Elin Waty, Mendengar dan Berempati
ELIN WATY, Presiden Direktur PT Sun Life Financial Indonesia (Sumber: Investor Daily/Emral) |
Jambipos Online-Sentuhan personal ternyata membuahkan hasil yang lebih efektif, bahkan lebih dahsyat, ketimbang sentuhan atau pendekatan yang bersifat massal. Apalagi jika dilakukan seorang pimpinan perusahaan yang memiliki integritas dan kapabilitas jempolan.
Seni memimpin dan nilai-nilai inilah yang diterapkan Elin Waty, perempuan dan orang lokal pertama yang menempati posisi presiden direktur di PT Sun Life Financial Indonesia dalam sejarah 20 tahun perusahaan itu beroperasi di Tanah Air.
Memimpin entitas bisnis sebesar Sun Life Financial, Elin berupaya tetap melayani konsumen asuransi secara pribadi sebagai ‘manusia’, bukan sekadar konsumen secara statistik. Demikian pula kepada timnya, ia selalu berusaha ‘memanusiakan’ karyawan.
“Saya perhatikan, orang Indonesia itu bekerja bukan semata untuk perusahaan, tetapi karena leader-nya. Kalau mereka merasa leader-nya bisa men-develop-nya, bisa memberikan kebijaksanaan, biasanya mereka akan stay di situ. Perusahaan sebagus apa pun, kalau leader-nya 'gila', karyawan juga nggak akan stay,” ujar dia.
Karena itu, Elin Waty selalu berupaya untuk mendengar dan berempati. “Setiap orang pasti punya permasalahan sendiri. Kita juga tidak bisa ngomong bahwa kita selalu bisa mengerti permasalahan orang,” tandas dia.
Kepada wartawan Investor Daily Totok Hari Subagyo yang berkunjung ke kantornya di Jakarta, pekan lalu, ia memaparkan banyak hal ihwal kondisi internal perusahaan dan keluarganya.
Berikut petikannya:
Bagaimana kisah perjalanan karier Anda hingga mencapai posisi puncak saat ini?
Bagaimana kisah perjalanan karier Anda hingga mencapai posisi puncak saat ini?
Saya di industri asuransi sejak April 1994. Meniti karier di beberapa lembaga asuransi, saya akhirnya bergabung dengan PT Sun Life Financial Indonesia pada 2013 sebagai Chief Distribution Officer (CDO) and Director. Saya menjadi CDO sekitar 2,5 tahun, kemudian menjadi CEO.
Saya memulai karier di industri asuransi dari level staf. Lulus kuliah, berdasarkan hasil ujian skripsi tanggal 31 Maret, tanggal 1 April sudah bekerja.
Apa yang saya capai sekarang disertai kerja keras, air mata, dan pengorbanan. Saya bukan dari keluarga berpunya. Bahkan untuk menyekolahkan saya ke Jakarta, orang tua saya harus menjual rumah untuk dimasukkan ke deposito agar bisa kirim biaya kuliah bulanan.
Saya orang daerah, lahir di Riau dan besar di Jambi. Jadi, bila dibilang perjuanganlah yang membuat saya berhasil. Juga kesempatan. Sun Life memberikan kesempatan memimpin kepada orang Indonesia.
Sun Life adalah perusahaan yang tidak melihat gender, usia, ras. Jadi, siapapun yang dianggap bisa dan mampu, akan diberikan kesempatan. Jadi, saya menjadi presdir (presiden direktur) pada saat yang tepat saja.
Ada kebijakan khusus dari Sun Life menyerahkan pucuk pimpinan ke orang lokal?
Sun Life tidak pernah mengatakan bahwa mereka tidak ingin orang lokal. Presdir di beberapa negara lain juga orang lokal, misalnya di Filipina. Jadi, tidak ada dikotomi orang lokal dan bukan orang lokal. Tapi, sepanjang perjalanan 20 tahun Sun Life di Indonesia, mungkin mereka belum menemukan orang lokal yang dianggap tepat.
Anda dianggap sosok yang tepat dan mumpuni?
Ya, mungkin. Bukan semata saya dianggap sosok yang tepat, tetapi karena saya adalah orang yang ada di dalam organisasi dan dinilai bisa memajukan perusahaan.
President Asia Sun Life mungkin terkesan ketika saya ajak ke kota-kota di Tanah Air. Dia mungkin merasa, “Wow, Indonesia itu berbeda banget kultur dan roda ekonominya dari satu kota ke kota lainnya.” Dan, mungkin kemudian berkesimpulan, hanya orang lokal yang bisa mengerti market Indonesia, dengan keragaman budayanya. Orang asing rasanya nggak mungkin.
Anda pasti memikul tanggung jawab dan tuntutan yang semakin berat. Strategi Anda?
Sun Life merupakan organisasi yang kuat secara finansial. Tapi untuk bisa berkompetisi di pasar Indonesia, kami harus lebih agresif. Kami harus memikirkan beberapa cara yang berbeda dibandingkan dengan orang lain. Di antaranya memperkuat pasar syariah.
Pasar syariah di Indonesia sangat besar, tapi belum pernah ada yang sukses banget. Akhirnya saya membuat agensi distribusi syariah secara terpisah sejak Juli 2014. Sekarang kami sudah memiliki sekitar 2.000 agen dan 58 kantor pemasaran syariah di Indonesia.
Anda adalah sosok penting di balik pesatnya pertumbuhan dan pengakuan terhadap Sun Life sebagai pemimpin pasar asuransi syariah.
Kebijakan apa yang Anda jalankan?
Kami harus mempuyai diferensiasi. Modern Syariah/Sharia Insurance Expert (MSIE), itu positioning jalur distribusi agensi syariah Sun Life yang membedakan kami dengan kompetitor.
Kami harus punya produk yang sama bagusnya dengan produk konvensional, agen-agen pun harus menjadi agen asuransi yang profesional. Kami larang agen ngomong, “Bapak kan muslim, beli dong produk asuransi syariah Sun Life.”
Agensi harus menjelaskan apa itu konsep syariah, produknya, sehingga klien bisa mengambil keputusan tepat untuk membeli produk Sun Life.
Peluang dan tantangan bisnis asuransi dikaitkan dengan keunikan pasar Indonesia kekinian?
Pertama, saya melihat kantong-kantong ekonomi di Indonesia ini tidak hanya di first tier city. Kalau kami langsung berkompetisi dengan kompetitor di kota-kota besar, pasti akan kalah.
Maka strategi kami adalah masuk ke second tier dan third tier city. Bukan berarti kota besar kami lupakan, tetapi strategi kami adalah mengepung kota besar. Strategi ini efektif mendekatkan Sun Life dengan masyarakat. Brand awareness menguat, demikian pula kepercayaan masyarakat terhadap Sun Life.
Kedua, menguatkan pangsa anak muda. Populasi Indonesia saat ini kan banyak anak muda. Suatu saat mereka akan menjadi orang yang punya duit. Sekarang mereka masih berjuang dalam hidup mereka.
Kami membentuk komunitas The Brighter Gen dari agen berusia 21-35 tahun. Generasi ‘Y’ perlu penanganan yang berbeda. Pembentukan komunitas ini mengusung beberapa value. Selain mengembangkan potensi anak muda, kami menekankan pentingnya nilai social responsibility.
Ada korelasi positif terhadap kinerja perusahaan?
The Brighter Gen kami set-up sejak dua tahun lalu. Tahun lalu mereka bisa memberikan kontribusi terhadap pendapatan Sun Life sekitar 36%. Strategi kami tepat.
Kami juga terus mengembangkan jalur distribusi keagenan dan nonkeagenan melalui partnership distribution. Jalur partnership yang semula berkontribusi 35%, sekarang menjadi 45%.
Per kuartal I-2017, tingkat risk based capital (RBC) Sun Life adalah 614% untuk konvensional, jauh di atas ketentuan pemerintah sebesar 120%. Sedangkan tingkat RBC Syariah 193%, juga lebih tinggi dari ketentuan pemerintah, yaitu 30%. Total aset Sun Life mencapai Rp 10,24 triliun. Pertumbuhan kami selalu 20% di atas pertumbuhan industri dan selalu tumbuh setiap tahunnya.
Bagaimana Anda melihat pasar dan literasi asuransi di Indonesia? Apa strategi Sun Life?
Menurut saya, pasar di Indonesia besar sekali, tinggal strategi kami apa dan bagaimana. Strategi saya, pada 2013-2014 kami fokus membesarkan Sumatera. Dari awalnya hanya beroperasi di Medan, kami mengisi kekosongan di Sumatera secara signifikan. Pada 2015, fokus saya mengisi Jawa. Relatif mudah, tinggal memperbanyak di kota keduanya. Pada 2016-2017, kami masuk ke Sulawesi dan Kalimantan.
Bagaimana Anda mengoptimalkan potensi SDM?
Pondasi perusahaan harus dikuatkan. Budaya kerja yang tinggi kami junjung dan perjuangkan. Semua karyawan itu sama pentingnya. Saya selalu menggunakan analogi tubuh. Adakah satu bagian tubuh yang bisa mengklaim mereka lebih penting dari bagian tubuh lain? Nggak ada. Semua organ sama pentingnya, dan mereka bekerja sama secara harmoni membuat fungsi-fungsi itu berjalan.
Di organisasi juga begitu. High performance culture benar-benar kami tekankan pada karyawan. Tidak bisa satu bagian mengklaim mereka lebih penting dari bagian lain. Mereka juga nggak boleh bilang, “Ya sudah, hari ini saya mogok kerja.” Itu nggak bisa, sebab kalau kamu nggak kerja, seluruh tubuh perusahaan akan sakit.
Sun Life juga memberikan saluran kreativitas atau hobi karyawan, dari mulai kelompok olah vokal, dance, yoga, tenis meja, dan lain-lain. Ini cara kami agar karyawan merasa memiliki kepentingan yang sama, punya satu tujuan yang sama, ingin melihat perusahaan ini berkembang.
Terbukti tanggung jawab karyawan menjadi lebih besar, lebih memahami strategi perusahaan dan menerapkannya. Semua karyawan terlibat dan berpartisipasi aktif.
Mungkin kelebihan saya adalah karena saya orang Indonesia yang berkarier dari staf bawah, lebih mengerti kultur dan lebih bisa memahami perasaan teman-teman semua. Saya selalu membuat acara sarapan bareng, CEO Breakfast. Di situ, kami membiasakan staf untuk berani berpendapat. Merekalah yang benar-benar tahu.
Saya menilai gaya kepemimpinan seperti ini yang paling efektif dan lebih sesuai dengan karakter pribadi saya, yang lebih ingin dekat dengan karyawan. Itu yang membuat Sun Life bergerak lebih cepat.
Saran Anda kepada para pebisnis muda, terutama startup?
Saya salut kepada pebisnis-pebinis muda yang pekerja keras, berani ambil risiko. Pesan saya kepada adik-adik yang sedang memulai bisnis, Anda harus lebih dewasa dalam berbisnis. Perencanaan dan pengembangan bisnis tolong dipikirkan lebih matang. Sebab, menjaga kontinuitas itu nggak gampang.
Kedua, jangan emosional dalam mengambil keputusan. Ketiga, banyak belajar. Siapapun yang kita temui, pasti ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari orang tersebut. Saya ingatkan pula, tidak perlu takut untuk mendidik karyawan. Kalau karyawan maju dan pintar, pemilik bisa lebih punya waktu untuk memikirkan strategi dan pengembangan bisnis.
Filosofi Anda dalam berkarier?
Saya memulai karier dari muda dan meraih sukses ketika masih muda. Pada usia 27 tahun, saya sudah menjadi kepala divisi. Menurut saya, atasan itu cuma status. Tidak ada yang membedakan karyawan dengan atasan, yang membedakan hanya tanggung jawabnya.
Prinsip saya dalam bekerja adalah selalu melakukan yang terbaik. Kalau saya ninggalin anak dan keluarga untuk bekerja, ya saya harus memberikan yang terbaik untuk pekerjaan saya.
Kedua, dalam hubungan dengan orang lain, kita harus lebih mau mendengar dan berempati. Setiap orang pasti punya permasalahan sendiri. Kita juga tidak bisa ngomong bahwa kita selalu bisa mengerti permasalahan orang.
Orang Indonesia itu bekerja bukan untuk perusahaan. Saya perhatikan, mereka bekerja karena leader-nya. Jadi, kalau mereka merasa leader-nya bisa men-develop mereka, bisa memberikan kebijaksanaan, biasanya mereka akan stay di situ. Perusahaannya sebagus apa pun, kalau leader-nya ‘gila’, karyawan juga nggak akan stay. Sebagai leader, kita harus lebih low profile-lah.
Kerja keras itu penting. Tapi juga harus punya integritas dan menjadikan karyawan sebagai human. Kita harus ‘memanusiakan’ karyawan. Perbedaan leader dengan karyawan cuma di tanggung jawab. Jadi, nggak apa-apa berteman dengan bawahan. Nggak perlu ja'im, mereka juga tetap respek, kok. Di Sun Life, kalau kami sedang nongkrong dengan teman-teman karyawan, saya benar-benar sebagai Si Elin, bukan CEO (chief executive officer).
Obsesi Anda untuk Sun Life?
Saya ingin membuat Sun Life besar. Harus masuk ke jenjang Top 5 perusahaan asuransi. Tapi pada saat yang bersamaan, tim juga harus tumbuh baik. Saya ingin punya tim markom terbaik, agensi, finance terbaik. Saya punya mimpi, anak-anak inilah yang nanti menjadi pemimpin di industri asuransi.(JP-*)
Sumber: BeritaSatu.com
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE