Oleh: Dodi Widia Nanda, S.Pd., M.TESOL
Jambipos- Keberadaan program belajar di luar negeri telah menjadi isu hangat di bidang pendidikan. Banyak pihak percaya bahwa program ini penting untuk meningkatkan kemampuan bahasa asing siswa, meningkatkan pemahaman multikultural, dan untuk menunjang karir yang lebih mentereng.
Selain itu, program belajar di luar negeri ini, terlepas dari durasi dan tujuannya, diyakini memiliki dampak yang signifikan pada semua aspek keterampilan bahasa asing seperti membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara.
Sedangkan sebagian lainnya mengungkapkan bahwa program ini tidak akan memberikan hasil yang positif bagi peserta didik karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Artinya, program ini tidak akan selalu menjamin peningkatan kemampuan berbahasa dan pemahaman budaya siswa yang mendalam karena kegiatan yang dirancang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.
Masalah hangat yang diperdebatkan ini telah diidentifikasi juga dalam kontek Indonesia. Berdasarkan pengalaman warga Indonesia yang telah mengikuti program ini, pelaksanaan studi di luar negeri menunjukkan hasil yang berbeda. Banyak yang berhasil, namun tak sedikit juga yang hanya pulang dengan tangan kosong.
Dalam upaya untuk mengkontekstualisasikan masalah dan pembahasan, artikel ini hanya akan membahas program belajar di luar negeri yang dirancang dan diberikan khusus untuk pelajar Indonesia yang belajar bahasa Inggris untuk jangka waktu pendek di negara-negara berbahasa Inggris seperti Australia, Amerika, Inggris, dan Kanada. Durasi programnya berlangsung minimal 3-4 minggu dan maksimal satu semester.
Jenis penelitian di artikel ini adalah kajian pustaka, di mana beberapa karya akademis yang relevan dengan topik telah dipilih secara kritis. Literatur dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk artikel dari jurnal akademis terkemuka, buku, dan lain sebagainya.
Kemudian, literatur yang dipilih dianalisis dan dievaluasi secara kritis untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Terakhir, informasi dan bukti yang sesuai digunakan untuk mendorong argumen yang padu tentang manfaat dan tantangan dari program belajar di luar negeri. Berikut hasil dan pembahasannya:
1. Sisi Positif dari Program Belajar di Luar Negeri
1.1. Perkembangan Bahasa Peserta Didik
Hal positif pertama dari mengikuti program belajar di luar negeri ini adalah perkembangan bahasa peserta didik. Hal ini diperoleh dengan terlibat dalam kegiatan kelompok yang dibimbing oleh orang lain yang lebih mampu seperti teman sebaya dan tutor. Pendapat ini didukung dengan teori yang disebut Zone of Proximal Development (ZPD).
Dalam pandangan ini, perkembangan bahasa akan mudah diperoleh siswa jika mereka terlibat dalam kegiatan kelompok yang dibimbing oleh orang yang lebih memahami bahasa tersebut. Mengenai pelaksanaan program belajar di luar negeri, berdasarkan pengalaman beberapa teman yang pernah mengikuti program belajar di luar negeri seperti di Amerika, mereka pernah diberikan kegiatan kelompok terkait yang dibimbing oleh tutornya untuk meningkatkan kompetensi bahasanya.
Sehingga, hal tersebut secara otomatis meningkatkan perkembangan bahasa mereka serta kepercayaan diri mereka dalam menggunakan bahasa yang dipelajari. Selain itu, bahasa dapat dikategorikan juga sebagai sumber daya sosiokultural. Dengan kata lain, perkembangan bahasa dapat diperoleh masyarakat ketika terlibat aktif dalam kehidupan sosial.
Pandangan ini terkait dengan keuntungan yang ditawarkan dengan mengikuti program belajar di luar negeri, karena peserta didik akan diberikan banyak kesempatan untuk berinteraksi dan terlibat dalam lingkungan sosial.
1.2. Perubahan Budaya Komunikasi Peserta Didik
Dampak positif lainnya dari mengikuti program belajar di luar negeri ini adalah dapat mengubah gaya komunikasi siswa. Gaya manusia juga dikategorikan sebagai budaya. Budaya pada dasarnya heterogen dan berubah dari waktu ke waktu.
Dengan mengikuti program belajar di luar negeri, budaya peserta tentang gaya mereka dalam berinteraksi dengan orang lain mungkin mengalami beberapa perubahan juga. Sebagai contoh, sebelum belajar di luar negeri, orang Asia seperti orang Indonesia cenderung meremehkan pujian yang diberikan oleh orang lain; jika mereka dipuji: ‘Saya suka baju Anda!’ - tanggapan mereka adalah ‘Oh benarkah? Memang baju ini sudah cukup tua! 'Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa orang Indonesia cenderung menurunkan nilai dari sebuah pujian. Mungkin bisa diakibatkan karena kurangnya kepercayaan diri yang dimiliki. Padahal, bisa saja pujian yang dilontarkan itu sesuai dengan realita yang ada.
Namun, itu bisa berubah ketika mereka belajar di luar negeri di negara-negara Barat seperti di Amerika. Budaya Amerika telah disosialisasikan untuk mengucapkan 'Terima kasih' untuk setiap pujian yang diberikan. Oleh karena itu, ada kemungkinan mahasiswa Indonesia akan terpengaruh oleh budaya terkait untuk mengucapkan "terima kasih" langsung setelah mereka diberi pujian oleh orang lain.
Selain itu, transformasi peserta didik di atas dikategorikan sebagai lapisan budaya sinkronis (sosial). Dalam pengertian ini, orang akan memperoleh cara yang sama dalam memandang dunia ketika mereka termasuk dalam kelompok yang sama.
Hal ini terjadi karena ketika mereka tergabung dalam kelompok yang sama, mereka akan bersosialisasi dan saling bertukar pikiran, yang berakibat pada saling pengertian dalam banyak hal. Oleh karena itu, peserta program belajar di luar negeri asal Indonesia yang dulunya sering menurunkan nilai dari sebuah pujian dapat dengan sendirinya berubah.
1.3. Perubahan Identitas Pribadi Peserta: Kepercayaan Diri
Mengikuti program belajar di luar negeri dapat mengubah identitas seseorang, contohnya kepercayaan diri. Dalam kontek pembelajaran bahasa, kepercayaan diri dapat diartikan sebagai persepsi diri terhadap kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa sasaran. Kepercayaan diri merupakan bagian dari identitas manusia dan selalu menjadi bagian dari identitas manusia.
Ini dapat berubah secara dramatis dari waktu ke waktu yang bergantung pada interaksi dan keterlibatan masyarakat dengan penutur asli dari bahasa yang dipelajari. Dengan kata lain, peningkatan kepercayaan diri dalam pembelajaran bahasa diperoleh melalui frekuensi dan kualitas kontak yang dilakukan dengan kelompok bahasa sasaran.
Pandangan ini bisa diterima di kontek program belajar di luar negeri, karena peserta didik akan diberikan kegiatan yang terorganisir dengan baik dalam program terkait serta waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan penutir asli bahasa tersebut.
Dengan dilibatkan dalam program belajar di luar negeri, peserta didik akan dituntut untuk sebisa mungkin menantang dirinya sendiri menggunakan bahasa target untuk menyerap dan mengikuti materi pembelajaran yang diberikan oleh tutornya. Di sisi lain, peluang di atas mungkin akan susah didapatkan oleh pelajar Indonesia di negara asalnya karena mereka belum diberi kesempatan yang cukup untuk menggunakan bahasa Inggris di dalam kelas maupun di luar kelas.
Oleh karena itu, dengan dilibatkan dalam program belajar di luar negeri, mereka akan memperoleh identitas baru sebagai orang yang menggunakan bahasa Inggris dengan percaya diri karena mereka diberi waktu yang signifikan untuk berinteraksi dengan penutur asli bahasa Inggris untuk meningkatkan kompetensi bahasa Inggris mereka.
2. Tantangan-Tantangan dari Program Belajar di Luar Negeri
2.1. Adaptasi Bahasa
Tantangan pertama dari mengikuti program belajar di luar negeri bagi pelajar Indonesia adalah kesulitan bahasa. Bahasa tidak hanya penting untuk membangun makna, tetapi juga bermanfaat untuk memfasilitasi komunikasi kita dengan orang lain untuk saling memahami.
Itulah alasan mengapa mereka yang ingin mengikuti program belajar di luar negeri harus diseleksi dengan cermat sebelum berangkat ke luar negeri, di mana peserta yang terpilih minimal harus dikategorikan sebagai pengguna bahasa Inggris yang sudah mampu berkomunikasi secara efektif.
Jika tidak, akan ada beberapa masalah yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program ini, seperti kesalahpahaman antara peserta dan tutor dalam mengartikan instruksi, kegiatan, dan sebagainya.
Namun, walaupun siswa yang dipilih sudah memiliki kemampuan yang cukup dalam bahasa Inggris sebelum belajar di luar negeri tetapi pertama kali belajar di luar negeri di negara-negara berbahasa Inggris bagi siswa Indonesia bukanlah tugas yang mudah karena mereka diharuskan untuk berbicara dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara intensif. Padahal, kondisi yang diminta tersebut dapat menimbulkan masalah bagi pelajar Indonesia karena mayoritas dari mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam aktivitas sehari-hari.
2.2. Perbedaan Budaya Belajar
Persoalan lain dalam penerapan program belajar di luar negeri bagi pelajar Indonesia adalah adanya kesenjangan budaya dan gaya belajar. Gaya belajar termasuk sebagai salah satu representasi budaya. Aspek ini juga bermanfaat untuk menunjang keberhasilan studi di luar negeri. Dengan kata lain, semakin mirip gaya belajar siswa dengan gaya belajar orang-orang di negara tujuan, maka semakin besar peluang untuk menjadi pelajar yang berhasil dalam mengikuti program tersebut.
Namun dalam kontek perbandingan gaya belajar orang-orang Indonesia dengan negara-negara barat, terdapat jurang perbedaan yang cukup mengagah. Misalnya, siswa Asia seperti pelajar Indonesia telah dikategorikan sebagai pembelajar pasif dan kurang tanggap dalam berpikir kritis. Sedangkan, di budaya Barat, siswa diminta menjadi pembelajar aktif. Oleh karena itu, perbedaan ini dapat menghambat proses belajar di program terkait.
2.3. Munculnya Krisis Identitas
Munculnya krisis identitas akan menjadi tantangan lain yang harus dihadapi peserta didik Indonesia dalam mengikuti program belajar di luar negeri. Krisis identitas dapat didefinisikan sebagai periode kebingungan dan ketidakpastian, di mana identitas lama dianggap tetap, stabil dan koheren digantikan oleh keraguan dan ketidakpastian.
Krisis identitas bisa dipengaruhi oleh globalisasi yang merupakan ciri modernitas dalam konteks transformasi global. Di sisi lain, program belajar di luar negeri itu sendiri merupakan bagian dari globalisasi, karena peserta diajarkan memandang sesuatu dari perspektif global.
Dengan kata lain, peserta didik dituntut untuk memahami dunia ini sebagai sistem global yang dinamis, dan mereka diminta untuk berkolaborasi dan terlibat dengan masyarakat yang heterogen dan budaya baru dalam program belajar luar negeri. Akibatnya, peserta didik akan dihadapkan pada budaya baru yang berpotensi mengancam budaya atau identitas lokal dan dapat tergantikan menjadi identitas baru.
3. Solusi
3.1. Jadilah Pembelajar Aktif
Menjadi pembelajar aktif akan menjadi pilihan tepat bagi pelajar Indonesia yang berniat mengikuti program belajar di luar negeri. Menemukan dan memiliki lingkungan belajar yang positif adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kompetensi bahasa mereka.
Misalnya, mendaftar sebagai relawan di program-program tertentu di negara tujuan, bergabung dalam komunitas kelompok sosial olahraga dan pelajar, dan lain-lain. Dengan cara ini, mereka akan mendapatkan kesempatan yang sangat besar untuk berbagi dan mempraktikkan bahasa target secara intensif yang bermanfaat untuk meningkatkan penguasaan bahasa mereka serta tingkat kepercayaan diri mereka dalam menggunakan target bahasa.
3.2. Siswa Harus Belajar tentang Budaya Negara Tuan Rumah sebelum Mengikuti Program
Mempelajari dan memahami lebih jauh tentang budaya negara tuan rumah sebelum memulai program belajar di luar negeri, akan menjadi ide yang positif bagi pelajar Indonesia. Mereka harus didorong untuk lebih banyak menganalisis tentang budaya dan orang-orang di tempat mereka akan belajar. Hal ini diperlukan untuk mengatasi beberapa masalah krusial seperti gaya belajar yang berbeda yang dapat menyebabkan proses pembelajaran yang tidak efektif.
Dengan kata lain, memahami budaya negara target seperti gaya belajarnya sebelum keberangkatan akan membantu peserta didik untuk memahami dan menilai beberapa minat dan keterampilan yang diperlukan untuk beradaptasi dengan lancar dengan lingkungan belajar.
Misalnya, pelajar Indonesia dapat belajar dan melatih diri untuk menjadi pembelajar aktif yang tidak segan-segan mengungkapkan gagasan di depan kelas karena diperlukan gaya belajar yang terkait dengan proses pembelajaran yang diberikan di budaya barat.
3.3. Peserta Harus Lebih Peka terhadap Pemahaman Lintas Budaya
Memiliki kepekaan lintas budaya adalah hal bijak bagi mereka yang berniat untuk belajar di luar negeri. Kepekaan lintas budaya didefinisikan sebagai tingkat kesadaran masyarakat tentang adanya persamaan dan perbedaan budaya di seluruh dunia dan mereka yang memiliki kesadaran tinggi akan kepekaan lintas budaya akan memiliki pemahaman dan pengetahuan yang lebih baik mengenai kompetensi antar budaya.
Dengan kata lain, orang yang memiliki kemampuan terkait akan cukup peka untuk memahami persamaan dan perbedaan budaya dan akan lebih menghormati budaya-budaya lain. Ini bermanfaat bagi pelajar Indonesia yang mengambil program belajar di luar negeri karena akan menunjang kemampuan berpikir kritisnya untuk menyaring informasi dan pengetahuan baru yang diperoleh di negara tujuan.
Akibatnya, hal tersebut dapat mengantisipasi krisis identitas mereka selama belajar di luar negeri karena mereka memiliki kemampuan yang cukup untuk mengantisipasi pertemuan antara identitas lama dan identitas baru.(***)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE