Oleh: Aan Rukmana MA
Setelah satu bulan penuh berpuasa, umat Islam tidak lama lagi akan memasuki Hari Raya Idul Fitri, hari raya kemenangan umat Islam. Pada hari itu, semua umat Islam bersukacita. Anak-anak kecil sangat senang mendapatkan baju baru. Mereka juga menerima uang dari saudara-saudara.
Setelah satu bulan penuh berpuasa, umat Islam tidak lama lagi akan memasuki Hari Raya Idul Fitri, hari raya kemenangan umat Islam. Pada hari itu, semua umat Islam bersukacita. Anak-anak kecil sangat senang mendapatkan baju baru. Mereka juga menerima uang dari saudara-saudara.
Pada hari itu seluruh keluarga
berkumpul, sehingga makanan pun tersedia sangat melimpah. Sampai-sampai saking banyaknya
makanan, cenderung mubazir dan tidak termakan semua. Itu bukanlah
masalah, karena yang terpenting semua orang Islam merasakan aroma
kemenangan di Idul Fitri setelah satu bulan penuh melaksanakan ibadah
puasa yang tidak mudah menjalankannya.
Satu hari sebelum Idul Fitri, pekik takbir terdengar di mana-mana.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Suara itu begitu menggema sambung menyambung
dari satu musala ke musala lainnya. Gema takbir semakin ramai
dikumandangkan anak-anak kecil yang ikut rombongan takbir keliling.
Sambil membawa obor di tangan, mereka pun sesekali tertawa lepas sambil
menyapa siapa pun yang dijumpai. “Kemenangan telah tiba, mari kita
rayakan bersama!” Kira-kira demikianlah pesan implisit dari pawai
tersebut.
Sebagai orangtua tentu juga merasa bahagia. Banyak dari kita yang
berbelanja ke pasar dengan belanjaan yang berlebih seakan kita ingin
mengatakan bahwa hari kemenangan itu telah tiba.
Di mana-mana kita mendengar ucapan "Minal Aidin wal-Faizin" yang
artinya “Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali dan menjadi
orang-orang menang." Kita pun saling berucap hal yang sama untuk menyapa
sesama kita. Barangkali dapat dikatakan bahwa ucapan tersebut adalah
ucapan paling populer setiap Idul Fitri tiba. Lafaz kemenangan itu pun
menjadi ciri khas dari kedatangan hari kemenangan. Jika ditelisik lebih
jauh, apa sebetulnya arti kemenangan tersebut? Dan siapakah orang-orang
yang menang sebetulnya?
Menjadi orang menang atau al-faizin itu memiliki beberapa arti. Pertama, orang-orang menang adalah mereka yang memang sudah satu bulan penuh mengikuti training
rohani dengan maksimal.
Mereka memaksimalkan setiap harinya dengan
memperbanyak melakukan hal-hal baik. Dimulai sejak sahur di pagi hari,
pergi ke masjid untuk melaksanakan salat subuh berjemaah, melakukan
puasa dengan sungguh-sungguh, memperbanyak iktikaf di masjid, serta
kesediaan untuk memperbanyak membantu orang lain yang membutuhkan.
Jadi kemenangan itu karena mereka sudah berhasil menjaga dan
melakukan kebaikan selama satu bulan penuh sehingga diharapkan setelah
puasa selesai, kebaikan tersebut dapat terus dipelihara.
Kedua, orang-orang menang adalah mereka yang sudah berhasil
menggeser orientasi hidupnya yang sebelumnya berpusat kepada individu
(egosentris) menjadi pribadi yang sangat peka dengan orang lain. Puasa
yang dilewatinya melatih pribadi yang peka dengan orang lain. Jika
selama ini kita tak acuh dengan orang lain, selepas puasa kita menjadi
sosok yang peduli dengan orang lain. Mereka yang terlemahkan (mustadha’fîn) dalam kehidupan sehari-hari menjadi fokus kita.
Pribadi-pribadi seperti inilah yang paling berhak menyandang makna
kemenangan pada hari raya Idul Fitri. Itu juga alasan mengapa umat Islam
di Idul Fitri diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Itu cerminan
bahwa orang lain adalah ujung dari pelaksanaan ibadah puasa. Puasa yang
mulanya bersifat individu berorientasi kepada pengembangan jiwa sosial
kepada orang lain.
Ketiga, kemenangan orang-orang Islam adalah kemenangan
manusia sejagat. Itu artinya, hasil akhir dari pelaksanaan ibadah puasa
adalah mendidik manusia-manusia baik yang kelak berguna bagi seluruh
umat manusia.
Yang merasakan kemenangan Idul Fitri bukan saja umat
Islam, melainkan seluruh umat manusia di mana pun berada. Maka dari itu,
mari kita jadikan hari raya Idul Fitri sebagai momentum bersama untuk
mendeklarasikan kebaikan manusia sejagat. Id Mubarak! (Penulis adalah dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina, Jakarta).
Sumber: BeritaSatu.com
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE