BOM BUNUH DIRI DI SURABAYA, MINGGU 13 MEI 2017.IST |
Jambipos Online-Aparat Polri menjadi target aksi teroris di Tanah Air. Lima anggota Polri tewas dalam kerusuhan dan penyanderaan oleh narapidana (napi) kasus terorisme di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob, pada Selasa (8/5/2018) malam hingga Kamis (10/5/2018) pagi. Pada Kamis malam, seorang anggota Brimob juga tewas karena ditikam orang tak dikenal saat menjalankan tugas pengamanan Mako Brimob. Dengan demikian, ada enam anggota Korps Bhayangkara yang tewas dalam rangkaian kerusuhan berdarah di Mako Brimob.
Fakta tersebut ibarat pukulan telak bagi jajaran Polri. Sebab, para pelaku berstatus napi dan terjadi di dalam markas Brimob, yang merupakan unit elite khusus Polri. Terlepas dari itu, kita turut berduka atas tewasnya enam anggota Polri yang menjadi korban kebiadaban para teroris.
Polri sejak beberapa tahun belakangan menjadi target aksi teroris. Polri dianggap musuh teroris lantaran tindakan tegas membongkar jaringan teroris, memburu dan menangkap tokoh-tokoh teroris di seluruh pelosok Tanah Air, bahkan menewaskan mereka yang melawan.
Tidak sedikit anggota Polri yang menjadi korban aksi teror. Pada Mei 2017, teror bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, menewaskan tiga anggota Polri yang tengah berjaga. Sebulan berselang, seorang polisi di Sumatera Utara juga menjadi korban aksi teror. Tahun lalu, dua polisi seusai salat menjadi korban penusukan terduga teroris di dalam masjid di dekat Mabes Polri.
Kenyataan tersebut menjadi peringatan bagi jajaran Polri, TNI, pemerintah, dan semua elemen masyarakat untuk tetap waspada, sebab bahaya laten terorisme di Tanah Air belum tamat. Aksi biadab di Mako Brimob harus menjadi momentum untuk kembali memperkuat komitmen bersama, bahwa bangsa Indonesia tidak boleh lengah dan kalah menghadapi ancaman terorisme.
Seperti yang ditegaskan Presiden Joko Widodo, bangsa Indonesia tidak boleh takut dan tidak boleh kalah oleh ancaman aksi teror.
Tak bisa dimungkiri, langkah antisipasi terhadap ancaman teroris terkadang lemah. Hal itu tercermin dari pemeriksaan terhadap pengunjung di pusat-pusat perbelanjaan, misalnya, yang diperketat setelah muncul aksi teror. Sebaliknya, di kala teroris berdiam diri, pemeriksaan mengendur.
Negara, melalui aparat keamanan, harus menunjukkan kepada teroris bahwa gerakan mereka mudah dipatahkan. Negara tidak boleh kalah menghadapi setiap ancaman yang mengganggu kamtibmas, dan dalam menjalankan tugasnya melindungi setiap warga negara.
Deteksi dini harus bisa dilakukan aparat intelijen, terutama membongkar jaringan teroris, baik yang menjadi bagian dari jaringan global maupun jaringan di lingkup lokal. Melalui deteksi dini intelijen, aparat keamanan diharapkan bisa bergerak melakukan penangkalan sejak dini, untuk mempersempit ruang gerak penyebaran paham terorisme, serta menggagalkan setiap rencana aksi teror di Tanah Air.
Terkait hal itu, terorisme tak bisa ditangkal dan dilawan dengan kekuatan senjata atau operasi militer. Terorisme juga tak bisa dibungkam dengan setumpuk aturan hukum, maupun melalui operasi intelijen dan antiteror. Semua itu hanya bisa melumpuhkan teroris dan segala manifestasinya yang telah muncul dan terdeteksi di permukaan.
Terorisme dan radikalisme sebagai sebuah ideologi, akan lebih efektif jika dilawan dengan ideologi yang telah disepakati menjadi empat pilar utama, yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, ditambah pemahaman agama yang tepat.
Bila diformulasikan, ada tiga langkah yang perlu diambil untuk menumpas dan menangkalnya. Pertama, secara represif, yakni memburu dan menangkap para teroris yang telah dideteksi.
Kedua, langkah preventif, dengan meningkatkan kewaspadaan di tempat-tempat yang berpotensi menjadi target serangan teroris, seperti hotel, pusat perbelanjaan, kantor pemerintahan, kantor polisi, instalasi militer, serta objek-objek vital termasuk yang terkait dengan kepentingan asing.
Ketiga, langkah pre-emptive dengan mengintensifkan kontraterorisme. Langkah ini tidak hanya melibatkan aparat keamanan dan intelijen, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat, agar tidak tercipta komunitas yang menjadi tempat persemaian terorisme dan radikalisme.
Perlu disadari dua karakter massa yang rawan disusupi paham terorisme dan radikalisme, yakni kemiskinan dan rendahnya pendidikan, yang banyak dijumpai di Indonesia. Kemiskinan adalah pangkal dari rendahnya pendidikan. Rakyat yang kurang pendidikannya, dengan mudah diindoktrinasi dengan pandangan hidup dan pemahaman yang sesat, yang mengarah pada terorisme dan radikalisme.
Namun, kemiskinan dan rendahnya pendidikan bukan faktor utama yang menyuburkan terorisme dan radikalisme. Fakta menunjukkan banyak kalangan intelektual dan mapan secara ekonomi, terpengaruh dengan ajaran menyesatkan dan bergabung menjadi anggota.
Oleh karenanya, aparat keamanan dan intelijen harus mendeteksi dan memantau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan perguruan tinggi, serta ceramah-ceramah keagamaan di tempat ibadah, yang disinyalir menyebarkan pemahaman yang salah. Masyarakat juga harus dilibatkan untuk mencegah meluasnya indoktrinasi ajaran sesat, terutama yang mengatasnamakan agama, serta memutus mata rantai perekrutan teroris baru. Upaya mematahkan terorisme menjadi krusial dan seolah tiada akhir.(JP)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE