Jambipos Online,
Jambi- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi dan sejumlah aktivis
lingkungan di Jambi menyikapi Peraturan Gubernur (Pergub) No 31 Tahun 2016
tentang petunjuk teknis pelaksaan Peraturan Daerah (Perda) No 2 tahun 2016
tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yang dilaunching
Gubernur Jambi H Zumi Zola Senin 13 Maret 2017 lalu, sangat merugikan
masyarakat tradisional.
Direktur Walhi Jambi, Rudyansah kepada wartawan Kamis
(16/3/2017) mengatakan, mengingat Perda Provinsi Jambi No. 2 tahun 2016 dan
Pergub Jambi No. 31 tahun 2016 sangat terkait kehidupan masyarakat desa dan
kaum tani, maka Masyarakat Sipil Jambi memandang perlu menyampaikan sikap dan
pandangan atas kedua kebijakan tersebut.
Sejumlah aktivis lingkungan dan agraria Jambi yang
mengkritisi Perda dan Pergub itu yakni Petani, Mahasiswa, dan Perempuan di
Jambi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Aliansi Gerakan Reforma Agraria
(AGRA) Jambi, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (GMGJ), Serikat Tani Tebo (STT),
Yayasan Keadilan Rakyat (YKR), Perkumpulan Hijau (PH), Front Mahasiswa Nasional
(FMN) Cabang Jambi, INSPERA, dan Beranda Perempuan.
Mereka menilai upaya mendatangkan delegasi negara asing
tidak sepadan dengan upaya menghadirkan lembaga-lembaga yang memiliki perhatian
terhadap tema lingkungan dan agraria di Jambi.
“Kami menilai peraturan ini tidak mempertimbangkan kearifan
lokal masyarakat dalam kegiatan menyiapkan lahan. Secara hukum ini bertentangan
dengan undang-undang di atasnya,” kata Rudy di Kantor Walhi Jambi, Kamis
(16/3).
Disebutkan, tradisi membuka lahan yang dilakukan masyarakat
Jambi dengan cara merun atau sekat bakar yang sudah dilakukan sejak nenek
moyang terdahulu, dengan adanya Perda Karhutla, masyarakat tidak dapat lagi
membuka lahan dan juga melakukan cocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Kebakaran yang terjadi tahun lalu mempunyai karakteristik
tersendiri. Di Lubuk Mandarsah Kabupaten Tebo, areal hutan alam yang
berdampingan dengan tanaman PT. WKS terbakar pada tahun 2015, kini dibekas
lahan terbakar tumbuh tanaman Hutana Tanaman Industri (HTI) milik perusahaan,”
sebutnya.
Sementara itu, INSPERA Jambi, Ade mengatakan Tradisi Merun
(kegiatan petani dalam membuka lahan) yang sudah dilakukan sejak dahulu
nyatanya tidak menyebabkan kebakaran seperti yang terjadi tahun 2015.
“Adanya Perda Karhutla saat ini justru akan mematikan
pekerjaan petani yang hanya bisa menggarap lahan secara terbatas dengan modal
yang sedikit. Sampai saat ini praktik pengganti merun yang bisa dijangkau
masyarakat juga tidak ada,” jelas Ade.
Ade juga mengatakan bahwa Petani tidak anti terhadap
kemajuan. “Namun pada kenyataannya tidak ada alternatif lain kalau tidak ada
merun. Ini justru akan mengubur tradisi dan kehidupan petani,” katanya.
Dodi dari STT juga mengatakan, adanya Perda Karhutla
membuat masyarakat khususnya di Tebo tidak dapat melakukan cocok tanam karena
takut ditangkap jika melakukan Merun. “Di Tebo sudah ada warga yang ditangkap
karena tuduhan membakar,” kata Dodi.
Selain itu, Perwakilan JMGJ Angga mengatakan kebijakan ini
menjadi ancaman bagi petani yang tinggal di lahan gambut, karena beberapa waktu
lalu arela yang terbakar terbanyak di wilayah gambut akibat konsesi perusahaan.
“Ini menjadi ancaman serius terhadap masyarakat gambut,
dengan kebijakan kebijakan yang mengkriminalisasi masyarakat. Penyebab
kebakaran adalah konsesi, karena adanya kanal areal gambut menjadi kering,”
katanya.
Oleh karena itu, Masyarakat Sipil Jambi atas disahkannya
Perda Karhutla menyatakan sikap agar penegakan hukum atas perusakan daya dukung
lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan, pengakuan terhadap kearifan lokal
atas praktek pertanian, seperti skema merun atau sekat bakar.
Selain itu, juga meminta pemerintah untuk tidak melakukan
kriminalisasi terhadap kaum tani yang melakukan sekat bakar, serta menegakkan
hukum terhadap perusahaan besar penyebab kebakaran hutan dan lahan serta tutup
kanal dan stop konsesi di wilayah gambut. (JP-03)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE