Spanduk di salah satu ruas jalan tol. Entah siapa yang memasangnya. Foto spanduk ini beredar luas di media sosial ditambahi narasi seputar Pilpres 2019.(istimewa/Twitter) |
Oleh: Bambang P Jatmiko
Jambipos Online-SEBELUM memulai, izinkan saya terlebih dulu mohon maaf jika dalam tulisan ini ada kekhilafan. Apalagi saat saya menulis ini dalam suasana Bulan Ramadhan, saya tidak bermaksud bergunjing serta menyindir siapa pun.
Well, mudik, bagaimanapun, tak hanya perjalanan dari kota menuju kampung-kampung di pelosok untuk sejenak bertemu keluarga. Melepas kangen. Atau mungkin sedikit pamer atas kesuksesan yang dicapainya di kota. Lebih dari itu.
Mudik merupakan perjalanan spiritual. Meluangkan sejenak untuk kembali mengingat awal mula perjalanan hidup. Kembali memaknai nilai-nilai yang selama ini terabaikan. Termasuk, merajut tali-tali persaudaraan yang selama ini kurang terawat karena nihilnya kehadiran fisik.
Sejumlah teman berkisah, betapa mereka menemukan kesyahduan saat menempuh perjalanan mudik. Berangkat dari Jakarta. Di jalan bertemu dengan orang lain yang sama-sama ingin mudik ke kampung halaman, serasa mereka menemukan saudara di perjalanan. Merasa senasib. Merasa memiliki tujuan yang sama.
Saling merasa sebagai saudara. Dan itu adalah sensasinya menjalani ritual mudik yang dilakoni setahun sekali. Tahun ini perasaan yang sama pastinya kembali muncul saat penduduk kota mulai melakoni mudik ke kampung halaman.
Ditambah dengan rampungnya pembangunan sejumlah ruas jalan tol, prosesi mudik pastinya lebih lancar. Lebih khusyuk. Dan, tentunya tak menguras tenaga. Meskipun prosesi mudik lebih lancar, ada sejumlah isu yang justru mengganjal di hati para pemudik.
Ya, ganjalan yang dimaksud adalah bertebarannya pesan-pesan bernada politis terkait jalan tol. Mulai pesan di WhatsApp, Facebook, hingga ke spanduk-spanduk. Isinya beragam. Di satu sisi ada yang nyinyir dengan pembangunan jalan tol.
Di sisi lain, ada juga yang mendukung. Termasuk, spanduk penegasan bahwa jalan tol tersebut adalah jalan tol Pak Jokowi. Ya, namanya politik, semuanya bisa saja dilakukan.
Apa pun yang bisa ditempuh untuk menjatuhkan lawan, ya dilakukan. Apa pun yang bisa menguatkan posisi politik, ya diklaim sebagai keberhasilan.
Duitnya “ Cebong” dan “ Kampret”
Begitulah ketika jalan tol kemudian dipolitisasi. Terlepas dari kesyahduan prosesi mudik, jalan tol merupakan proyek infrastruktur yang melibatkan dana super-gede, termasuk dana dari perbankan yang dikucurkan agar proyek bisa berjalan.
Pemerintah sendiri mengestimasi, keperluan pembangunan jalan tol selama periode 2015-2019 mencapai Rp 799 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah hanya mampu menutup 37 persen. Selebihnya, diserahkan kepada mitra baik BUMN maupun swasta.
Sementara bagi BUMN dan swasta, untuk menggarap proyek-proyek jalan tol yang ada, porsi pembiayaan yang lazim adalah 30:70 (baik untuk investasi maupun modal kerja). Dalam hal ini, 30 persen adalah ekuitas dari perusahaan yang terlibat.
Kemudian 70 persen adalah dana dari eksternal, entah itu melalui pinjaman bank maupun pinjam ke pasar lewat penerbitan surat utang. Di sini yang menarik. Bank dalam menyalurkan kredit ke jalan tol akan mengandalkan dana pihak ketiga (DPK).
Dana tersebut milik nasabah yang disimpan dalam bentuk tabungan, giro, maupun deposito. Tak peduli nasabah itu pendukung pemerintah (“ cebong”) maupun pendukung kelompok yang berseberangan atau biasa dijuluki “ kampret”.
Yang jelas bank akan menyalurkan dana tersebut kepada perusahaan yang memerlukan pembiayaan. Tidak mungkin bank memilah dan memilih dana yang dialokasikan ke proyek jalan tol hanya dari nasabah kelompok “cebong”.
Sementara duit dari kelompok “kampret” disisihkan untuk dialokasikan ke kredit sektor lain. Sebaliknya, seorang “kampret” juga tak bisa mengajukan request agar duitnya yang disimpan di bank tidak disalurkan ke jalan tol. Sebaliknya, kelompok “cebong” tak bisa minta ke bank agar dananya disalurkan ke proyek tersebut.
Semuanya merupakan otoritas bank. Bank, bagaimanapun, memiliki sejumlah prinsip yang sama sekali tak berkaitan dengan afiliasi politik.
Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah prinsip kepercayaan, prinsip kehati-hatian, prinsip kerahasiaan, dan prinsip mengenal nasabah. Prinsip kepercayaan yakni bank berusaha menjaga kepercayaan masyarakat agar dana tetap disimpan di institusinya.
Caranya, bank perlu menjaga kesehatan perusahaannya. Adapun prinsip kehati-hatian mengacu pada upaya penyaluran dana oleh bank kepada debitur harus sangat berhati-hati.
Tujuannya sama, agar kesehatan bank tetap terjaga dan kredit yang disalurkan tidak macet. Sementara itu prinsip kerahasiaan lebih mengacu kebijakan bank merahasiakan data nasabah penyimpan dan simpanannya.
Terakhir, prinsip mengenal nasabah. Bank selalu mengulik identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Namun dalam hal ini, bank tak akan menanyakan apakah nasabah itu terafiliasi dengan “cebong” ataukah “kampret”.
Ketika duit nasabah sudah masuk ke bank, duit tersebut bercampur dengan nasabah lainnya. Demikian juga saat dana tersebut disalurkan untuk pembiayaan jalan tol.
Duit “cebong” serta dana milik “kampret” akan berbaur. Sampai di sini seharusnya sudah mulai paham bahwa jalan tol terbangun karena peran dari para “cebong” dan “kampret” yang disimpan di bank.
Di bawah naungan bank, nasabah “cebong” dan “kampret” adalah bersaudara, senasib, dan sepenanggungan. Jika jalan tol yang dibangun sukses dan dilalui banyak pengendara mobil, duit “cebong” dan “kampret” akan baik-baik saja. Demikian pula sebaliknya.
Pesan untuk “Cebong” dan “Kampret”
Karena proyek jalan tol melibatkan dana masyarakat yang cukup besar, tentu tidak elok memolitisasinya.
Apakah itu mengklaimnya sebagai keberhasilan satu pihak atau menyinyiri sebagai proyek yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. Ingat, duit yang berputar di proyek jalan tol tak cuma dari mereka yang mendukung pemerintah.
Duit dari nasabah yang nyinyir ke pemerintah pasti ada yang terpakai di proyek ini. Bagi para “cebong”, perlu diingat bahwa uang untuk membangun jalan tol tak hanya dari uang kalian. Ada uang para “kampret” yang juga dipakai untuk membangunnya.
Bahkan, bisa saja duit para "kampret" lebih banyak terpakai ketimbang duit kalian. Bagi para “kampret”, pahamilah bahwa ada uang kalian yang berputar di proyek jalan tol.
Jika kalian nyinyir dan jalan tol menjadi sepi, yang akan menghadapi risiko kredit macet juga kalian sendiri. Tak perlu mengimbau orang lain untuk tidak lewat jalan tol, wahai “kampret”.
Justru yang perlu kalian lakukan adalah ajak semua orang lewat jalan tol yang dibangun. Berterimakasihlah kepada para “cebong” yang mempromosikan jalan tol baru. Dengan begitu, uang kalian di bank yang dikucurkan untuk proyek jalan tol tetap bisa berputar.
Karena itu, wahai para "cebong" dan "kampret", sesungguhnya kalian tak punya pilihan lain, selain mendukung sepenuhnya proyek pembangunan jalan tol.
Yang mana pembiayannya berasal dari uang kalian semua. Untuk para pemudik, selamat menikmati ritual tahunan ini. Sudah ada jalan tol yang bisa dilalui yang membuat prosesi mudik menjadi lebih asyik. Jaga konsentrasi di jalan, dan selamat sampai tujuan.(Penulis Adalah Editor Jurnalis dan penjaga gawang Desk Ekonomi Kompas.com)
Sumber: Kompas.com
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE