BeritaSatu.com |
Nicke Widyawati dinilai berpeluang menjadi dirut definitif menggantikan Massa Manik.
Perombakan direksi dilakukan setelah terjadi kelangkaan Premium di Jawa.
Jambipos Online, Jakarta – Pemerintah kembali merombak jajaran direksi PT Pertamina (Persero) meski baru setahun lalu terjadi pergantian. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Pertamina, Jumat (20/4/2018), memberhentikan Direktur Utama PT Pertamina Elia Massa Manik dan digantikan oleh Plt Dirut Nicke Widyawati, yang juga menjabat Direktur SDM Pertamina, sebelum ditetapkan pengganti definitifnya. Pada saat yang sama, RUPSLB Pertamina juga memberhentikan dengan hormat empat direksi dan mengangkat tujuh direksi baru.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan, perubahan direksi ini diputuskan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno dalam RUPSLB Pertamina.
“Untuk sementara, Pelaksana Tugas Direktur Utama adalah Nicke Widyawati, sambil menunggu pejabat definitif,” kata Harry dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Selain Massa Manik, RUPSLB Pertamina juga memberhentikan dengan hormat empat direksi lainnya, yakni Ardhy N Mokobombang selaku Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia, Toharso selaku Direktur Pengolahan, Dwi Wahyu Daryoto selaku Direktur Manajemen Aset, dan Muchamad Iskandar selaku Direktur Pemasaran Korporat.
RUPSLB juga mengisi dua jabatan baru, yakni Direktur Pemasaran Retail dan Direktur Sumber Daya Manusia (SDM). Sedangkan tujuh direksi baru yang ditetapkan dalam RUPSLB yakni Budi Santoso Syarif (Direktur Pengolahan), Basuki Trikora Putra (Direktur Pemasaran Korporat), Mas’ud Hamid (Direktur Pemasaran Retail), M Haryo Junianto (Direktur Manajemen Aset), Heru Setiawan (Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia), Arief Budiman (Direktur Keuangan), Gandhi Sriwidjojo (Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur), serta Nicke Widyawati sebagai Direktur SDM.
Harry menjelasakan, perombakan direksi Pertamina dilakukan secara bersama dan mendapat masukan Dewan Komisaris.
“Perubahan ini masih satu rangkaian dari keseluruhan tahapan pembentukan Holding BUMN Migas. Jajaran direksi baru diharapkan dapat memperkuat dan mempercepat implementasi pembentukan Holding BUMN Migas,” kata dia.
Dia juga menyebutkan perombakan ini sebagai respons pemerintah atas perkembangan kondisi terkini. Beberapa kejadian yang menjadi pertimbangan Kementerian BUMN adalah patahnya pipa minyak mentah Kilang Balikpapan, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium, fluktuasi harga Pertalite, pengalihan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), dan lambatnya pengerjaan proyek kilang.
Harry menambahkan, perombakan direksi merupakan hasil kajian komprehensif yang dilakukan Dewan Komisaris dan Direksi Pertamina selama satu bulan terakhir.
“Dengan direktur yang baru ini justru akan mempercepat proyek kilang, pengalihan TPPI, implementasi Holding BUMN Migas, dan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat,” jelas dia.
Perubahan Nomenklatur
Di tempat yang sama, Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng mengatakan, perubahan direksi kali ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor SK 39/MBU/02/2018 tentang perubahan nomenklatur. Pada saat surat diterbitkan, masih ada beberapa jabatan direksi yang kosong menyusul dibentuknya direktorat baru. Kekosongan jabatan inilah yang diisi dalam perombakan kali ini.
Mengenai penggantian jajaran direksi, Tanri menjelaskan bahwa hal itu terkait pengamatan dan penilaian Dewan Komisaris bahwa Pertamina harus segera melakukan kajian dampak dari perubahan biaya dan kenaikan harga BBM yang terakhir dikaitkan dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.
Dia menilai hal ini perlu penanganan intensif karena berpengaruh terhadap kinerja Pertamina.
“Intinya itu membangun tim baru untuk bisa mengatasi dan mempersiapkan proses pembangunan itu sendiri,” tegas Tanri.
Elia Massa Manik diangkat sebagai Direktur Utama Pertamina pada 16 Maret 2017. Ia memulai karier dari PT Indofood Sukses Makmur (INDF), kemudian bergabung dengan Suez Group hingga 2001, PT Kiani Kertas, dan PT Jababeka.
Pria kelahiran Kabanjahe Kabupaten Karo, Sumatera Utara ini pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT Elnusa sejak Juli 2011 hingga 2014 dan memimpin PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (holding) pada April 2016.
Di PTPN III ini, ia mengelola 14 perusahaan perkebunan negara dengan jumlah pegawai sebanyak 139.000. Ia sukses menjalankan restrukturisasi dengan memangkas jumlah direksi PTPN menjadi maksimal hanya tiga orang, yang sebelumnya satu PTPN memiliki empat sampai lima direktur.
Sementara itu, Nicke Widyawati mengawali karier di bidang perbankan hingga kontraktor. Lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) ini pernah menjadi direktur utama PT Mega Eltra, sebuah perusahaan kontraktor listrik di lingkungan holding PT Pupuk Sriwijaya.
Nicke juga pernah menjabat direktur bisnis di PT Rekayasa Industri (Rekind) dan Vice President Corporate Strategy Unit (CSU) di perusahaan yang sama hingga akhirnya bergabung dengan PLN pada 2014.
Proyek Berubah
Tanri menambahkan, perubahan direksi ini berpotensi diikuti dengan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).
“Nantinya pastinya ada perubahan sesuai dengan kondisi dan lingkungan terkini yang ada,” ujar dia.
Tahun ini, Pertamina telah menganggarkan US$ 5,59 miliar untuk investasi, naik 55,27% dari realisasi tahun lalu US$ 3,6 miliar. Belanja modal tahun ini sebagian besar masih dialokasikan untuk sektor hulu, yakni mencapai 59% atau setara dengan US$ 3,29 miliar. Selanjutnya, sebesar US$ 1 miliar akan digunakan untuk mendanai proyek kilang. Tepatnya, sebesar US$ 838 juta dikucurkan untuk pengerjakan megaproyek pengolahan dan petrokimia, sementara US$ 167 juta untuk sektor pengolahan.
Perseroan juga menganggarkan US$ 838 juta untuk menggarap sektor pemasaran. Sisanya, Pertamina menganggarkan dana investasi sebesar US$ 279 juta untuk pengembang bisnis gas. Dana ini di antaranya akan digunakan untuk pengembangan jaringan gas dan SPBG. Kemudian, anggaran untuk riset dan lain-lain sebesar US$ 167 juta atau naik 39,17% dari realisasi tahun lalu US$ 120 juta.
Sementara untuk jangka panjang, Pertamina menggarap enam proyek kilang sekaligus. Rinciannya, pembangunan dua unit baru di Tuban, Jawa Timur dan Bontang, Kalimantan Timur, serta perbaikan empat kilang eksisting yang tersebar di Balongan (Jawa Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), Dumai (Riau), serta Cilacap (Jawa Tengah). Total investasi enam kilang ini lebih dari US$ 30 miliar.
Pengganti Massa Manik
Menanggapi pergantian direksi Pertamina, pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi menilai kejadian seperti kelangkaan BBM dan kenaikan harga Pertalite cukup membahayakan yang berpotensi menimbulkan keresahan dan kegaduhan serta memicu inflasi. Sedangkan terkait tragedi kebocoran pipa di Balikpapan, Fahmy menilai Massa Manik seolah-olah terkesan 'cuci-tangan'.
Menyinggung sosok pengganti Massa Manik, Fahmy berpandangan sebaiknya dirut definitif dari salah seorang direksi Pertamina, bukan dari luar perseroan.
“Pertimbangannya, dirut bisa langsung berpacu dalam menjalankan tugas sebagai direktur. Nantinya tidak butuh waktu lagi untuk belajar sebagai dirut Pertamina. Selain untuk menjaga kontinuitas,” katanya.
Fahmy menilai Nicke sudah paling pas dan pantas dipertimbangkan sebagai dirut Pertamina definitif, karena punya pengalaman sebagai eksekutif andal sebelumnya, baik di perusahaan swata asing maupun PLN, yang akan sangat mendukung dalam menahkodai Pertamina.
“Meski baru beberapa bulan di Pertamina, Nicke lah yang berhasil mewujudkan Holding BUMN Migas, yang sebelumnya terkatung-katung,” katanya.
Penunjukan Nicke sebagai Plt Dirut merupakan indikasi bahwa pemegang saham merestuinya sebagai Dirut Pertamina definitif.
“Tinggal selangkah lagi bagi Nicke untuk menjadi Direktur Utama Pertamina,” ujar dia.
Senada, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, sosok Nicke selain cerdas dan berpengalaman, juga memiliki nilai tambah yakni kedekatan dengan Menteri BUMN.
“Dari segi komunikasi, Nicke bisa bekerja sama dengan sektor lain yang terkait, khususnya dalam hal ini dengan Kementerian BUMN. Ini sangat penting,” kata Komaidi.
Menurut Komaidi, saat ini merupakan tahun politik di mana pemerintah sangat mengedepankan situasi yang kondusif, termasuk dalam hal ketersediaan BBM.
“Masalah BBM itu memiliki nilai politis yang tinggi. Semua hal yang berkaitan dengan BBM sangat sensitif, baik soal pasokan maupun harga. Pemerintah menginginkan situasi yang kondusif. Ini yang harus bisa dipenuhi oleh jajaran direksi Pertamina,” kata dia.
Hal ini juga yang melatarbelakangi mengapa dalam jajaran direksi lebih banyak yang berkecimpug di sektor hilir ketimbang hulu. Padahal, faktanya perputaran uang di kegiatan hulu Pertamina walaupun hanya 20% namun memberi kontribusi pendapatan ke perusahaan sebesar 80%. Sebaliknya, untuk kegiatan hilir, di mana perputaran uangnya mencapai 80% walaupun kontribusi pendapatannya hanya sebesar 20%.
“Kegiatan di hilir Pertamina memang banyak yang sifatnya pelayanan kepada masyarakat, sehingga merugi secara bisnis, namun harus tetap dilakukan karena Pertamina adalah BUMN,” jelas dia.
Tidak Tepat
Pendapat berbeda disampaikan pengamat sektor energi Marwan Batubara. Dia menilai pencopotan Elia Massa Manik tidak tepat.
"Harus ada penjelasan yang logis dari pemerintah. Saya kira pencopotan tidak tepat karena Elia saya nilai justru membela kepentingan korporasi agar tidak merugi," kata Marwan, kemarin.
Marwan yang juga menjabat Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) menjelaskan, pencopotan Dirut Pertamina berbau politis karena beban untuk tidak menaikkan harga BBM.
"Kalau tidak boleh naik harga BBM harusnya anggaran untuk subsidi juga ditambahkan karena Pertamina juga kesulitan dalam membangun kilang, anggarannya tertahan untuk menutup subsidi BBM," kata dia.
Tak Perlu Khawatir
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan, masyarakat, khususnya di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), tidak perlu lagi khawatir terhadap kelangkaan Premium mulai 2-4 minggu ke depan.
"Kalau berdasarkan Perpres Nomor 191/2014 memang kewajiban penyaluran Gasoline RON 88 atau Premium setahun 7,5 juta kiloliter adalah di luar Jawa, Madura, dan Bali," katanya di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (18/4).
Namun, Jonan mengatakan sudah meminta kepada Pertamina untuk juga tetap melayani pasokan Premium area Jamali sehingga tidak sampai menimbulkan gejolak di masyarakat karena terjadi kelangkaan.
Kelangkaan BBM bersubsidi jenis premium dikeluhkan masyarakat di sejumlah daerah, termasuk Kota Semarang dan Kabupaten Semarang, termasuk pembatasan jam pembelian di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Menanggapi kelangkaan Premium di sejumlah daerah itu, Jonan mengatakan pihaknya sudah menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo yang memberikan arahan agar pasokan Premium ke Jawa, Madura, dan Bali juga diwajibkan.
"Sekarang, arahan dari Bapak Presiden, oke, ubah, menyesuaikan Perpresnya. Premium nanti juga diwajibkan di area Jawa, Madura, dan Bali supaya pasokannya tidak berkurang," kata dia.
Jonan menilai kelangkaan BBM jenis Premium yang dikeluhkan masyarakat sebenarnya terjadi karena harga BBM umum, seperti Pertalite berbeda sangat besar ketimbang harga Premium.
"Kalau bedanya sedikit mungkin enggak masalah, beda harga per liternya. Nanti, segera setelah ini akan wajib lagi, Premium dapat disalurkan ke Jawa, Madura, dan Bali juga," katanya.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar sebelumnya juga mengatakan, BBM jenis premium akan diwajibkan untuk wilayah Jamali dan tetap didistribusikan kepada seluruh wilayah NKRI.
"Perpres yang akan direvisi intinya untuk premium tidak saja di luar Jamali dan dalam waktu dekat serta sesegera mungkin untuk diwajibkan juga di Jamali. Seluruh NKRI. Peraturan atau perpres yang akan secepatnya ditandatangani oleh bapak presiden," kata Arcandra.
Dia menjelaskan, aturan tersebut untuk merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 yang isinya mengenai penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM.
Dengan adanya revisi Perpres tersebut, maka BBM penugasan seperti Premium akan wajib didistribusikan di daerah Jamali karena pada aturan sebelumnya tidak ada kewajiban mendistribusikan Premium di wilayah tersebut. Hal tersebut menyusul terjadinya kekurangan pasokan Premium di beberapa wilayah Indonesia.
"Berdasarkan data BPH Migas, kami menyadari terjadi kekurangan pasokan Premium di wilayah Indonesia, itu benar terjadi. Untuk itu perintah Presiden jelas, untuk Premium supaya pasokannya dijamin," ujarnya.
Saat ini BBM yang harganya ditetapkan langsung oleh pemerintah karena menyangkut hajat hidup orang banyak adalah solar dan minyak tanah yang merupakan BBM bersubsidi dan Premium yang merupakan Jenis BBM Khusus Penugasan (Premium di luar Jawa-Bali).
Sedangkan di luar jenis BBM tersebut, yaitu BBM Umum seperti misalnya Pertalite, Pertamax series dan produk SPBU non-Pertamina, harganya ditetapkan oleh badan usaha.(JP)
Catatan: Artikel ini sudah terbit di harian Investor Daily edisi 21 April 2018, dengan judul "Elia Massa Manik Diberhentikan".
Sumber: Investor Daily
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE