Uang BB OTT KPK di Jambi 27 November 2017. |
Aturan ini sekaligus menggantikan PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bedanya, dalam PP itu tak diatur soal premi untuk pelapor kasus suap. PP lama juga tak mengatur batas maksimal nilai uang sebagai premi yang diberikan kepada pelapor.
Satu poin menarik dalam PP yang baru, masyarakat yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam dan premi yang besarannya maksimal Rp 200 juta.
Sementara untuk pelapor tindak pidana korupsi berupa suap, besar premi yang diberikan sebesar dua permil dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil lelang barang rampasan dengan nilai maksimal Rp 10 juta.
Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku. Dalam PP itu disebutkan, setiap pelapor kasus korupsi yang akan menerima penghargaan harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satunya, mendapat penilaian dari penegak hukum.
Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa. Dalam memberikan penilaian, penegak hukum mempertimbangkan peran aktif pelapor dalam mengungkap tindak pidana korupsi, kualitas data laporan atau alat bukti, dan risiko bagi pelapor.
Presiden Jokowi menjelaskan, aturan ini dibuat dalam rangka meningkatkan partisipasi publik dalam rangka ikut dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemberian hadiah/insentif merupakan bentuk penghargaan dari pemerintah sekaligus merangsang publik agar lebih banyak yang terlibat aktif dalam memerangi korupsi.
Seperti biasa, pro dan kontra terjadi di ruang publik. Salah satu yang pro sekaligus mengapresiasi aturan ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK, Agus Rahardjo bahkan mengatakan KPK memiliki usulan yang lebih menarik tetapi sayangnya tidak diterima.
Sebelumnya KPK mengusulkan pemberian nilai kompensasi/penghargaan yang lebih besar yaitu 1 persen dari kerugian negara yang bisa dikembalikan atau dari besaran suap atau hasil lelang. Untuk itulah, Agus berniat bertemu Jokowi untuk membahas ulang hal itu.
Agus menduga pemerintah khawatir besaran 1 persen itu memberatkan keuangan negara. Namun menurutnya besaran 1 persen itu dapat dipotong langsung dari amar putusan pengadilan yang dibebankan pada terdakwa kasus korupsi.
"Ada kekhawatiran pemerintah akan mengeluarkan dana yang besar padahal menurut saya tidak. Tidak perlu dialokasikan setelah amar putusan pengadilan nanti, misalkan kalau satu persen langsung dipotong gitu kan (dari uang korupsi atau suap yang dikembalikan)," ujar Agus.
Sementara itu, pihak oposisi langsung melancarkan kritik tajam terkait PP tersebut. Mereka meragukan efektivitasnya dalam memerangi korupsi. Mereka juga menganggap pemerintah belum menyentuh substansi persoalan pemberantasan korupsi.
Fahri Hamzah bahkan secara spesifik mengatakan pemberian insentif/imbalan pada pelapor kasus korupsi justru berpotensi memberatkan keuangan negara.
Menurut saya, bicara soal efektivitas, kita harus sepakat bahwa itu tentunya mesti diuji terlebih dulu sebelum kita tiba pada kesimpulan berhasil atau tidak. Namun, upaya pelibatan masyarakat luas dalam mencegah dan memerangi korupsi memang harus ditingkatkan.
Kita membayangkan, ketika semakin banyak masyarakat yang sadar dan mau terlibat dalam semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi, maka kinerja aparat penegak hukum akan lebih terbantu. Sistem pengawasan akan berjalan lebih maksimal.
Sikap pro aktif masyarakat yang mau peduli dan ikut mengawasi kegiatan pembangunan yang menggunakan uang negara tentu sangat positif bahkan mungkin efektif untuk mencegah potensi-potensi terjadinya korupsi. Para "calon maling" akan kian terbatas ruang geraknya.
Permasalahan selama ini, masyarakat cenderung apatis dan kurang peduli. Terlebih lagi, terlanjur ada persepsi negatif kala berurusan dengan aparat penegak hukum karena dianggap bertele-tele bahkan bukan tidak mungkin justru bisa menjerat diri sendiri.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan pidana luar biasa (extraordinary crime), maka penanganannya pun harus luar biasa, tak bisa biasa-biasa. Secara positif, publik semestinya mendukung PP yang berupaya melibatkan masyarakat luas dalam semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pada saat yang bersamaan, kita harus mengingatkan pemerintah bahwa lebih dari sekadar pemberian penghargaan/instentif, masyarakat yang diharapkan menjadi pelapor kasus korupsi juga butuh jaminan kepastian sekaligus perlindungan.
Pemerintah harus bisa menjamin setiap laporan yang masuk harus benar-benar direspon dengan serius dan tidak sekadar dijadikan sebagai arsip tumpukan laporan. Harus ada penjelasan ke si pelapor, apakah laporan itu bisa ditindaklanjuti atau tidak, berikut alasannya.
Selanjutnya, pemerintah melalui penegak hukum juga harus mampu memberikan jaminan perlindungan secara maksimal pada pelapor. Publik tentu masih ingat, ada aktivis bahkan aparat penegak hukum yang mengalami penganiayaan dan diduga terkait upaya pemberantasan korupsi.
Sebagai contoh, kasus penganiayaan yang dialami aktivis ICW, Tama S Langkun dan penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Sayangnya, langkah penegak hukum dalam mengungkap kasus tersebut hingga hari ini pun masih terus dipertanyakan.
Tanpa adanya kepercayaan sekaligus jaminan perlindungan, meskipun ada iming-iming insentif/penghargaan, terus terang saya meragukan banyak masyarakat yang mau terlibat menjadi pelapor kasus korupsi.
***
Jambi, 11 Oktober 2018. Stevanmanihuruk@gmail.com.
Sumber: Kompasiana.com
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE