Musri Nauli. Kolase FB |
Oleh: Musri Nauli
Jambipos-Ketika hendak membeli nasi uduk langganan dekat kantor, tiba-tiba ada “perintah” dari penguasa local. Agar memerintahkan ditutupnya warung berbentuk tenda. Sayapun kaget.
Tiba-tiba saya tersentak. Apakah ada “perintah” dari berbagai mandate negara untuk menutup tempat-tempat makan ?
Secara sekilas, upaya pembatasan aktivitas sosial dengan berbagai slogan seperti “jaga jarak (physical distanding)” kemudian dipelintir. Menjadi jargon baru. “Melarang berjualan”.
Regulasi seperti UU Karantina Kesehatan, PP PSBB maupun Keppres sudah mengatur berkaitan dengan “pernyataan” jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan Kesehatan Masyarakat telah mengatur secara rigit (teknis dan jelas).
Didalam PP PSPB sudah tegas dinyatakan “peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum.
Sehingga berdasarkan mandate itu kemudian Jokowi menelurkan kebijakan melalui Keppres yang kemudian menetapkan sebagai “darurat kesehatan masyarakat”.
Dengan demikian yang diatur adalah “pembatasan. Bukan pelarangan. Sehingga “menyamakan” pembatasan dengan pelarangan adalah kekeliruan besar.
Di Jambi sendiri, Lalu mulai kapan ditetapkan sebagai daerah karantina kesehatan berdasarkan UU Karantina kesehatan ? Kapan Menteri Kesehatan menetapkan Jambi sebagai daerah “karantina kesehatan” berdasarkan PP PSBB ?
Dalam catatan penulis, hanya Jakarta yang kemudian disetujui sebagai daerah “Karantina Kesehatan” dan mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan. Selain itu, daerah-daerah yang mengklaim melakukan “lockdown” sama sekali tidak dibenarkan oleh Jokowi sendiri.
Tentu saja upaya untuk mendukung “Pembatasan Sosial berskala Besar” sebagaimana program negara untuk upaya pencegahan penyebaran virus Corona harus didukung.
Namun kemudian “membubarkan” ataupun melarang tempat orang berjualan justru akan menimbulkan masalah baru. Selain “merampas” hak orang untuk bekerja. Hak yang telah diatur didalam konstitusi.
Selain itu, upaya untuk “melarang” orang berjualan justru menciptakan rasa ketakutan. Baik masyarakat yang datang. Maupun sang penjual. Pasal 28 D ayat (2) konstitusi tegas-tegas menyatakan “Setiap orang berhak untuk bekerja…”
Selain itu Rasa terror terhadap sikap negara justru bertentangan konstitusi. Amanat konstitusi telah menegaskan. Setiap warganegara Indonesia tidak dibenarkan adanya rasaa takut. Negara harus menjamin rasa aman. Baik dalam peristiwa apapun kepada masyarakat.
Pasal 28 G ayat (1) Amanat konstitusi jelas-jelas menetapkan mencantumkan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan”.
Makna pembatasan justru bisa dilakukan dengan upaya seperti “penjualan” makanan. Namun tidak dibenarkan makan ditempat. Cara ini lazim dilakukan ketika bulan Ramadhan.
Selain para pembeli tetap menikmati makanan khas Indonesia, para penjual juga tidak dirugikan.
Mengutip judul diatas, tidak salah kemudian penulis, banyak sekali “penumpang gelap” yang justru mengail di air keruh.
Mendukung upaya negara didalam melaksanakan amanat PSBB adalah kewajiban sebagai warganegara. Namun upaya dari warga negara justru tidak dibenarkan siapapun untuk menciptakan rasa ketakutan.
Dengan rasa ketakutan justru akan menimbulkan persoalan baru. Selain virus corona yang oleh negara “menjadi momok” menakutkan, justru negara tidak dibenarkan menjadi momok yang menakutkan kepada rakyat.
Selain itu, rasa ketakutan justru akan menurunkan tingkat kepercayaan public kepada negara. Dan tentu saja akan menimbulkan ketidakpercayaan pernyataan apapun mengenai corona.
Belum lagi rasa takut justru akan menurunkan daya imun tubuh. Kekuatan imun yang dibutuhkan untuk melawan corona.(JP-Penulis Adalah Advokad-Aktivis-Pegiat Medsos)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE