Hujan Kritik Sempat Menyeruak Soal Usulan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Dra Hj Elviana MSi saat menjabat sebagai Anggota Komisi XI DPR RI-Fraksi PPP. Kini Elviana menjabat sebagai Ketua Komite IV DPD RI. (Dok Jambipos) |
Jambipos, Jambi-Dra Hj Elviana MSi yang kini menjabat Ketua Komite IV DPD RI mendukung keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir, Senin (9/3/2020). Gugatan ini diajukan pada 2 Januari 2020.
Pada September 2019 lalu, usulan pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan disambut hujan kritik oleh sejumlah anggota DPR RI. Dalam rapat kerja gabungan Komisi XI dan IX DPR dengan pemerintah dan BPJS Kesehatan, sejumlah anggota DPR justru menolak usulan itu.
"Saya enggak setuju kalau iuran masyarakat dinaikan, enggak setuju. Kecuali iuran dari pemerintah dari APBN yang dinaikan," ujar Anggota Komisi XI Refrizal, Senin (2/9/2019) lalu. Menurutnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan justru akan menggencet masyarakat yang saat ini ada dalam ekonomi yang sulit.
Sementara Elviana yang saat itu sebagai Anggota Komisi XI dari Fraksi PPP juga menolak usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dari pemerintah. Elviana heran pemerintah justru dengan mudah mau menambah beban rakyat.
Padahal kata Elviana, pemerintah punya cukup anggaran. Hal itu mengacu kepada semangat pemerintah memindahkan ibu kota ke Kalimatan. Seperti diketahui anggaran pemindahan ibu kota ke Kalimantan diperkirakan sekitar Rp 400 triliun. Sementara itu defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 32,8 triliun pada 2019. "Memindahkan ibu kota saja mampu kok," kata Elviana.
“Mahkamah Agung batalkan kenaikan iyuran BPJS. Alhamdulillah,” kata Elviana.
Mahkamah Agung Batalkan
Seperti diberitakan, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir, yang diajukan pada 2 Januari 2020. "Kabul permohonan hukum sebagian," tulis MA dalam putusannya, Senin (9/3/2020).
Juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro mempertegas, perkara itu sudah diputus di MA. “Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil. Kamis 27 Pebruari 2020 sudah diputus," ujar Andi Samsan.
Sidang putusan pengabulan tersebut dilakukan oleh hakim Yoesran, Yodi Martono dan Supandi pada 27 Februari 2020.
Mahkamah Agung mengabulkan sebagian gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam pertimbangan MA, pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres nomor 75, bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 23, Pasal 28 H Jo. Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, bertentangan pula dengan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Terakhir, bertentangan dengan Pasal 4 Jo Pasal 5, dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
"Menyatakan bahwa Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tulis putusan MA.
Pasal yang dibatalkan MA:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Dengan demikian, maka iuran BPJS kembali ke semula:
a. Kelas 3 Sebesar Rp 25.500
b. Kelas 2 Sebesar Rp 51.000
c. Kelas 1 Sebesar Rp 80.000.
Sebelumnya, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung agar dibatalkan.
Perpres tersebut mengatur kebijakan kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sampai dengan 100 persen.
Tony Samosir mengungkapkan menyatakan, pasien kronis cenderung mendapat diskriminasi dari perusahaan karena dianggap sudah tidak produktif lagi, sehingga rawan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.
Pengaruhi Program JKN
Terpisah, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku masih terus mendalami dampak dari keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran Program Jaminan Kesehatan (JKN) per 1 Januari 2020. MA mengabulkan judicial review (uji materi) Peraturan Presiden (Perpres) nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
“Tentu kita melihat keputusan tersebut, bahwa Perpres mengenai BPJS pengaruhnya itu ke seluruh rakyat Indonesia. Jadi tentu keputusan yang membatalkan satu pasal saja akan memengaruhi sustainability BPJS Kesehatan. Kita sudah sangat paham, mungkin tidak semua merasa puas, tetapi itu (menaikkan iuran) adalah pilihan policy yang sangat hati-hati dibuat pemerintah dengan mempertimbangkan seluruh aspek, utamanya keberlangsungan Program JKN,” kata Sri Mulyani, di Kantor Pusat Pajak, Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Sri Mulyani juga menyinggung soal aspek keadilan, di mana seluruh masyarakat dari berbagai kelompok perlu ikut bergotong royong untuk menjaga keberlangsungan Program JKN. Keputusan Pemerintah menaikan iuran juga merupakan salah satu upaya untuk menjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan yang setiap tahunnya mengalami defisit anggaran.
“Kalau kita lihat dari aspek keadilan, ada 96,8 juta masyarakat miskin atau tidak mampu yang dibayarkan iurannya sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Mereka yang mampu juga ikut bergotong royong dengan membayar iuran mulai dari kelas 1, 2, 3. Kemudian swasta, Polri, TNI, dan juga ASN juga ikut bergotong royong. Semuanya dihitung dalam rangka agar jaminan kesehatan bisa tetap berjalan. Jadi kita melihat keseluruhan sistem,” kata Sri Mulyani.
Dengan adanya pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini, Sri Mulyani mengatakan keputusan ini akan sangat memengaruhi sustainability atau keberlangsungan Program JKN.
“Semua ekosistem dalam program JKN coba kita lihat untuk dituangkan di dalam perpres. Sehingga keputusan MA ini membuat semuanya berubah. Pemerintah sekarang ini sedang mempelajari (dampak keputusan MA). Kita berharap masyarakat tahu bahwa ini konsekuensinya besar terhadap keberlangsungan Program JKN,” ujar Sri Mulyani. (JP-Berbagaisumber/ Asenk Lee)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE