Oleh: Musri Nauli
Musri Nauli (kiri) dan H Prof Dr Rozali Abdullah. |
Jambipos Online-Ketika saya menemukan sebuah peristiwa peribadatan yang diposting di Facebook lengkap dengan “anjuran” dari Kepala Daerah, pertanyaan menggelitik seketika mengemuka. Apakah “diperlukan” campur tangan negara” didalam mengatur tentang peribadatan ?
Pertanyaan itu kemudian “memaksa” saya untuk menelusuri apakah memang “tugas” negara mengatur peribadatan sehingga “Kepala Daerah” kemudian menjalankan tugas para penyebar tokoh agama.
Dilihat dari kewenangan “Kepala Daerah”, maka seorang Kepala Daerah menjalankan tugasnya tunduk kepada konstitusi, peraturan perundang-undangan dan berbagai aturan.
Dalam teori kewenangan, Pemerintah Daerah menjalankan tugasnya berdasarkan dari kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Berbagai kewenangannya yang “diturunkan” dapat dilihat didalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Peralihan kewenangan dari Pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah biasa dikenal sebagai “delegasi’. UU Pemda kemudian menyebutkan “desentralisasi”.
Peralihan (delegasi yang bersifat otonomi/desentralisasi) kemudian terdiri dari “peralihan” yang tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan “peralihan” yang dibagi dan kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah.
Kewenangan yang tetap menjadi pelaksanaan Pemerintah pusat terdiri dari (a) politik luar negeri, (b) pertahanan (c) keamanan, (d) yustisi (e) moneter/fiskal dan (f) agama. (Pasal 10 ayat 1 UU Pemda). Diluar dari kewenangan Pemerintah Pusat maka dapat dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah dan dapat “dilimpahkan (Pasal 10 ayat 2 UU Pemda).
Membaca pasal 10 UU Pemda maka dapat dikategorikan Indonesia melaksanakan sistem Pemerintahan berasaskan otonomi. Berbeda dengan asas yang dikenal didalam sistem Pemerintahan Federal. Salah satunya adalah “yustisi”. Dimana negara federal mempunyai hukum tersendiri. Tidak dapat dipengaruhi oleh Pemerintah Pusat.
Melihat kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pusat (UU Pemda menyebutkan “urusan Pemerintahan absolut” (Pasal 9 aya (1) dan pasal 10 ayat 1 UU Pemda). Apabila “kewenangan” kemudian dialihkan kepada Pemerintah Daerah kemudian dikenal sebagai “dekosentrasi” (Pasal 10 ayat 2 UU Pemda).
Sehingga berdasarkan “delegasi/desentralisasi” dari pemerintah pusat, maka seorang Kepala Daerah kemudian mempunyai wewenang untuk menjalankan fungsi negara. (authority/bevoegdheid). Dengan mempunyai kewenangan berdasarkan berbagai peraturan maka Kepala Daerah kemudian mempunyai kekuasaan untuk melakukan/tidak melakukan.
Dengan mengikuti alur dari UU Pemda, maka terhadap kewenangan seperti “(a) politik luar negeri, (b) pertahanan (c) keamanan, (d) yustisi (e) moneter/fiskal dan (f) agama. (Pasal 10 ayat 1 UU Pemda) maka dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah pusat.
Lalu apakah dibenarkan ketika seorang Kepala Daerah mengeluarkan surat edaran mengatur tentang peribadatan.
Dengan membaca pasal 10 ayat 1 dan pasal 2 UU Pemda, maka “seorang Kepala Daerah’’ yang tidak mendapatkan “kewenangan” dari Pemerintah Pusat tidak dapat dibenarkan untuk menggunakan kewenangannya sebagai Kepala Daerah mengatur “peribadatan” seperti yang telah diposting.
Lalu apakah “negara” tidak dibenarkan mengatur peribadatan.
Boleh. Selama telah diatur didalam mekanisme perundang-undangan, maka aparatur negara dapat menjalankan wewenang yang telah diberikan konstitusi. Diluar dari konstitusi maupun peraturan perundang-undangan maka Kepala Daerah tidak dapat dibenarkan menggunakan “negara” mengatur tentang peribadatan.
Lalu apakah kemudian Indonesia disebutkan sebagai negara sekuler ? Pertanyaan menggelitik kemudian terjawab ketika di alinea pembukaan kemudian disebutkan "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
Namun Indonesia bukan negara agama. Indonesia tidak tunduk dari doktrin agama tertentu. Tapi Indonesia kemudian menetapkan Pancasila sebagai Ideologi. Pasal 29 ayat (1) menyebutkan “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sedangkan Pasal 29 ayat (2) kemudian menyebutkan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Dengan demikian, maka “anjuran” Kepala Daerah yang mengatur tentang peribadatan tidak mendapatkan wewenang (delegasi) dari Pemerintah Pusat (bekwaanheid). Kepala Daerah tidak mempunyai wewenang (authority/bevoegdheid) untuk mengatur peribadatan. Sehingga ketika tidak mempunyai wewenang (bekwaanheid) maka Kepala Daerah tidak dapat membuat keputusan hukum.
Maka Kepala Daerah tidak dapat dibenarkan mengeluarkan “anjuran” untuk mengatur peribadatan.
Atau dengan kata lain, Kepala Daerah tidak dapat membuat keputusan hukum untuk mengeluarkan anjuran yang mengatur peribadatan. (JP-Penulis Adalah Advokad dan Aktivis)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE