Lestari Nurhajati mantan Jurnalis dan kini Aktivis Perempuan dan Mitra dari (KPPPA) RI. Foto Asenk Lee Saragih. |
Liputan Responsif Gender dan Keberpihakan Media
Jambipos Online, Jambi-Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI membekali ilmu Jurnalis dalam “Pelatihan Jurnalis yang Sensitif Gender dan Anak Bagi Para Jurnalis” kepada sebanyak 30 Jurnalis online, media cetak dan elektronik di Jambi.
Pelatihan Jurnalis Jambi ini atas kerjasama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jambi dan PWI Provinsi Jambi. Pelatihan dilaksanakan di Hotel Dua Weston Jambi, Senin-Selasa (10-11/7/2017).
Kegiatan itu dibuka secara resmi oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan pada kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Pemerintah Provinsi Jambi, Rika Oktavia, S STP, MA dan dihadiri Ketua PWI Provinsi Jambi Saman SPt serta Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian PPPA Drs Fatahilah Msi.
Sementara pemateri (narasumber) pada “Pelatihan Jurnalis yang Sensitif Gender dan Anak Bagi Para Jurnalis” yakni Maria Hartiningsih Wartawan Kompas 1984-2015 dan kini sebagai Praktisi Perempuan dan Lestari Nurhajati mantan Jurnalis dan kini Aktivis Perempuan dan Mitra dari (KPPPA) RI.
Kedua Pemateri (Maria Hartiningsih dan Lestari Nurhajati) memberikan pencerahan soal penyusunan pedoman penulisan Jurnalistik yang responsif Gender dan anak. Selain itu juga memaparkan sejumlah langkah dan strategi merebut ruang Gender di Media.
Dalam pemaparannya, kedua narasumber terjalin interaksi dengan diskusi kelompok dalam pemetaan persoalan Gender dan kekerasan anak. Pemaparan narasumber diterima dengan baik oleh para Jurnalis yang ikut dalam pelatihan tersebut.
Berita adalah Fakta
Lestari Nurhajati dalam pemaparannya menjelaskan, peristiwa dan masalah yang lantas disampaikan oleh media untuk menjadi berita, secara teoritis dapat dilihat dari 3 ukuran: yakni Aktual atau masih baru yang berarti mengandung makna kecepatan dalam memperoleh berita-berita baru yang belum pernah dipublikasikan ataupun berita lama yang memiliki informasi terbaru.
Kemudian Faktual, yang berarti berdasarkan kenyataan atau sesuatu yang benar-benar terjadi dan mengandung nilai-nilai kebenaran. Penting dan menarik. (Baca: Ini Pemaparan Maria Maria Hartiningsih Soal Ilmu Jurnalis Sensitif Gender)
Lestari Nurhajati mengatakan, fakta adalah situasi dan kondisi seperti apa adanya, tidak ditambah ataupun dikurangi, atau dengan kata lain fakta adalah peristiwa atau pendapat apa adanya yang bersifat suci. Tetapi dalam prakteknya berita kemudian sering mengandung interpretasi dan opini wartawan/jurnalis.
“Contoh lain teks-teks beritanya bersifat bias gender, yang dapat terlihat dari pilihan-pilihan kata yang dipakai jurnalis, misalnya: “ikut nimbrung mengerjai korban, mendapat jatah mengerjai korban, korban dipukuli menggunakan tangan kosong, tutur Tyas bertubuh bahenol ukuran bra 36 B, 650 ribu cewek ABG tidak perawan, tetek si cewek ditonjok ampe bengkak coy”. Ini adalah fenomena media ini disebabkan faktor bisnis bahasa, yang mana bertujuan hanya untuk menarik perhatian khalayak dan peningkatan oplah. Bila dikaitkan konteks sosial, maka mereka telah terinternalisasi budaya patriarkhi,” ujar Lestari Nurhajati.
Berita dan Bias Gender
Kata Lestari Nurhajati, menurut Denis McQuail bias adalah kecenderungan untuk meninggalkan jalur kebenaran objektif secara konsisten dengan menyelewengkan informasi. Dalam berita, bias diartikan sebagai suatu kecenderungan sistematis yang lebih berpihak pada satu sisi atau posisi daripada sisi lainnya.
“Ada 4 iipe bias dalam pemberitaan Gender. Pertama, partisanship meliputi persetujuan atau pengesahan editorial atas kepentingan orang tertentu. Dalam kasus ini, isi media adalah partisan yang terbuka dan disengaja (openly and intensionally). Kedua, propaganda disatu sisi juga intensionally partisan, tapi tujuannya tetap terselubung. Tidak mudah untuk mengidentifikasi bias ini jika propaganda tersbut baru pertama kali masuk dalam berita. Ketiga, unwitting bias bersifat terbuka dan tidak disengaja, seperti pemilihan suatu topik yang dianggap memiliki nilai berita. Ke empat, ideology mencakup bias terselubung dan tidak disengaja yang “melekat pada teks (embedded in texts),” terang Lestari Nurhajati.
Dikatakan, pada point 3 dan 4 inilah bias gender sering terjadi. Konstruksi perempuan dalam Media yang Bias Gender misalnya perempuan sebagai kelas kedua, dibawah laki-laki. Bias gender, bahwa perempuan lemah, harus dilindungi, harus cantik. Kemudian perempuan bagian dari pornografi dan object seksual.
Lebih jauh Lestari Nurhajati menjelaskan, ada 5 hal yang mempengaruhi isi media atau ada lima tataran yang mempengaruhi isi media. Pertama, tataran individual pekerja, latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan wartawan.
Kedua, tataran rutinitas media: menyangkut kepentingan khalayak yang meliputi nilai berita, objektivitas, dan struktur cerita. Ketiga, tataran organisasai media: gatekeeper, perspektif pemberitaan, serta sumber eksternal seperti interview, informan/narasumber dan lain-lain.
Kemudian ke empat tataran ekstra media: pemilik media, pemasang iklan, dll dan kelima, faktor ideologi: feminisme, agama, kelompok tertentu.
Keberpihakan Media Sebagai Suatu Keniscayaan
Menurut Lestari Nurhajati, media online cenderung menggambarkan perempuan dalam tataran isu domestik, atau juga “ibuisme”. Termasuk ketika media melakukan wawancara pada politisi perempuan, atau perempuan pekerja secara umum.
“Orde baru memperkenalkan ideologi “ibuisme” termasuk perempuan sebagai “konco wingking” teman di belakang para suami. Namun setelah reformasi isu bergeser pada isu tubuh perempuan, seksualitas perempuan, dan pakaian perempuan yang dikaitkan dengan moral dan agama,” ujarnya.
Dalam kasus pemberitaan perkosaan terhadap perempuan, media cenderung membuka kerahasiaan korban, mempermalukan korban dengan menceritakan detil peristiwa, sehingga membuat korban dan keluarganya trauma atas pemberitaan yang berlebihan tersebut.
Elemen Penting
“Gaya penulisan dengan memenuhi prinsip kesantunan berbahasa. Pikirkan efek berita tersebut. Komunikasi dengan bahasa sederhana dan jelas. Komunikasi harsu jelas dan tepat sehingga pembaca betul-betul mengerti isi pesan. Kejelasan menulis adalah masalah psikologis. Orang yang memiliki persoalan, biasanya tulisannya tidak jelas, atau seorang yang pikirannya semrawut maka tulisannya juga kacau. Wartawan harus kenal betul mana subjek, maka predikat. Mampu memilih informasi yang tepat di antara ribuan informasi,” jelas Lestari Nurhajati.
Menurutnya, pemberitaan media harus berpihak, apapun sumbernya. Media sosial dan mesin pencari menjadi sumber berita seperti Twitter, Facebook, Instragram, Snapchat, Path, dan lain sebagainya menjadi indikator apakah sebuah peristiwa bisa masuk kategori berita atau tidak.
“Media sosial menjadi sumber berita yang makin sulit terjaga kredibilitasnya. Karena terjadi daur ulang pemberitaan atau kecenderungan “kanibalisme” berita. Sumber berita yang valid melalui media sosial harus re-chek sumber “aslinya”. Kredibilitas sumbernya bisa dilihat dari track record medianya atau pengelola media/pemilik media teruji kredibilitasnya (independent, akurat, untuk kepentingan masyarakat luas). Bila memungkinkan, cross chek pada narasumber yang diberitakan. Apapun isi informasi/pemberitaan, pasti tidak lepas dari isu perempuan,” kata Lestari Nurhajati.
Pada hari terakhir “Pelatihan Jurnalis yang Sensitif Gender dan Anak Bagi Para Jurnalis” Selasa (11/7/2017), Lestari Nurhajati lebih mengajak peserta seminar untuk berdiskusi tentang hal-hal isu Gender di Provinsi Jambi.
Lestari Nurhajati berbagi pengalamannya saat masih aktif menggeluti dunia Jurnalistik tentang etika wartawan saat melakukan tugas jurnalis. Pada akhir pelatihan Lestari Nurhajati mengucapkan terimakasih kepada peserta dan Panitia lokal Jambi yang merespon dengan positif program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI tersebut.
Dia juga kedepannya agar Jurnalis dari Jambi bisa ikut lebih banyak lagi sebagai peserta seminar atau pelatihan semacamnya ke tingkat Nasional. “Terimakasih kepada seluruh peserta yang sangat antusias dalam pelatihan ini. Saya bangga dengan respon Jurnalis Jambi dalam acara ini yang bersemangat dan terjalin komunikasi dua arah selama diskusi berjalan,” ujar Lestari Nurhajati, sembari mengajak seluruh peserta untuk melakukan foto bersama. (JP-Asenk Lee Saragih).
Maria Hartiningsih Wartawan Kompas 1984-2015, Lestari Nurhajati(kiri), Asenk Lee Saragih (kanan). |
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE