Jambipos Online, Jambi-Ratusan petani di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi mendapat terror dari sejumlah perusahaan perkebunan. Bahkan lahan pertanian mereka digusur secara paksa oleh perusahaan dengan klaim izin konsesi perusahaan. Bahkan ada petani di Desa Pemayung depresi karena lahan pertaniannya digusur paksa oleh perusahaan. Kini petani Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay mencari keadilan dengan melaporkan hal ini kepada sejumlah lembaga.
Kepala Desa Pemayungan Syaharudin kepada Penulis disela-sela aksi unjuk rasa “Aliansi Petani Jambi Berdaulat” di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Senin (24/9/2018) mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat protes ratusan petani Desa Pemayung ke Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Danrem Gapu 042 Jambi, Kapolda Jambi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan juga pihak Perusahaan PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT), PT. WanaMukti Wisesa (WMW) dan PT. Lestari Asri Jaya (LAJ).
Syaharudin juga menceritakan kronologis dan fakta-fakta dan permintaan bukti-bukti dasar perusahaan beraktivitas di Desa Pemayungan Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
“Sejak tahun 2010, masyarakat kami mulai diresahkan oleh kehadiran perusahaan PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT), PT. WanaMukti Wisesa (WMW) dan PT. Lestari Asri Jaya (LAJ) di Desa Pemayungan. Ini terjadi lantaran klaim izin konsesi perusahaan itu di wilayah Desa Pemayungan berdampak pada lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Tanpa mereka sadari, banyak lahan masyarakat petani masuk dalam klaim izin konsesi perusahaan itu,” ujar Syaharudin.
Disebutkan, keresahan masyarakat Desa Pemayung semakin menjadi-jadi setelah pada tahun 2012, PT. LAJ mulai menggunakan cara-cara tak lazim kepada masyarakat atas nama klaim konsesi.
“Tidak hanya melakukan pengusiran, oknum karyawan PT. LAJ juga telah melakukan intimidasi (tekanan) dan menakut-nakuti masyarakat di wilayah RT 07 RW 01 Dusun I, dengan tujuan agar masyarakat segera hengkang dari tanah yang telah bertahun-tahun, bahkan sebelum izin konsesi PT. LAJ terbit dikuasai dan digarap petani. Hingga sekarang, perlakuan oknum karyawan PT. LAJ ini kian menjadi-jadi. Diboncengi oknum anggota TNI dan Polri, mereka meminta paksa lahan milik masyarakat,” cerita Syaharudin.
Ditambahkan, tak hanya PT. LAJ, PT. WMW pun ikut melakukan cara-cara yang sama. Oknum karyawan PT. WMW memaksa masyarakat di RT 05 dan RT 06 Dusun II untuk segera meninggalkan tanah mereka. Paksaan ini diiringi dengan intimidasi dan menakut-nakuti. Sama seperti PT. LAJ, PT. WMW juga diboncengi oknum anggota TNI dan Polri.
“Belakangan, tiba-tiba muncul pula PT. ABT. Disebut tiba-tiba lantaran keberadaan perusahaan ini baru ketahuan memiliki konsesi di Desa Pemayungan setelah launching di komplek rumah dinas Bupati Tebo Oktober 2015 lalu. Saya selaku Kades Pemayungpun tidak tahu kapan ada ijin dari Desa Pemayung,” ujar Syaharudin.
Disebutkan, PT. LAJ dan PT. WMW adalah anak perusahaan PT. Royal Lestari Utama (RLU). RLU sendiri adalah joint venture antara Barito Facific Group (Indonesia) dan Michelin Group (salah satu perusahaan ban terbesar di dunia asal Perancis). Tahun ini RLU menerima obligasi keberlanjutan sebesar 95 juta USD dari Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF).
“Dalam operasionalnya, PT. LAJ memperoleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) nomor: SK.141/MENHUT-II/2010 tanggal 31 Mei 2010 atas lahan seluas 61.495 Ha di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Lahan tersebut dibagi dalam empat blok; Blok I 23.210 Ha, Blok II 1.430 Ha, Blok III 1.925 Ha dan Blok IV 34.930 Ha. Tidak dijelaskan di kecamatan mana saja semua luasan blok ini berada,” katanya.
PT. WMW memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) pola transmigrasi nomor: 275/kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 9.263,77 hektar. Konon, perusahaan ini sudah mendapat SK Penetapan Tata Batas nomor: 5952/kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002.
Kemudian PT. ABT memperoleh izin berdasarkan Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) nomor: 7/1/IUPHHK-HA/PMDN/2015 tanggal 24 Juli 2015 seluas 38.665 hektar (24.915 berada di Hutan Produksi tetap (HP) dan 13.750 hektar berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)). Luasan izin tadi kemudian dibagi dalam dua blok; Blok I (Timur) seluas 22.095 hektar dan Blok II (Barat) seluas 16.570 hektar.
“Dalam operasionalnya, PT. LAJ dan PT. WMW yang memperoleh izin IUPHHK-HTI dan PT. ABT dengan izin Restorasi Ekosistem (RE) diikat oleh Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan,” kata Syaharudin.
Disebutkan, selain itu ada juga sejumlah peraturan Menteri Kehutanan yang antara lain Peraturan Menteri Kehutanan nomor 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, Peraturan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 900/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Survei Potensi, Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan.
Kemudian Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.19/Menhut-II/2011 tentang Penataan Batas Area Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi.
Juga Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.39/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan.
Syaharudin juga menjelaskan soal analisa izin IUPHHK-HT PT. LAJ dan PT. WMW terkait lokasi seperti tercatat pada SK Kepmenhut 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 pasal 3 ayat; (1) Areal hutan yang dapat dimohon untuk Usaha Hutan Tanaman adalah areal kosong di dalam kawasan hutan produksi dan/atau areal hutan yang akan dialih fungsikan menjadi kawasan Hutan Produksi serta tidak dibebani hak-hak lain.
(4) Penutupan vegetasi berupa non hutan (semak belukar, padang alang-alang, dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 Cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 m3 per hektar.
(5) Terdapat masyarakat disekitar hutan sebagai sumber tenaga kerja.
(6) Pada prinsipnya tidak dibenarkan melakukan penebangan hutan alam di dalam Usaha Hutan Tanaman, kecuali untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana yang tidak dapat dihindari dengan luas maksimum 1 % dari seluruh luas Usaha Hutan Tanaman melalui peraturan yang berlaku.
(7) Bagian-bagian yang masih bervegetasi hutan alam di dalam areal usaha hutan tanaman, dienclave sebagai blok konservasi untuk diadakan pengamanan oleh pemegang izin usaha hutan tanaman yang bersangkutan dari berbagai gangguan sehingga dapat berkembang menjadi hutan alam yang baik.
2. Peraturan Pemerintah nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 38 ayat;
(3) Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif.
Namun pada kenyataannya, kata Syaharudin, kedua perusahaan ini mendapat lahan dengan tutupan hutan alam yang padat. Ini terbukti dari laporan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan keterangan saksi-saksi di lapangan. Artinya, dalam operasionalnya, kedua perusahaan ini telah melakukan pengrusakan hutan.
Dari fakta di atas, kedua anak perusahaan PT. RLU ini telah terang-terangan melanggar Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 ayat; (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Kemudian Pasal 78 ayat, (1)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Kemudian soal luasan lahan sesuai Kepmenhut 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pasal 4 ayat; (1) Standar Luas Areal Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman untuk :
a.Perorangan, dengan luas areal sampai dengan 1.000 (seribu) hektar dalam satu wilayah Kabupaten.
b.Koperasi masyarakat setempat, dengan luas areal sampai dengan 5.000 (lima ribu) hektar dalam satu wilayah Kabupaten.
c.Badan Usaha Milik Negara dengan luas di atas 5.000 (lima ribu) hektar s/d 50.000 (lima puluh ribu) hektar.
d.Badan Usaha Milik Daerah dengan luas di atas atas 5.000 (lima ribu) hektar s/d 50.000 (lima puluh ribu) hektar.
e.Badan Usaha Milik Swasta/Asing dengan luas di atas atas 5.000 (lima ribu) hektar s/d 50.000 (lima puluh ribu) hektar.
Kata Syaharudin, pada kenyataannya, PT. LAJ justru memperoleh izin seluas 61.495 Ha. Ini artinya, ada kelebihan luasan izin PT. LAJ sebanyak 11.495 Ha.
Analisa tentang PT. ABT: Peraturan Pemerintah nomor 3 tahun 2008 Pasal 36 ayat: (1) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu Restorasi Ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b hanya dilakukan dengan ketentuan:
a. Hutan produksi harus berada dalam satu kesatuan kawasan hutan;
c. Diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif.
Namun pada kenyataannya, lanjut Syaharudin, izin PT ABT berada di dua kawasan yang kemudian dibagi dalam dua blok. Blok pertama memiliki tutupan hutan yang masih alami. Ini artinya, izin PT. ABT tidak berada pada kawasan hutan yang tidak produktif.
Dijelaskan, pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor : P.31/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi Pasal 20 ayat; (2)Dalam hal permohonan IUPHHK-RE, sumber pendanaan kegiatan tidak dibenarkan diperoleh dari pinjaman atau hibah negara asing.
Tetapi pada kenyataanya, PT. ABT justru didanai asing (KFW) dan dikawal oleh dua NGO; Frankfurt Zoological Society (FZS) dan World Wide Fund (WWF) yang sumber pembiayaan mereka berasal dari negara asing.
Penataan Batas
Menurut Syaharudin, terkait soal batas lokasi konsesi, sesuai Peraturan Pemerintah nomor 3 tahun 2008 Pasal 71 ayat; (1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, wajib melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun sejak diberikan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman dan melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya.
“Pada kenyataannya, PT. LAJ maupun PT. ABT hingga saat ini belum melakukan tata batas. Adapun aturan main soal tata batas dapat dilihat di Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.19/Menhut-II/2011 tentang Penataan Batas Area Kerja Izin Pemanfaatan Hutan,” katanya.
Sanksi atas pelanggaran soal tata batas ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.39/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan.
“Adapun PT. WMW yang konon sudah memiliki SK Penetapan Batas No. 5952/Kpts-II/2002 Tgl. 10 Juni 2002. Namun dalam kenyataannya area kerja perusahaan ini sempat ditinggalkan oleh pemegang izin sekitar 10 tahun,” ujar Syaharudin menjelaskan.
Kata Syaharudin, mestinya Menteri Kehutanan yang kini sudah berubah nama menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sudah mencabut izin PT. WMW dengan dasar Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Pada pasal 18 ayat 3 disebutkan bahwa Hak Pengusahaan HTI dapat dicabut apabila Pemegang Hak Pengusahaan HTI menghentikan pekerjaannya dan meninggalkan arealnya selama 24 (dua puluh empat) bulan terus menerus sebelum Hak Pengusahaan HTI berakhir.
Tentang SK IUPHHK-HT PT. LAJ dan IUPHHKH-RE PT ABT, dalam amar kedua pada SK masing-masing perusahaan disebutkan bahwa: Luas dan letak defenitif area kerja ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (untuk SK PT. LAJ) atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk SK PT. ABT setelah dilaksanakan penataan batas di lapangan.
Pada Amar keempat disebutkan pula bahwa penataan batas dilakukan paling lambat setahun sejak SK diberikan. Dan di Amar Ketujuh dikatakan bahwa Apabila di dalam areal izin terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga secara sah berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal izin.
“Namun kenyataan di lapangan, kedua perusahaan ini sama sekali tidak menjalankan perintah amar-amar di atas. Dari semua urain di atas, kami mempertanyakan apa dasar PT. LAJ dan PT. ABT melakukan tindakan-tidakan yang merugikan masyarakat. Jika perusahaan PT. LAJ dan PT. ABT masih tetap saja memaksakan kehendak tanpa dasar yang jelas, kami menganggap perusahaan itu telah melakukan cara-cara premanisme. Untuk ini kami akan melakukan perlawanan dengan mengerahkan semua masyarakat Desa Pemayungan untuk mempertahankan hak petani,” ujar Syaharudin.
Kata Syaharudin, atas nama masyarakat Desa Pemayungan, pihaknya telah melaporkan hal ini kepada sejumlah pihak dengan diketahui Lembaga Adat Desa Pemayungan (Abdul Murad), Badan Perwakilan Desa Pemayungan (Sudirman), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Pemayungan (Amirudin), Karang Taruna Desa Pemayungan (Iskandar), Tokoh Masyarakat Desa Pemayungan (H. Muhammad Harun), Temenggung Suku Anak Dalam ( Sumbasri Bujang Kabut). (JP-Asenk Lee Saragih)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE