Jambipos, Jambi-Lima terdakwa dari Suku Anak Dalam (SAD) yang terlibat kasus pengerusakan dan pengeroyokan Satgas Terpadu Karhutla oleh anggota kelompok Serikat Mandiri Batanghari (SMB) di Distrik VIII PT WKS, Juli 2019 lalu, divonis 5 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi, Arfan Yani, Senin (16/12/2019).
Kelima terdakwa dikenakan pasal tentang kepemilikan senjata rakitan. Kelima terdakwa yakni Pitunda, Sumi, Bujang Putih, Nyandang, Betilas yang didampingi Penasehat Hukumnya Romel.
“Menimbang bahwa para terdakwa telah terbukti memiliki senjata tajam, dan senjata api rakitan," kata Hakim Arfan Yani, Senin (16/12/2019). Menurut majelis, para terdakwa layak mendapati hukuman.
“Yang memberatkan perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan. Sedangkan yang meringankan, terdakwa menyesali perbuatannya. Para terdakwa pun dijatuhi hukuman ringan, yakni 5 bulan penjara,” katanya.
"Menjatuhkan hukuman penjara kepada para terdakwa masing-masing selama 5 bulan. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani dikurangi sepenuhnya. Dan membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,” kata Yakin Arfan Yani.
Terkait putusan ini, majelis hakim memberikan waktu selama 1 minggu, untuk terdakwa maupun jaksa menyatakan sikap pikir-pikir.
Saksi Petani Jambi Diduga Diculik
Seperti diberitakan Jambipos sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Padang dan LBH Pekabaru dan tim Pengacara di Jambi Abdurrahman Sayuti dan Rudi Halomoan saat ini sedang mendampingi Petani Jambi di Pengadilan Negeri Jambi dalam kasus penyerangan Satgas Terpadu Karhutla oleh anggota kelompok Serikat Mandiri Batanghari (SMB) di Distrik VIII PT WKS, Juli 2019 lalu.
Menurut Era Purnamasari dari YLBHI, persidangan akan segera memasuki agenda pemeriksaan saksi yang meringankan dan Domiri salah seorang yang akan bersaksi di pengadilan. Sore ini sekitar pukul 15.00 WIB, Senin (25/11/2019) ia dibawa dengan mobil oleh sejumlah laki-laki berpakaian bebas. Is diduga diculik.
“Saat itu, Domiri sedang duduk dikursi ruang belakang depan ruang sidang. Dia tidak masuk ruang sidang karena nantinya akan menjadi saksi dan secara hukum saksi dilarang mendengarkan keterangan saksi yang lain,” katanya.
“Saat itu sedang berlangsung sidang anggota SMB dengan agenda pemeriksaan jaksa penuntut umum (JPU). Sidang segera akan memasuki agenda saksi dari pihak terdakwa. Sekitar pukul 15.00 duduk-duduk dikursi panjang depan ruang sidang. Saat itu mulai berdatangan beberapa laki-laki berpakaian bebas. Sebelah kanan duduk laki-laki berbaju hitam, sebelah kiri domiri duduk laki-laki berkaos putih. Didepannya sekitar 10 orang berdiri,” ujar Era Purnamasari .
Saat itu istrinya menghampiri domiri untuk meminjam macis. Tapi domiri menjawab tidak ada. Istrinya kemudian berjalan keparkiran untuk makan roti. Belum sempat roti dimakan ia melihat dom dibawa oleh laki-laki berbaju hitam kedalam mobil, di dalamnya telah menunggu beberapa orang.
Kata Era Purnamasari, menerima informasi itu YLBHI langsung meminta akses informasi pada pihak pengamanan dan pengadilan untuk memperoleh akses cctv. Pihak pngadilan mengatakan bahwa cctv mati karna listrik mati lampu dihidupkan dengan genset. Tetapi dia memastikan bahwa domiri dibawa ke Polda.
“Tidak pernah ada surat panggilan kepada Domiri. Oleh karena itu secara hukum ini adalah penculikan. YLBHI saat ini bersama keluarga sedang membuat laporan tindak pidana penculikan di Polda Jambi. Kuat dugaan ini adalah ancaman terhadap saksi SMB atau orang-orang SMB sehingga mereka tidak akan berani memberikan keterangan di pengadilan,” ujarnya.
Bahwa Saksi Diculik
“Izin yang mulia, saksi kami ada dua orang yang satu berhalangan hadir yang satu lagi, hadir tapi hilang. Menurut istrinya tadi ia diculik orang tidak dikenal,” kata Andi Wijaya Penasihat Hukum.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Partono mengatakan "berarti pengadilan ini ga aman donk? Saksinya bisa diculik," ujar Majelis Hakim.
Rudi Halomoan, Penasihat Hukum SMB mengatakan, bahwa mereka penegak hukum, tidak mungkin bersandiwara, dan mereka sedang proses pelaporan ke Polda Jambi.
Domiri, sejatinya bersaksi untuk Muslim dan istrinya Deli, Senin (25/11/2019). Namun gagal dihadirkan karena dia dibawa oleh orang tidak di kenal saat duduk dibangku depan pengadilan. Kemudian diketahui, orang-orang yang membawa adalah pihak polisi.
Saat ini tim pengacara dan keluarga Domiri masih berusaha bertemu dengan Domiri. Domiri tidak pernah dipanggil sebelumnya dan sejak sampai di Polda Jambi pukul 15.30 WiB sampai Senin malam Pukul 21.00Wib penasihat hukum maupun keluarga masih dihalang-halangi untuk bertemu dengan alasan Domiri sebagai saksi bukan tersangka.
Saat ini tim penasihat hukum berusaha melaporkan kasus ini ke Polda Jambi terkait dugaan tindak pidana penculikan dan tindak pidana penghalang-halangan orang menjadi saksi sebagaimana Pasal 38 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Cara Membaca Cepat Kasus SMB
Sementara Aktivis Lingkungan dan juga Adkovad, Musri Nauli dalam sebuah artikelnya menuliskan, peristiwa pendudukan lahan yang dilakukan oleh SMB di areal kawasan Hutan Desa Belanti Jaya, membuka tabir konflik yang terjadi.
Konflik bermula dengan terbitnya HTR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 3.1242 ha yang mengakibatkan gejolak sosial di lapangan.
Masyarakat dari Desa Mersam, Maro Sebo Ulu dan Muara Tembesi yang tergabung didalam organisasi SMB merasa diperlakukan secara tidak adil dan menimbulkan kecemburuan setelah terbitnya SK HTR oleh KLHK. Penolakan atas perlakukan yang dirasakan tidak adil tersebut di cerminkan lewat berbagai aksi yang pada akhirnya berujung pada pendudukan lahan tersebut yang masih berlangsung hingga sekarang.
Namun disisi lain, aksi pendudukan lahan tersebut kemudian memacu pula protes dari kelompok warga lainnya yang tergabung didalam kelompok tani (Gapoktan), perangkat Desa serta Camat. Protes dan Keberatan tersebut disampaikan sebagai bentuk reaksi atas terbitnya HTR oleh KLHK.
Didalam suratnya, mereka menyampaikan bahwa pemberian izin HTR tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penempatan subyek dan obyek yang diberikan ijin HTR tersebut dinilai tidak sesuai dengan Permen LHK No. 83.
Pemberian Izin HTR kepada 5 koperasi juga menimbulkan reaksi protes berantai dan berbagai persoalan persoalan lain dilapangan. Berbagai pihak yang kemudian juga merasa berkepentingan atas lahan ijin HTR tersebut seperti Persatuan Petani Jambi (PPJ) yang sebagian anggotanya juga berada dan mengelola sejumlah lahan di areal tersebut kemudian merasa bahwa kepentingan mereka pun juga turut terganggu dan telah pula mengajukan keberatan.
Problema semakin rumit ketika proses mediasi belum selesai dilakukan atas beberapa kelompok Sanak telah pula diseret masuk kedalam areal ini oleh SMB. SMB bersikukuh mendorong areal ini untuk mengubah peruntukannya menjadi areal program Trans Swakarsa Mandiri (TSM) tanpa mengindahkan aturan maupun mekanisme dan ketentuan terkait hak pengeleloaan atas kawasan hutan.
Padahal Sanak mempunyai ruang kelola di Taman nasional Bukit 12. Untuk memastikan ruang kelola maka diadakan FGD di Lembaga Adat Serentak bak regam kabupaten Batanghari.
Peserta yang hadir diantaranya Ketua Lembaga Adat Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, Camat Maro Sebo Ulu, Sungai Rengas, Batanghari, Tokoh Adat Kecamatan Tebo Ilir, Sungai Bengkal, Tebo, Kepala Desa Tambun Arang, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Mersam, para tumenggung dari Desa Kilis, Tumenggung dari Bukit 12 dan para pemangku kepentingan lainnya.
Dalam FGD kemudian diketahui jalur melangun Di wilayah Batin XXIV, jalur melangun dikenal dari Bukit 12 kemudian di kantor Camat Batin XXIV. Selain itu juga dikenal pemukiman di Jebak. Masyarakat mengenal SAD Jebak. Desa Jebak adalah salah satu tempat yang disediakan untuk pemukiman SAD dari Bukit 12.
Di wilayah Marga Maro Sebo Ulu , jalur melangun dimulai dari Kejasung Besar dan berhenti di kantor Camat Maro Sebo Ulu. Didepan kantor Camat Maro Sebo Ulu disediakan tempat untuk beristirahat SAD. Selain itu juga dikenal “SAD Rengas”. Kemudian ada yang menyeberang ke Sungai Bengkal.
Jalur melangun di Marga Air Hitam dikenal di Bukit 12, Kejasung Kecil, Muara Sungai Terap, Gunung Kecil. Selain itu juga dikenal SAD Pematang Kabau.
Jalur melangun SAD yang melewati Marga Simpang III Pauh adalah Lubuk Kepayang, Kasang Melintang, Pangkal Bulian, Empang Benao, Tanjung. Namun jalur ini tidak pernah ditemukan sejak tahun 1980-an.
Jalur melangun Batin VIII adalah Pangkal Bulian, Empang Benao, Pamenang. Jalur melangun Sungai Bengkal adalah Datang dari Rengas dan melewati Bengkal kemudian ke Kilis dan Lubuk Mandarsyah.
Jalur melangun S Keruh adalah datang Dari Bengkal kemudian ke Mengupeh, tanah Garo dan ke Sungai Keruh kemudian ke Tabir.
Jalur melangun Tanah Garo adalah berasal dari tanah Garo menyeberang ke Tabir dan Ke Sungai Bengkal. Dikenal SAD Tanah Garo.
Dengan demikian meminjam istilah yang digunakan oleh Tumenggung Tupang, para tumenggung “digosok-gosok” untuk menempati areal Belanti jaya yang dikenal dimasyarakat Marga Kembang paseban sebagai tempat “Rimbo gagak’. Sehingga dipastikan “areal” klaim yang sering disampaikan oleh SMB bukanlah bagian dari persoalan konflik yang harus diselesaikan dengan berbagai pemangku kepentingan.
Atau dengan kata lain, SMB tidak mempunyai korelasi langsung antara masyarakat atau kelompok dengan hak atas tanah yang sering didengung-dengungkan.
Didalam FGD juga didapatkan rekomendasi yang dapat digunakan berbagai pihak untuk memotret persoalan ini dengan komprehensif.
Pertama. Tumenggung yang sudah berkebun di Muara Kilis maka menggunakan Hukum Adat di Muara Kilis. Apabila ada persoalan di Muara Kilis maka diselesaikan berdasarkan hukum Adat Muara Kilis. Jangan lagi “digosok-gosok” untuk menempati areal di Belanti Jaya yang termasuk kedalam Marga Kembang paseban (Mersam).
Kedua. Tanah di Belanti Jaya maka diutamakan untuk masyarakat Sengkati Gedang dan Mersam berdasarkan hukum adat Marga Kembang Paseban.
Ketiga. Terhadap persoalan yang timbul maka harus menggunakan hukum adat Jambi. Diluar daripada yang tidak mempunyai hak, maka harus “ditindak”. Agar negeri Jambi dapat dilindungi.
Sehingga dipastikan, Adanya model model pengelolaan terhadap wilayah, hutan dan tanah di wilayah konflik. Materi ini didasarkan kepada pengetahuan tentang kewilayahan, model pengelolaan, pengaturan dan mekanisme didalam model pengelolaan.
Selain itu juga dapat menggunakan mekanisme menggunakan konsep “tanah pemberian” sesuai dengan “ico pakai” Hukum Adat Melayu Jambi.
Dengan demikian maka untuk memastikan hubungan masyarakat dengan tanah yang ditandai dengan tanda-tanda tanah seperti “Lambas, “mengepang “, Cacak Tanam, Jambu Kleko, “Tunggul pemarasan, pasak, sak sangkut” di daerah uluan Jambi. Atau “pancang mati” atau “mentaro” daerah iliran Jambi.
Selain itu juga memastikan model penyelesaian sehingga dapat membantu parapihak untuk mempercepat resolusi konflik. Mekanisme yang bisa ditempuh adalah Menyelesaikan persoalan melalui hukum adat dengan cara menyampaikan kepada berbagai pihak terhadap tatacara penyelesaian hukum adat.(JP-Asenk Lee)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE