatasi atau membungkam kebebasan berpendapat. Zaman sekarang, setiap pendapat bisa segera mendapat banyak atensi dari masyarakat. Apalagi masih dalam gairah fanatik terhadap politik identitas.
Media (khususnya media sosial) menjadi sarana efektif melemparkan sebuah pendapat untuk menciptakan konflik di tengah masyarakat. Perang argumen mempertahankan kebenaran pendapat sudah menjadi budaya dalam ranah politik nasional. Ditambah peran buzzer yang kerap menyajikan data hoax untuk kepentingan politik tertentu.
Komnas HAM pada awal tahun 2021 mencatat, ada sekitar 29% warga negara takut memberikan kritik terhadap pemerintah. Hal ini bertolakbelakang dengan pernyataan presiden yang meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberikan masukan dan kritik kepada pemerintah. Di sisi lain, banyak kritikus, aktivis, oposan yang dipidanakan karena ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah.
Merosotnya indikator kebebasan berpendapat ditengarai karena munculnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kehadiranya membungkam suara masyarakat yang tidak sejalan dengan pemerintah. Meskipun dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) secara substansial UU ITE tidak ada masalah, namun aplikasi dan interpretasi UU tersebut masih memunculkan perdebatan hingga sekarang.
UU ITE tidak menjelaskan secara detail tentang penghinaan, pencemaran nama baik, antargolongan (SARA). Batasan tersebut yang akhirnya mengesankan pemerintahan bersikap diktator karena kewenangannya untuk menjerat hukum masyarakat yang mengekspresikan kebebasan berpendapat di media digital. Koalisi dilindungi, oposan dihakimi. Pendukung dibubung, pembangkang ditendang.
Mengkritik Diri Sendiri
Pemerintah seharusnya menyediakan ruang publik seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpendapat. Meskipun dalam prakteknya dibutuhkan Undang-Undang untuk membatas kebebasan berpendapat agar tidak kebablasan. Namun juga tidak berarti pemerintah mengeluarkan aturan untuk membungkam nalar kritis masyarakat terhadap pemerintah.
Berdasarkan data dari HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial We Are Social, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa (73,7%). Mengingat jumlah penduduk yang melek teknologi digital, pemerintah mencoba membatasi kebebasan berpendapat di media sosial. Pemerintah dan DPR RI mengesahkan RUU KUHP untuk melindungi institusi negara dari berbagai unsur penghinaan dari masyarakat.
RUU KUHP mengancam orang yang menghina Presiden/Wakil Presiden melalui Media Sosial dengan ancaman hukuman maksimal 4,5 tahun penjara.Sedangkan bagi seseorang yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa diancam hukuman penjara maksimal 2 tahun penjara. Dalam pasal 240 KUHP, hukuman penghinaan menjadi lebih berat maksimal 3 tahun penjara apabila menimbulkan kerusuhan.
Aturan yang menimbulkan sikap skeptis terhadap pemerintah meskipun belum ada batasan yang jelas mengenai variabel penghinaan dan kritikan. Akibat muatan politis, bisa saja kritikan diadukan menjadi delik penghinaan, ataupun sebaliknya. UU ITE atau UU KUHP adalah alat pemerintah untuk mengatur dan mengontrol negara agar rakyatnya menjadi penurut dan patuh terhadap semua kebijakan.
Seharusnya iklim kebebasan berpendapat di negara demokrasi dapat melahirkan partisipasi bukan represi. Tujuan semangat gerakan reformasi di Indonesia untuk mengeluarkan negara dari model otoritarianisme. Menggusur dominasi politik yang terbuka terhadap kritik. Meskipun demikian, kritik harus tetap disandarkan pada kejelasan sumber data. Terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kritikus harus tetap mempunyai pegangan etis tanpa embel-embel politis yang mengarah pada penghinaan. Dibutuhkan kecerdasan dalam berpendapat agar selamat dari jeratan hukum. Masyarakat harus membiasakan diri menggunakan majas atau pendapat yang sarkasme untuk mengelabuhi delik hukum tanpa harus mengurangi esensi berpendapat di muka umum.
Semua orang punya hak untuk berpendapat, termasuk mengkritik pemerintah. Harapan pemerintah juga memberikan ruang kritik yang konstruktif untuk bersama membangun bangsa. Di sisi lain, oposan akan selalu menggiring opini untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan atau tanpa solusi terhadap kritikannya.
Satu yang pasti, setiap orang tidak sebebas sebelum disahkannya RUU KUHP dan UU ITE dalam mengeluarkan pendapat di muka umum. Ada stempel “palu hakim” dalam diri presiden sebagai personal dan kelembagaan. Menyusul lembaga negara seperti DPR dan mungkin diikuti lembaga-lembaga negara lainnya. Suatu saat semua suara masyarakat akan dibungkam, kecuali untuk menghina dan mengkritik dirinya sendiri.(JP-Penulis Adalah Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis opini di media daring dan luring.-0821 3885 2912)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE