Partai Demokrat harus medukung pasangan calon dari Gerindra. Bergabung dengan kubu Jokowi tak mungkin, bersikap netral juga tak mungkin.
Jambipos Online, Jakarta - Hingga H-2 batas akhir pendaftaran calon presiden/wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), sangat kuat indikasinya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan ditetapkan sebagai pendamping Prabowo Subianto.
Dua ketua umum partai masing-masing sudah saling bertemu, dan Prabowo menjawab "why not?" ketika ditanya AHY sebagai calon wakilnya.
Fakta mengatakan lain, Prabowo akhirnya memilih Sandiaga Uno.
Sontak situasi kaget, panik, dan marah sekaligus melanda kubu Partai Demokrat (PD). Kemarahan disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal PD Andi Arief, yang menyebut Prabowo sebagai "jenderal kardus".
Celaan itu masih ditambah tuduhan serius bahwa Sandiaga membayar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk mendapat tiket calon wakil presiden (cawapres).
Di tengah kepanikan, PD berusaha menjalin kembali komunikasi yang sempat terputus dengan kubu Joko Widodo (Jokowi). Upaya ini bisa dibilang muskil, karena Ketua Umum PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya telah menyulut konfrontasi baru dengan menyebut Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebagai penghalang pihaknya masuk ke kubu petahana.
PD juga tidak bisa bersikap seperti waktu pemilihan presiden 2014 yaitu berada di posisi tengah atau netral.
Sebab, ada klausul di pasal 235 ayat 5 UU Pemilu 2017 yang bunyinya: "Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya."
Maka, setelah celaan dan tuduhan serius Andi kepada kubu Prabowo, sehari kemudian PD mengumumkan mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga, tetapi ditambahkan frasa "kami bukan partai pengusung."
Bahkan, setelah mereka seperti diledek Prabowo yang memutuskan pasangan Gerindra-Gerindra.
Politik Abu-abu Tak Laku
Menurut pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, undang-undang yang baru menghalangi gaya politik PD yang dipraktikkan di 2014. Saat itu, PD menyatakan abstain dengan tak mendukung Jokowi-Jusuf Kalla maupun Prabowo-Hatta Rajasa.
PD menjadi satu-satunya partai yang tak mengusung maupun mendukung capres-cawapres pada 2014.
"Setelah ada undang-undang yang baru ini, sikap abu-abu demikian berakhir," kata Emrus.
Menuju Pilpres 2019, SBY awalnya membawa PD berkomunikasi dekat dengan Jokowi sebagai calon petahana. Selain menemui Presiden Jokowi, dia juga mengirim petinggi partai dan putranya, AHY, untuk berkomunikasi dengan partai-partai pendukung Jokowi.
Namun, mendadak menjelang akhir masa konsolidasi antar parpol, SBY membawa PD melompat ke kubu Prabowo. Bahkan PKS dan PAN yang lebih dulu berkomunikasi dengan Prabowo seakan tersingkir dengan kehadiran PD.
Seiring konsolidasi kekuatan yang makin intens bersama trio Gerindra-PKS-PAN, SBY tiba-tiba melontarkan pernyataan yang cukup kontroversial.
Awalnya dia memaparkan telah berulangkali bertanya ke Jokowi apakah partai-partai koalisi pendukung Jokowi tidak keberatan jika PD bergabung ke kubu petahana. Setelah itu, dia menyebut nama Megawati.
"Tapi itu terus terang merupakan pertanyaan saya, karena melihat realitas hubungan Ibu Megawati dengan saya belum pulih. Jadi masih ada jarak, masih ada hambatan di situ," kata SBY dalam jumpa pers pada 25 Juli lalu.
Dalam jumpa pers tersebut, SBY beberapa kali mengindikasikan kalau hubungannya dengan Megawati menjadi kendala.
"Ya, kalau hubungan saya dengan Ibu Megawati saya harus jujur memang belum pulih, masih ada jarak. Ikhtiar untuk saya bisa menjalin komunikasi mungkin saya lakukan selama 10 tahun, mendiang Taufik Kiemas (suami Megawati) sahabat saya juga berusaha untuk memulihkan silaturahmi kami berdua."
"Tuhan yang maha kuasa belum menakdirkan untuk hubungan kami kembali normal."
Pernyataan SBY ini segera disambut sengit oleh para petinggi PDI Perjuangan.
"Kami katakan ini curhat musiman jelang pemilu. Ini selalu muncul seolah Ibu Megawati Soekarnoputri yang tak mau membangun tali silaturahmi," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Juga, pernyataan SBY ini seperti mengirim pesan bahwa PD bergabung dengan kubu Prabowo hanya karena ditolak oleh kubu Jokowi.
Ketika SBY akhirnya harus berbenturan dengan mitra koalisinya sendiri akibat masuknya nama Sandiaga, situasi menjadi sangat rumit. Kembali ke kubu Jokowi mustahil, bersikap abstain juga tak mungkin.
"Politik memang harus pilih A atau B. Tak ada abu-abu. Kita harus tunjukkan jalan jelas. Kalau menentukan koalisi saja sudah ragu, ya pemilih juga ragu memilih partai mereka," kata pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Leo Agustino.
Menurut Leo, gaya politik abu-abu model PD ini sudah bukan zamannya lagi. Gaya demikian justru menunjukkan lemahnya idealisme di kalangan petinggi partai itu.
Baru pada hari terakhir pendaftaran capres-cawapres, PD memutuskan tetap di gerbong Prabowo.
"Perilaku abu-abu, yang menunggu last minute, bukan politik yang diidamkan masyarakat saat ini yang menuntut kepastian," ujar Leo.
Selain dilarang oleh pasal 235 UU Pemilu, politik abu-abu model PD juga tak memenuhi standar etika politik yang baik, kata Emrus.
Pemilih lebih menghargai partai politik yang jelas mengambil posisi. Hal itu sudah dibuktikan oleh PDI Perjuangan yang konsisten menjadi oposisi pemerintahan SBY. Setelah 10 tahun, PDIP menjuarai pemilu 2014, ulasnya.
Begitupun dengan Gerindra yang selama pemerintahan SBY juga oposisi, dilanjutkan di masa Jokowi. Walau belum jadi juara, raihan suara Gerindra di pemilu terus meningkat.
"Jadi harus ambil garis. Kalah atau menang itu belakangan. Kalau kalah sekali pun, itu adalah keberhasilan tertunda," kata Emrus.
Dilanjutkan Emrus, politik itu berbasis moral, dan moral selalu melihat layaknya dua sisi yang berbeda, hitam atau putih-- bukan abu-abu.
"Jadi harus memilih. Rakyat juga tahu dan lebih suka dengan yang jelas. Bagi saya PDIP dan Gerindra jauh lebih baik dari PD. Bagi saya, kini PD harus maju dengan politik ideologi dan visi misi jelas," tandas Emrus.
Cawapres Pinggir Jalan
PD punya alasan kuat untuk mengajukan AHY sebagai cawapres. Konteksnya bisa dipahami dalam konsep yang disebut efek ekor jas (coattail effect) bahwa popularitas dan elektabilitas capres-cawapres yang diusung akan mempengaruhi perolehan suara partai yang mendukung.
Prabowo-Sandi . |
Asumsinya, bila AHY diusung sebagai cawapres, akan mendorong pilihan publik kepada PD di pemilu legislatif.
Kenyataan pahit bagi PD bahwa calon yang harus didukungnya adalah Gerindra-Gerindra.
Menurut Leo Agustino, yang akan mendapat keuntungan dari coattail effect di pilpres ini adalah Gerindra.
"Karena kedua calonnya adalah Gerindra," imbuhnya.
Kedua, yang mendapat pengaruh adalah PAN karena publik menangkap pasangan Prabowo-Sandi bisa terjadi berkat hasil kerja Amien Rais di PAN.
"Sehingga pemilih Prabowo-Sandi melihat PAN lebih bisa menggerakkan dibanding PD," imbuh Leo.
Maka AHY bisa dikatakan menjadi cawapres pinggir jalan, setelah baliho-baliho besar yang mempertontonkan fotonya di pinggir jalan-jalan protokol di ibu kota tetap tak mampu mengubah keputusan Prabowo memilih Sandiaga.
Leo mengatakan bahwa sebenarnya tren suara PD memang menurun sejak SBY mengakhiri jabatannya sebagai presiden di 2014.
"Yang membuat PD masih bertahan adalah SBY. Variabel AHY belum signifikan untuk bisa memberi suara untuk PD," kata Leo.
Dia menduga suara PD masih akan di kisaran perolehan suara saat pemilu 2014 lalu.
"Akan begitu-begitu juga. Di kisaran 6-7 persen," imbuhnya.
PD menyodorkan AHY ke publik sebagai strategi untuk membangun ketokohan baru di luar SBY, selain untuk menggaet pemilih baru dan muda.
Dalam sudut pandang ini, yang perlu diwaspadai oleh PD adalah strategi menggaet pemilih muda yang juga dilancarkan partai lain.
Gerindra, PAN, dan PKS yang juga ada dalam sekoci Prabowo-Sandiaga menyasar kelompok yang sama. Sementara dari kalangan parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, PD harus mewaspadai Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
"Perindo dan PSI juga cukup menarik bagi pemilih muda, ini bisa mempengaruhi raihan suara PD," kata Leo.
Tim Hore
Emrus Sihombing mengatakan kondisi akan berbeda bila Prabowo menggandeng AHY sebagai cawapresnya. Limpahan coattail effect tentu akan diperoleh PD.
Dengan Prabowo-Sandiaga, PD disebut layaknya tim hore saja.
"Jadi sebenarnya PD sekedar jadi penggembira saja buat Prabowo-Sandi. Makanya bisa dipahami kenapa kemarin SBY dan PD mati-matian supaya Prabowo mengusung AHY," kata Emrus.
Kubu Prabowo-Sandiaga bisa saja menyebut bahwa Sandiaga sudah keluar dari keanggotaan Gerindra sejak dijadikan cawapres oleh Prabowo. Namun, dalam ilmu komunikasi politik, Emrus mengatakan hal demikian takkan bisa otomatis hilang dari memori publik.
"Publik pasti menilai, walau Sandi mundur dari Gerindra, orang masih berpikir bahwa dia dari Gerindra. Sama seperti Jokowi itu adalah PDIP. Itu sudah pasti," ujar Emrus.
Walau demikian, PD diyakini masih bisa lolos ke parlemen di periode 2019-2024, alias berhasil memenuhi parliamentary threshold yang 4 persen.
Menurut Leo, figur SBY masih akan menjadi magnet penarik suara publik, bukan figur AHY.
"Masih bisa. Kecuali Pak SBY tarik diri dari pentas politik. Orang melihat tak ada sosok dianuti di PD sehingga pemilih beralih ke parpol lain. Bahkan saya duga SBY akan turun mempersiapkan Pilgub Jakarta 2022 dan Pilpres 2024," ujar Leo.
Emrus juga menyatakan hal senada. Menurut dia, secara hipotesis PD dan SBY masih memiliki pendukung yang cukup, sebagai sisa-sisa dari kejayaan memimpin Indonesia selama dua periode dari 2004-2014.
"Dia masih eksis sebab dia sudah pernah memerintah dua periode, takkan langsung sejatuh itu hingga tak lolos ke parlemen, walau tak mengusung capres-cawapres," ujarnya.
14 Tahun Tanpa Regenerasi
Emrus menyoroti gagalnya kaderisasi kepemimpinan di PD, dan penyebabnya adalah citra partai itu sebagai milik keluarga SBY.
SBY memerintah Indonesia sejak 2004 hingga 2014, dan seharusnya di masa itu berhasil melahirkan calon pemimpin nasional baru dalam partainya.
Pada 2004, SBY adalah kader utamanya. Lalu pada 2010, berhasil menjadikan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum PD yang berusia muda. Namun, kepemimpinan itu diambil alih lagi oleh SBY ketika Anas terjerat kasus hukum.
"Kalaupun kemarin ketua umum sementara PD itu SBY, oke lah, harusnya sementara saja. Tapi buktinya dia (SBY) sampai sekarang bertahan. Artinya tak ada kaderisasi," kata Emrus.
Yang ideal adalah SBY sekedar mengisi masa transisi dan tak perlu lama dan pemimpin berikutnya seharusnya bukan dari keluarga SBY.
"Di model partai seperti PD, model begini tak baik -- 14 tahun PD tak bisa melahirkan pemimpin. Inilah manajemen partai tak baik."
Secara mendadak, PD lalu menyodorkan AHY dengan menjadikannya calon gubernur DKI Jakarta. Setelah kalah, AHY digelorakan sebagai bakal cawapres, dan kembali gagal sebelum pemilihan dilakukan.
"Jadi baiknya SBY dan Demokrat introspeksi. Ini zero growth kepemimpinan, bisa timbulkan lost generation di partai itu," kata dia.
Kuncinya adalah PD mengingat bahwa parpol bukanlah milik pendiri atau pendana semata, tetapi milik publik dan menerima dana APBN dari pajak rakyat.
"Solusi terbaik, hidupkan demokrasi di PD. Jangan ada tokoh sentral. Yang berdaulat adalah pemilik hak suara. Jangan timbulkan tokoh sentral yang hanya akan menimbulkan frustrasi bagi anggotanya," ujar Emrus.(*)
Sumber: BeritaSatu.com
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE