Oleh: Musri Nauli
Jambipos Online-Akhir-akhir
ini wacana tentang pribumi mewarnai wacana public. Isu “pribumi” merupakan isu
terakhir setelah sebelumnya isu “Indonesia asli” sempat mewarnai ketika
menjelang Pilpres 2014. Melengkapi dari isu “putra daerah” didalam berbagai
pilkada sejak awal reformasi. Isu Indonesia asli kemudian tenggelam mengikuti
jejaknya isu putra daerah.
Isu ini menarik untuk didiskusikan sebagai wacana melihat
bagaimana peraturan perundang-undangan menempatkan menjadi pembahasan yang
cukup serius. Terlepas dari kepentingan pragmatis, isu ini harus diletakkan
dalam bingkai untuk mendiskusikan lebih jauh sehingga kebangsaan,
keindonesiaan, keberagaman maupun pluralism untuk masa depan.
Menjelang awal-awal setelah reformasi, di Jambi isu “putra
daerah” mewarnai diskursus public. Baik didalam diskusi di tengah masyarakat
maupun penggunaan isu putra daerah kemudian dijadikan bahan kampanye menjelang
Pilkada.
Namun isu ini tidak mendapatkan tempat baik didalam
peraturan perundang-undangan maupun didalam memenangkan Pilkada.
Kemenangan dua kali Walikota Jambi dan Kabupaten Tebo
kemudian menihilkan. Publik kemudian tidak menangkap isu ini menjadi
mainstream.
Secara dewasa, hasil pilkada Kotamadya Jambi (dua kali
pilkada) maupun Tebo justru memenangkan Kepala daerah dan mengalahkan nama-nama
yang diusung yang dianggap sebagai “putra daerah”. Dari ranah ini, maka
dipastikan isu putra daerah bersuara di ranah social namun tidak mendapatkan
tempat di ranah politik.
Kecerdasan pemilih Kotamadya Jambi dan Kabupaten Tebo
haruslah ditangkap sebagai kemajuan besar pemilih kedua daerah yang menempatkan
“kemampuan” personal yang menjadi ukuran didalam memilih.
Berbeda dengan “putra daerah”, isu Bumi Putra dan Indonesia
asli menjadi pembahasan cukup serius didalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Belanda kemudian menempatkan pasal 131 Indische
Staatsregeling (IS) dan kemudian membagi tiga golongan yaitu Eropa
(Europeanen), Timur Asing (vreemde oosterlingen) dan Bumi putra (inlander).
Didalam pasal 131 ayat (1) IS disebutkan “Hukum Perdata dan
Hukum Dagang serta Hukum Pidana demikian juga Hukum Acara Perdata dan Hukum
Acara Pidana diatur dengan Ordonat”. Sedangkan pasal 131 ayat 2 IS menyebutkan
“Dalam ordonantie yang mengatur Hukum Perdata dan Hukum Dagang untuk
orang-orang Eropa diikuti dengan undang-undang yang berlaku di negeri Belanda”.
Dengan demikian maka Bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan berlaku dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang
diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat berdasar asas
konkordansi.
Sedangkan Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku
Hukum Adat mereka. Dan Bagi golongan Timur Asing berlaku hukum mereka
masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing
diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa/Barat.
Mekanisme ini juga mengenal penundukan (pilihan hukum) yang
diatur didalam Staatblad 1917 No. 12 yaitu Tunduk secara sukarela kepada
seluruh Hukum Perdata Eropa atau Tunduk secara sukarela kepada sebagian Hukum
Perdata Eropa dan Tunduk secara sukarela kepada Hukum Perdata Eropa untuk suatu
perbuatan hukum tertentu.
Penghapusan penggolongan penduduk kemudian dapat dilihat
didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) konstitusi. Begitu juga diatur
didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, UU No. 62
Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Selain itu dapat
dilihat didalam UU No. 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Sedangkan kata “Indonesia asli” dapat dijumpai didalam
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diamandemen). Didalam pasal 6 ayat (1)
kemudian disebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
Ketentuan ini
kemudian mengalami perubahan didalam amandemen ketiga yang kemudian menyebutkan
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia
sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan
Wakil Presiden.
Begitu juga kata “Indonesia asli” mengenai kategori
warganegara yang disebutkan didalam pasal 6 konstitusi (sebelum amandemen)
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara. Makna ini masih termaktub jelas didalam UUD 1945 setelah diamandemen.
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pribumi”
mengandung makna “penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan.
Dengan demikian maka makna pribumi kemudian dapat merujuk kepada “penduduk
asli’ yang kemudian menempati daerah yang cukup lama. Makna ini lebih “moderat”
dengan kata “pribumi” sebenarnya merupakan definisi yang diberikan colonial
belanda didalam melakukan penafsiran “inlander”.
Lalu siapakah penghuni asli yang mendiami tempat dengan
jangka waktu yang lama ?. Apakah kita mau mengikuti teori migrasi penduduk pada
masa sebelum manusia modern (homo erectus) sekitar 1,5 – 1,7 juta tahun yang
lalu yang berasal dari Afrika ? Atau masa gelombang kedua pada masa “homo
sapiens” pada masa 100 ribu tahun yang lalu ? Atau masa Melayu-austronesia”
sekitar 5 ribu tahun yang lalu yang datang dengan teknologi cukup maju dengan
“kano bercadik dua” yang kemudian juga dikenal sebagai “proto Melayu” ?
Kita juga tidak dapat memungkiri tentang kedatangan “deutro
Melayu” yang sudah membawa berbagai teknologi seperti perairan, bertani,
mengenal musim dan berbagai teknologi lainnya seperti ukiran.
Padahal kita juga tidak mengabaikan tentang kedatangan
pedagang dari Tibet, India yang sudah membawa teknologi seperti perunggu,
aksara dan agama.
Belum lagi kedatangan Arab, Persia, Turki pada abad 7 masehi
dan perdagangan semakin berkembang sejak abad XIII hingga abad abad XVII.
Setiap jejak dari setiap kedatangan manusia dunia ke Indonesia masih ditemukan
di berbagai tempat.
Mengikuti makna “penghuni asli” maka dipastikan seluruhnya
sudah menjadi bagian dari penduduk yang “bermukim” lama di Indonesia.
Selain itu juga makna “pribumi” sebagai definisi yang
diberikan colonial Belanda dan menempatkan menjadi warganegara kelas tiga sudah
dihapuskan oleh berbagai peraturan perundang-undangan.
Apakah relevan masih “mempertanyakan” makna “pribumi” dalam
konteks setelah Indonesia merdeka. Apakah kita masih “paranoid” dengan
pemikiran yang ditinggalkan oleh colonial Belanda ?
Padahal makna ini kemudian sudah ditegaskan ketika didalam
“Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia” tahun 1928 yang kemudian berikrar
dengan menggunakan kata “Pemoeda-Pemoedi Indonesia”. Kata “Pemoeda-Pemoedi
Indonesia” kemudian mengelimir “pribumi”.
Sudah sepantasnya kemudian merujuk kepada pasal 26
konstitusi kemudian kita berikrar. Warga Negara Indonesia. Data dari berbagai
sumber. (Penulis Adalah Aktivis dan
Advokad Tinggal di Jambi)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE