Lahan Gambut di Tanjabtim. |
Jambipos Online-Membicarakan ikan dan gambut tidak dapat dipisahkan. Di gambut, ikan khas gambut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di berbagai tempat diceritakan tentang kekayaan gambut sebagai penyimpan air yang menghasilkan ikan-ikan khas gambut.
Di berbagai Desa baik yang termasuk kedalam Marga Kumpeh Ilir maupun didalam Marga Kumpeh ulu disebutkan tentang pengetahuan tentang ikan. Bahkan masyarakat tidak pernah membeli ikan yang masih tersedia di sekitar dusun.
Namun sejak kedatangan berbagai perusahaan sawit, kebakaran yang semakin massif, air sungai yang keruh menyebabkan semula masyarakat menangkap ikan. Namun ikan-ikan kemudian mulai sulit didapatkan. Ikan-ikan seperti toman, baung sudah jarang didapatkan. Apalagi ikan Tapa.
Bahkan ikan lais yang semula kurang mendapatkan perhatian dari memancingpun sudah mulai susah didapatkan. Ikan Toman (channidae), ikan baung (Macrones nemurus), ikan tapa (Wallago) adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut.
Selain itu juga dikenal arwana silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys aroplos), serandang (Channa pleurophthalma) dan tilan (Mastacembelus erythrotaenia).
Masyarakat menduga, turunnya ikan disebabkan perusahaan sawit yang beroperasi di belakang Dusun Pulau Tigo.
Padahal ikan selain bisa dikonsumsi juga merupakan sebagai “penanda’ terhadap perubahan musim dari musim hujan ke musim kemarau.
Ikan Toman dan Ikan Tapa memberikan tanda semakin menaiknya air sungai Batanghari.
Dengan terdapatnya Ikan Toman dan Ikan Tapa, maka tahun musim tanam padi belum bisa dilakukan. Biasanya di bulan Oktober – Mei. Hasil riset Walhi 2015 juga menunjukkan, musim tanam petani di daerah Gambut dimulai April – Oktober.
Sedangkan Ikan seluang sebagai penandai dimulainya musim kemarau.
Namun praktis sejak 5 tahun terakhir, ikan Toman, ikan Tapa semakin sulit didapatkan.
Selain disebabkan dimulainya aktivitas perusahaan sawit yang membuang limbah ke Sungai Kumpeh, air keruh dari Sungai Batanghari juga menyebabkan populasi ikan yang semakin menurun.
Bahkan Dinas Kelautan dan Perikanan Jambi sudah menyampaikan populasi ikan air tawar terutama di rawa mencapai 50%.
Dalam laporan Fakultas Peternakan Unja “Seksualitas, Nisbah Kelamin dan Hubungan Panjang Berat (Rasbora Argyrotaenia) di Sungai Kumpeh ”, ikan seluang banyak terdapat di Kumpeh.
Namun dengan semakin keruhnya sungai Batanghari, maka selain tekanan ekologis terhadap Ikan seluang, ikan seluang sulit didapatkan walaupun di musim hujan atau Air Sungai Batanghari sedang naik.
Bahkan ikan yang menjadi menu makanan sehari-hari kemudian hilang dan sulit didapatkan. Bahkan 5 tahun terakhir, ikan-ikan seperti ikan toman, ikan baung semakin sulit didapatkan.
Selain menghilangkan protein yang terdapat di dalam ikan, kesulitan untuk melihat ikan-ikan juga menyebabkan bergesernya tahun tanam masyarakat berupa padi di “peumoan”. Kegagalan membaca alam kemudian menyebabkan 5 tahun terakhir kemudian menyebabkan kegagalan panen (fuso) dan merugikan masyarakat.
Sehingga selain kebakaran yang massif selama 17 tahun terakhir dan diperparah sejak tahun 2010 maka ikan-ikan yang semula menjadi bagian dari masyarakat juga disebabkan izin di lahan gambut. Gambut yang semula menjadi “rumah” ikan dan tempat perlindungan yang tidak boleh dikelola kemudian hilang.
Kehancuran gambut baik dengan izin perusahaan dan kebakaran kemudian menjadi hilangnya biodiversity.
Sehingga tidak heran kemudian daerah gambut justru harus membeli ikan yang didatangkan dari kota Jambi.
Sebuah ironi di tengah hiruk pikuk wacana gambut dalam pusaran lingkungan hidup sejak tahun 2010.
Nama-nama ikan juga dikenal sebagai nama tempat. Seperti Sungai Baung di Kabupaten Batanghari, Sungai Toman di Mendahara Ulu, Tanjung Jabung Barat. (Penulis Musri Nauli)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE