Selebritas dan Pragmatisme Parpol |
Jambipos Online, Jakarta - Partai politik (parpol) mengakui bahwa mereka sulit untuk tidak mengusung calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan pesohor, seperti artis dan atlet terkenal. Partai menuding sistem proporsional terbuka dalam pemilihan langsung yang membuat pesohor jadi salah satu pilihan.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Hugo Pareira mengatakan bahwa sikap pragmatis partai dalam memilih caleg itu memang ada.
“Sebab, sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak yang dianut dalam sistem pemilu nasional memang memiliki konsekuensi demikian,” ujarnya di Jakarta, Rabu (18/7/2018).
Dikatakan, dalam sistem seperti itu, parpol sendirian tak cukup untuk bisa mendulang suara, sehingga harus pula menghadirkan figur calon yang mampu bersaing. Partai bisa saja memiliki elektabilitas tinggi, tetapi bila tak didukung figur yang kuat, seperti artis, maka bisa gagal.
“Ada nuansa pertarungan bebas antarpartai dan antarfigur,” kata Andreas. Dengan situasi seperti itu, partai pun dituntut realistis. Kalau ingin mendapatkan banyak kursi di parlemen, ujarnya, maka selain partai, figur yang diusung juga harus diperkuat.
“Nah, figur itu apa? Akseptabilitas publik yang tinggi dan kapasitas individu yang lebih. Akseptabilitas itu dimulai dari popularitas dan tingkat kesukaan publik agar orang mau mempertimbangkan untuk memilihnya. Itulah konsekuensi logis sistem tersebut,” ujarnya.
Dikatakan, sebenarnya PDIP sempat mengusulkan agar sistem pemilu diubah ke proporsional tertutup. Namun, mayoritas fraksi di DPR tidak berani menerapkan sistem itu dengan alasan publik tak menginginkannya.
Dengan pragmatisme seperti itu, diakui bahwa kualitas parlemen akan menjadi taruhan. Akan banyak waktu terbuang, karena parpol harus mendidik kader populernya itu agar bisa bekerja maksimal di parlemen.
Di PDI-P, kata Andreas, ada cara untuk “menyiasatinya”, yakni melalui sekolah partai. Selain menyelenggarakan pendidikan kader, PDI-P juga berusaha selalu benar-benar menyeleksi caleg sejak tahap awal agar mereka tidak sekadar memiliki akseptabilitas, tetapi juga kapabilitas dan integritas.
Hukum Rimba
Sekjen DPP Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, kecenderungan parpol mendahulukan kalangan populer karena substansi demokrasi Indonesia masih mengedepankan kuantitas dibanding kualitas.
“Alhasil, segala cara dipakai agar bisa mendapatkan suara terbanyak. Demokrasi di Indonesia menjadi demokrasi yang beraroma hukum rimba,” kata Rofiq.
Menurut dia, hal itu didukung pula oleh kecenderungan politik yang berorientasi semata kepada kekuasaan. Padahal, politik sesungguhnya harus mampu mewujudkan keberpihakan terhadap rakyat secara utuh. Kekuasaan harus menjadi alat, bukan tujuan.
Sekjen DPP Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, partainya merekrut sedikitnya 20 orang dari kalangan artis untuk menjadi caleg. Kalangan artis dianggap mewakili profesi yang berlatar belakang seni dan budaya.
“Dalam merekrut caleg, kami mempertimbangkan tiga hal, yaitu kompetensi, intergritas, dan elektabilitas atau kepopuleran. Ketiga hal itu melekat dalam program ‘Indonesia Memanggil’ yang merekrut caleg 2019,” kata Johnny.
Khusus untuk kalangan artis, Partai Nasdem tidak semerta-merta mengejar keterpilihan di Senayan. Nasdem mempertimbangkan untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang yang memiliki latar belakang profesi yang berbeda-beda, termasuk dari kalangan seni dan budaya.
Oleh karena itu, dia membantah bahwa caleg artis dipilih karena takut tidak lolos ambang batas perolehan suara agar partai bisa masuk parlemen. Dia pun memastikan, caleg artis yang diusung Partai Nasdem juga memiliki kompetensi dan integritas sebagai anggota DPR.
Wakil Ketua Umm DPP Partai Gerindra Arief Poyuono memastikan bahwa artis yang diusung partainya sebagai caleg juga memiliki kualitas, terutama mengenai masalah kebangsaan dan NKRI.
“Misalnya, Ahmad Dani sangat mumpuni dalam hal kebangsaan. Dia peduli terhadap perbaikan bangsa dan negara,” katanya. Lalu, ada Hemalia Putri yang juga aktif dalam banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait perbaikan kualitas sumber daya manusia.
Meski demikian, dia mengakui bahwa popularitas menjadi satu acuan bagi seseorang yang mencalonkan diri untuk bisa mendulang suara. Hal itu yang menjadi pertimbangan walau bukan patokan utama.
Arief mengatakan, kehadiran artis sebagai caleg juga belum menjadi jaminan elektabilitas partai akan meningkat. Dia meyakini, faktor dana masih menjadi yang utama dalam pemilihan mendatang. “Siapa yang kuat dananya, dia yang akan mendulang suara. Itu masih terjadi,” kata Arief.
Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni menambahkan, pihaknya lebih mengutamakan kualitas bakal caleg dibandingkan profesi. PSI, kata Antoni, terbuka terhadap semua profesi, termasuk kalangan artis, dengan catatan yang bersangkutan memiliki kualitas dan integritas sebagai wakil rakyat.
“Poinnya, kami terbuka terhadap semua profesi, tetapi harus berkualitas dan berintegritas. Karena itu, proses perekrutan caleg kami lakukan dengan seleksi ketat dan transparan oleh para penguji yang sangat berkapasitas,” kata dia.
Dikatakan, PSI selalu menekankan kepada para bakal caleg bahwa menjadi calon wakil rakyat bukan hanya untuk meramaikan pemilu. Partai memberikan kader-kader terbaik untuk menjadi pemimpin bangsa, khususnya di bidang legislasi. Karena itu, kader-kader tersebut harus siap dan mempunyai kemampuan yang mumpuni.
Antoni memastikan, beberapa artis yang menjadi caleg dari PSI mempunyai kualitas yang bagus. Sebab, mereka sudah lolos seleksi yang ketat di partai. “Misalnya, salah satu artis yang menjadi caleg PSI adalah Giring, vokalis Band Nidji. Kami yakin dia tidak sekadar artis, tetapi artis yang berkualitas,” tuturnya.
Persaingan 16 partai pada pemilu langsung dengan sistem proporsional terbuka mengharuskan mereka menyediakan kader dengan popularitas tinggi agar bisa mendulang suara dan mengungguli partai lain.
Sejarah Berulang
Meski banyak artis yang akan menyerbu Senayan, ternyata tidak semuanya dipastikan terpilih. Pada Pemilu 2014, dari 74 artis yang menjadi caleg hanya 19 orang (sekitar 26%) yang terpilih. Ini menunjukkan rakyat semakin cerdas dalam memilih calon wakil mereka, yakni orang-orang yang memiliki integritas, kapabilitas, kompetensi, dan pemahaman terhadap wawasan kebangsaan.
Demikian rangkuman pendapat peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego, Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, dan pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun.
“Pasti meningkat tajam (jumlah caleg artis). Persaingan 16 partai dengan sistem pemilu langsung, mau tak mau mengharuskan parpol untuk menyediakan kader dengan popularitas tinggi. Belum lagi pelaksanaan pemilu serentak, juga mengharuskan parpol untuk mengampanyekan calon presiden (capres) yang akan diusung nanti. Untuk kepentingan kampanye tersebut, peran pesohor akan sangat menbantu mendekatkan partai dan capres-cawapres ke konstituen,” kata Lucius.
Menurut dia, maraknya caleg artis menunjukkan kegagalan partai dalam melakukan kaderisasi. Selain itu, partai baru juga tidak memiliki banyak waktu untuk merekrut kader berpotensi.
Akhirnya, kata dia, partai bekerja secara instan dan pragmatis dalam merekrut bakal caleg. Hal itu juga membuat partai mengabaikan prinsip-prinsip kualitas dan integritas dalam mengusung caleg.
“Tak mengherankan jika kalangan artis yang lolos ke parlemen pada pemilu sebelumnya hampir semuanya tak mampu bersinar gemilang, sebagaimana ketika status artis masih menjadi pilihannya. Bahkan, ekspresi kebingungan bekerja sebagai politisi membuat para wakil rakyat berlatar artis tertentu akhirnya berani menantang badai dengan terus menggauli dunia keartisannya selama menjadi wakil rakyat,” kata dia.
Pada Pemilu 2014, Formappi mencatat ada 74 nama caleg yang berlatar belakang pesohor. Mereka menyebar di sejumlah partai, kecuali Partai keadilan Sejahtera (PKS). Partai Amanat Nasional (PAN) tercatat sebagai partai dengan caleg artis terbanyak. Dari 74 nama tersebut, hanya 19 orang yang berhasil meraih suara terbanyak di dapil masing-masing dan mendapatkan kursi di DPR.
Dikatakan, pemilu langsung dengan sistem proporsional terbuka bukan menjadi pembenaran partai bekerja instan dalam merekrut bakal caleg. Seharusnya, sistem pemilu langsung memberikan pesan kepada partai untuk melakukan kerja sangat serius dalam hal kaderisasi menyiapkan calon pemimpin.
Indria Samego dari LIPI mengatakan, sikap pragmatisme partai yang membuat mereka secara instan merekrut caleg dari kalangan artis. “Saya kira sejarah akan terus berulang. Semua parpol menargetkan dapat kursi sebanyak-banyaknya. Akhirnya, yang dicari adalah kalangan popular dan mampu memasarkan partai,” katanya.
Dikatakan, partai hanya memikirkan strategi untuk meraup suara pemilih tanpa mempertimbangkan kualitas caleg. “Pikiran-pikiran strategis partai adalah bagaimana menang dengan cara mudah dan cepat. Masyarakat juga masih sangat dipengaruhi budaya pasar dan budaya pop,” imbuhnya.
Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby menambahkan, fenomena artis menjadi caleg juga disebabkan permasalahan kegagalan partai melakukan perekrutan dan kaderisasi. Rata-rata, kata dia, figur yang masuk partai merupakan kader baru. “Mungkin, baru enam bulan sampai satu tahun langsung direkrut menjadi caleg. Ini bukti proses kaderisasi tidak berjalan baik,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari mengatakan, popularitas tokoh atau kader nasional yang dianggap representasi dan identik dengan partai menjadi varibel yang menentukan elektabilitas partai. Artinya, parpol yang mempunyai tokoh nasional populer, seperti artis, akan berimbas positif saat pileg.
Namun, dia mengingatkan, citra dan kerja politik partai secara kolektif juga bisa berpengaruh terhadap elektabilitas. Oleh karena itu, menurut Qodari, caleg dari kalangan artis hanya faktor terakhir.
Peneliti CSIS Arya Fernandes mengatakan, munculnya caleg artis karena persaingan antarparti akan semakin ketat pada Pemilu 2019. Ada tiga alasan yang membuat persaingan ketat tersebut. Pertama, ada perubahan parliamentary threshold dari 3,5% menjadi 4%. Kenaikan ambang batas syarat partai bisa duduk di parlemen itu tidak hanya berdampak pada partai baru, tetapi juga partai menengah ke bawah.
Kedua, penambahan jumlah partai peserta pemilu dari 12 menjadi 16 partai. Partai-partai baru hadir dengan kekuatan finansial, tokoh, dan semangat yang bisa membuat masyarakat beralih dukungan.
“Ketiga, Pemilu 2019 akan menjadi pemilu serentak antara pileg dan pilpres,” tuturnya.
Menurut Arya, para artis bakal ditempatkan oleh partai di dapil baru, di mana sebelumnya parpol tersebut tidak mendapatkan suara. Tujuannya agar partai tersebut mendapatkan kursi dari dapil tersebut.
Hukum Pasar
Ubedilah Badrun dari UNJ berpandangan, hukum pasar berlaku dalam pengajuan caleg oleh partai. “Jadi yang penting bagi partai, caleg mereka laku dijual ke pasar publik dengan kemasan citra popularitas,” kata Ubedilah.
Dikatakan, untuk memenuhi permintaan pasar itu, partai kerap mengabaikan integritas dan kapasitas caleg yang diusung. Fenomena seperti itu, ujarnya, pada sisi tertentu bisa merusak mental kader yang sudah berjuang dari bawah. “Mereka mengikuti, dibesarkan, dan membesarkan partai, tetapi tiba-tiba terpotong mobilitas vertikal politik oleh pendatang baru yang lebih popular, seperti para artis,” terangnya.
Partai-partai yang merekrut para pesohor sebagai caleg memang bisa meningkatkan elektabilitas mereka. Tetapi, apabila DPR diisi kebanyakan pesohor yang minim integritas dan minim kapasitas, masa depan parlemen di Indonesia tidak akan cepat membaik, bahkan cenderung memburuk secara kualitas.
Peneliti dari Populi Center, Nona Evita berpandangan, partai politik sengaja mengambil caleg dari kalangan artis karena sudah memiliki popularitas di tengah masyarakat. Cara terebut merupakan cara instan dan termudah yang bisa dilakukan partai untuk mendongkrak perolehan kursi di DPR.
Atas kondisi itu, masyarakat seharusnya dapat lebih dapat diedukasi untuk memilih caleg berdasarkan kapabilitas dan integritas, bukan berdasarkan popularitas. Jika yang dicari hanya popularitas, maka kinerja di parlemen sulit untuk bisa diandalkan.
Ke depan, kata Nona, seharusnya perlu ada seleksi yang lebih ketat lagi supaya artis yang ditawarkan sebagai caleg juga memiliki kemampuan dan integritas bukan sekadar terkenal. Artis yang menjadi caleg harus memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan yang baik.
“Pada intinya, kembali lagi yang harus diedukasi adalah masyarakat. Seharusnya, masyarakat bisa memilih berdasarkan kapabilitas dan integritas caleg. Bukan sekadar popularitas,” kata dia.
Kuota Perempuan
Partai kesulitan mencari perempuan calon legislatif (caleg). Menurut Ketua DPP PDI-P, Andreas Hugo Pareira, tak mudah untuk mendapatkan perempuan caleg sesuai kuota 30%. Pasalnya, realitas budaya kita saat ini, keterlibatan perempuan di ranah publik seperti politik, memang masih sulit ditingkatkan.
PDI-P sudah sejak lama memberi perhatian pada isu ini dengan membentuk bidang khusus perempuan yang dipimpin seorang ketua DPP, yang kini dipegang Wiryanti Sukamdani. "Tapi mengajak perempuan berpolitik seperti di Eropa dan negara demokrasi maju lainnya terbukti tak seperti membalikkan tangan," kata Andreas.
Meski sulit mendapatkan perempuan caleg, Andreas tidak ingin kuota 30% perempuan itu dihapus. “Minimal, dengan aturan syarat 30% keterwakilan perempuan, parpol dimotivasi agar semakin memberi tempat pada perempuan dalam politik,” katanya.
Hal berkebalikan diungkapkan Sekjen Partai Perindo, Ahmad Rofiq. Dikatakan, partainya sama sekali tak mengalami kesulitan menjaring caleg perempuan . Bahkan mereka bisa memastikan kualitas calon. Ia mengakui, banyak parpol yang mengisi syarat perempuan caleg sebesar 30% sebagai formalitas semata. Karenanya banyak calon yang tak berkualitas. Bagi Perindo, kata Rofiq, waktu akan memperbaiki kondisi itu. Pihaknya memprediksi ke depan para perempuan caleg akan semakin banyak dan tak sulit ditemukan di masa mendatang.
Pakar politik dari LIPI, Syarief Hidayat mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi mengapa perempuan terkesan kurang tertarik terjun ke panggung politik. Pertama, faktor budaya. Sebagian besar masyarakat masih memandang bahwa dunia politik adalah dunia keras karena merupakan arena pertarungan perebutan kekuasaan sehingga kurang pas diikuti perempuan.
Ketika politik dikaitkan dengan kepemimpinan, lagi-lagi mayoritas masyarakat kita masih memandang bahwa laki-laki lebih relevan untuk berperan sebagai aktor utama. “Perspektif seperti ini semakin mendapatkan legitimasi ketika dikaitkan prinsip kepemimpinan menurut agama tertentu, dimana memosisikan laki-laki sebagai prioritas utama,” ujar Syarief, Rabu (18/7/2018).
Kedua, faktor keterbatasan mobilitas perempuan. Untuk dapat memenangkan kontestasi pada pemilu dibutuhkan mobilitas sangat tinggi terutama pada saat kampanye.
Ketiga, faktor keterbatasan logistik. Sudah merupakan rahasia umum bahwa kontestasi pada pemilu dalam periode transisi demokrasi membutuhkan biaya politik yang sangat tinggi. Kekuatan modal finansial menjadi penentu untuk membeli suara pemilih. “Lagi-lagi, perempuan caleg kurang didukung oleh logistik yang memadai,” jelasnya.
Banyak perempuan caleg yang memiliki kualitas mumpuni. Namun, karena sejumlah keterbatasan tadi para caleg tersebut kalah bersaing.
Dalam jangka panjang, Syarief setuju bahwa kuota 30% untuk perempuan harus dihapuskan.
“Namun, dalam jangka pendek dan menengah, sekitar 5 sampai dengan 10 tahun ke depan, kebijakan kuota tersebut masih diperlukan sebagai terapi paksa atas penyakit bias laki-laki dalam rekrutmen dan promosi caleg,” katanya.
Sumber: Suara Pembaruan
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE