Ibu RS Minta Maaf Dalam Jumpa Pers, Rabu 3 Oktober 2018. Foto Kolase Youtube. |
Jambipos Online, Jambi-Musri Nauli seorang aktivis dan juga Advokad di Jambi melihat peristiwa berita bohong "Wajah Lebam Ibu Ratna Sarumpaet Dianiaya" yang viral dua hari terakhir. Lewat tiga tulisan opininya, di bagikan dilinimasa akun media sosial (FB) bisa sebagai pencerahan melihat peristiwa itu. Mari simak tiga tulisan opini itu.
MACHIAVELLI, SUN TZU DAN WAJAH LEBAM
Dalam polemik peristiwa wajah lebam dalam Tarik menarik operasi plastic dan pemukulan, desain politik mudah terbaca. Dengan mengemas hoax wajah lebam, maka “daya ledak” akan menyarangkan moncongnya ke jantung ulu hati. Mengemas “playing victim” maka kemudian akan meraih dukungan publik. Simpati publik yang mudah iba dengan para korban.
Cara meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara dikenalkan oleh Niccolo Machiavelli. Termasuk cara-cara kotor yang sering digunakan para dictator diberbagai negara. Cara kotor ini kemudian jauh dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan.
Cara kotor inilah kemudian dinampakkan pada pilpres 2014. Berbagai fitnah baik disebarkan melalui koran “obor rakyat” yang terbukti hoax, fitnah dengan tuduhan serius seperti komunis, antek maupun berbagai ujaran kebencian yang meledak dan menjauhkan pilpres sebagai ajang konstalasi politik yang menggembirakan.
Cara menyebar hoax juga mengingatkan 36 strategi Sun Tzu. Strategi “menyebarkan berita bohong” adalah strategi menimbulkan kekacauan. Dengan memaparkan kekerasan dan hendak menonjolkan kekacauan, maka negara kemudian tidak mendapatkan dukungan dan simpati dari public.
Strategi ini juga bertujuan untuk “memancing diair keruh” maka menimbulkan kekacauan/chaos sehingga mendapatkan dukungan dari public untuk tidak memberontak kepada negara.
Dengan menembakkan “kekerasan dan penganiayaan” maka desain kemudian disusun sebagai strategi perang setelah sebelumnya berbagai issu kurang mendapatkan dukungan public. Entah issu komunisme, antek asing, anti agama, kriminalisasi agama dan berbagai sampah-sampah yang diproduksi terus menerus setiap hari.
Cara ini kemudian berhasil dan menggiring public. Publik kemudian menjadi iba dan memberikan dukungan dan simpati. Berbagai suara-suara public didunia maya menggambarkan dukungan dari berbagai pihak. Mereka kemudian memberikan simpati dan menolak kekerasan.
Namun kata orang bijak. “Serapat-rapat menyimpan bangkai, akan tercium baunya”. Kebohongan dizaman sekarang adalah sebuah kenafikan. Jejak digital sebagai pewarta kabar yang sering bohong kemudian menimbulkan keheranan. Dunia milenial mampu memproteksi dengan membongkar kejanggalan.
Kejanggalan pertama adalah apakah mungkin sebagai pejuang diperlakukan hingga menderita seperti itu kemudian tidak melakukan perlawanan ?
Kejanggalan kedua adalah rangkaian cerita yang disusun tidak sistematis dan runut. Dan terbukti. Menyimpan kebohongan tidak semudah untuk mengurutkan kebohongan satu dengan yang lain.
Dengan kebohongan itulah kemudian pihak keamanan bergerak. Menyusuri satu informasi dengan informasi lain. Menyusun satu cerita dengan cerita yang lain. Bak menyusun puzzle. Tersusun satu dengan yang lain.
Dan yang sering dilupakan adalah pihak kepolisian dipimpin Jenderal Tito Karnavian, ahli terorisme. Dengan mudah kemudian mengungkapkan hoax. Bukankah ketika kasus terorisme, sering dikemas dengan hoax. Entah dukungan kepada terorisme, membuat berita tentang teroris yang wangi bak bidadari atau memberikan pendanaan kepada organisasi terorisme di Suriah. Semuanya dipatahkan dengan mudah oleh pihak kepolisian.
Atau ketika menyelesaikan penyerbuan Mako Brimob yang sempat menarik perhatian public ketika public “dipaksa” menerima dukungan kepada para pelaku bom terorisme. Namun Kepolisian tidak terpancing. Dan menyelesaikan tanpa seorangpun yang terbunuh.
Dengan professional kemudian konferensi pers menerangkan berbagai kejanggalan terhadap peristiwa tentang wajah lebam. Dan kemudian menjadi terang dengan berbagai puzzle yang disusun.
Konferensi pers kemudian menjadi “perang psywar’. Dengan “memancarkan psywar” selain mengembalikan moril pasukan sekaligus mengirimkan pesan. Jangan coba-coba menyebarkan berita bohong.
Mengutip ancaman didalam UU ITE, psywar justru memakan tuan penyebar hoax. Tidak lama kemudian konferensi pers berlanjut dari Ratna Sarumpaet sendiri dan kemudian disusul berbagai permintaan maaf dari berbagai pihak. Tertunduk malu termakan cerita hoax. Baik dengan ucapan tulus maupun tetap menyesali terhadap kebenaran cerita.
Cara Machiavelli dan strategi Sun Tzu tidak mempan dimainkan. Selain strategi yang digunakan “kurang ciamik”, dukungan public kepada pihak kepolisian yang tinggi, juga strategi ini terlalu mudah dipatahkan. Dan dalam hitungan jam kemudian public menyaksikan drama kolosal paling memalukan. Para petinggi ternyata mudah diperdaya dengan berita bohong. Berita yang tidak pernah diklarifikasi kebenarannya. Terima kasih Kepolisian. Telah membongkar wajah lebam.
Seandainya
Seandainya polisi tidak mampu mengungkapkan keanehan. Seandainya polisi tidak respon terhadap kejanggalan. Senandainya polisi tidak bekerja untuk mengungkapkan kebenaran. Seandainya polisi tidak konferensi pers untuk mengungkapkan hasil investigasi. Maka, peluru dahsyat akan diledakkan. Dan kalian kemudian tertawa bergembira.
Namun. Tuhan maha Agung. Dengan keagungan kemudian membuka tirai kebenaran. membuka mata siapapun yang mencoba berkilah.
Lalu pelajaran apa yang ditarik ?
Entah berapa kali sudah saya sampaikan. Gunakan feeling, perasaan, keanehan terhadap "kabar burung" yang belum tentu kebenarannya.
Percayalah kepada nurani untuk berita yang provokatif. Gunakan mekanisme check , richeck, crosscheck, klarifikasi. Perbanyak informasi untuk menyaring.
Kemudian sebelum share pastikan. Apakah berguna, bermanfaat atau cuma bikin gaduh yang merongrong kewibawaan negara, memperkeruh keadaan.
Pelajaran kedua. Investigasi terhadap kabar yang ada. Jangan percaya dengan satu atau dua sumber. "Jadi apa maksudnya, bang ?"
"He.. he.. he.. masa teknik investigasi kalah dengan investigator handal dari LSM ?. Bikin malu".
PEMBOHONG
Penyebar berita palsu (Hoax), pembohong adalah sifat untuk mengukur kepercayaan orang. Dengan hoax bisa kemudian menyebabkan rush (penarikan uang besar-besaran). Dengan hoax kemudian banyak peristiwa yang menyebabkan miris setelah diketahui kebenarannya.
Hoax paling memalukan adalah ketika Pilpres 2014. Dengan hasil quick count dari lembaga survey aba-abal menyebabkan kegaduhan luar biasa. Berbagai lembaga survey kemudian dipertanyakan metodologi tata cara pengambilan sampel, sampling error hingga berbagai matematika kemudian dipertanyakan. Hingga sekarang hoax itu paling memalukan dalam jagat politik kontemporer.
Dalam lapangan praktek peradilan, kekuatan persidangan justru dari keterangan saksi. Saksi yang berbohong mempunyai konsekwensi hukum. Selain dapat dipertanggungjawabakan secara hukum dengan tuduhan saksi palsu (memberikan keterangan palsu), putusan terhadap perkara bisa menjadi sesat. Sehingga banyak sekali kemudian putusan yang kemudian disesalkan dikemudian hari.
Kasus Sengkon – Karta yang kemudian dihukum mati kemudian terbukti bukan dia sebagai pelakunya. Namun Sengkon dan karta yang kemudian sudah dieksesi mati tidak dapat mengembalikan nyata. Sehingga skandal ini paling memalukan dalam dunia hukum. Menghukum mati terhadap bukan pelaku. Kekecewaan kemudian dibuka mekanisme terhadap Peninjauan kembali terhadap berbagai kasus yang putusannya hukum mati.
Kembali kepada kesaksian dipersidangan. Kesaksian yang tidak sesuai dengna keadaan sebenarnya (saksi palsu) pernah menyeret Miryam S Haryani dalam kasus E-KTP yang menghebohkan. Akibat memberikan keterangan palsu dan kemudian sudah diingatkan oleh Hakim, Miryam kemudian harus masuk penjara akibat “kebohongannya”.
Menyebar berita bohong mempunyai konsekwensi hukum. UU ITE sudah mengintai. Entah berapa banyak yang kemudian harus bertanggungjawab ketika menyebarkan berita bohong. Meringkuk dalam penjara terhadap “kebohongan” didunia maya. Entah Buni Yani, Jonru Ginting hingga beberapa nama yang terpandang dimasyarakat.
Dalam lapangan agama, sang pembohong tidak dapat dijadikan panutan. Entah mengikuti jejaknya, meneladani sikapnya ataupun cuma mengamini pendapatnya tentang agama. Cara islam menyaring terhadap fatwa-fatwa dapat dirujuk selain melihat perilakunya sehari-hari juga melihat langsung dari hubungan fatwa. Hubungannya dapat diketahui dengna memahami hubungan dengan perawi. Atau penutur fatwa. Cara ketat ini berhasil menjaga Islam dari fatwa-fatwa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam lapangan masyarakat, justru lebih ketat lagi. “Sekali lancung, seumur hidup orang tidka percaya” demikian pepatah untuk mengingatkan agar tidak boleh berkata bohong.
“Bang photo abang tuh habis operasi plastic atau lebam akibat dipukul ? “Husshh.. jangan ngaco.. Itu photoshop.. !!!(*)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE