Jambipos Online-Ketika Mas Gie (Sugianto) yang menerangkan tentang tugas,
fungsi dan panggilan sebagai pendeta dari GKSBS (Gereja Kristen Sumatera Bagian
Selatan) yang disampaikan di muka persidangan Pengadilan Negeri Menggala
(Kabupaten Tulang Bawang), Lampung, sekaligus membantah “tuduhan” Jaksa
Penuntut Umum sebagai “provokator” - sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum,
ingatan saya kemudian melayang “fungsi” umat manusia didalam melihat ketidakadilan.
Sebagaimana seruan yang disampaikan dalam Sidang Dewan
Gereja-gereja (DGD) se-dunia di Porto Alegre tahun 2006, DGD memprakarsai suatu
program yang focus pada penghapusan kemiskinan, menantang akumulasi kekayaan
dan mengawal keutuhan ekologis yang berlandaskan pada pemahaman bahwa
kemiskinan, kekayaan dan ekologi berkelindan secara utuh.
Sebagai panggilan Gereja, maka Gereja mewartakan kabar
sukacita kepada segala makhluk ciptaan Allah untuk mewujudkan keadilan,
perdamaian dan keutuhan Tuhan.
Dalam panggilan itu, maka “kehidupan yang baik” bukan
terletak pada persaingan untuk memiliki, menumpuk kekayaan dengan menggunakan
kekuatan kita sendiri (Yakobus, 3 : 13 – 18).
“Kehidupan yang baik” terbentuk
dari persekutuan Tritunggal Mahakudus yang membagikan kemitraan,
ketimbal-balikkan, keadilan dan cinta kasih.
“Kehidupan yang lebih baik” tidak boleh berangkat dari
“rintihan dan tangis orang-orang miskin (Yer. 14 : 2-7), meredefinisi pandangan
orang tentang kemiskinan dan kekayaan (2 Kor. 2:9).
Gereja mesti ditantang untuk mengingat, mendengar dan
mengindahkan panggilan kristus (Mark, 1 ; 15). Gereja adalah agen Allah untuk
perubahan. Gereja adalah komunitas para murid Yesus Kristus yang menegaskan
kepenuhan hidup bagi semuanya. Melawan setiap penyangkalan hidup.
Gereja berkeinginan untuk mewujudkan dunia yang lebih baik.Didalam Islam sendiri, penghormatan terhadap manusia
ditempatkan sebagaimana disebutkan di dalam “Abu Hurayrah meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk
atau rupa kamu, juga tidak kepada harta benda kamu. Akan tetapi, Allah swt
memandang kepada hati dan amal perbuatanmu semata.” (HR. Ibn Majah).
Namun ketamakkan segelintir orang membuat sebagian umat
manusia terpinggirkan. Ketika sebagian terpinggirkan maka tercipta
ketidakadilan/tertindas (musdatafi’in). Dan umat islam kemudian memihak kepada
musdatafi’in untuk melawan kepada kaum penindas (mustakbiriin).
Islam kemudian menempatkan berbagai tingkatan untuk melawan
kemungkaran. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa
di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan
tangannya.
Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila
tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah
iman.’.” (HR. Muslim).
Hadits ini mencakup tingkatan-tingkatan mengingkari
kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya barang siapa yang mampu
untuk merubahnya dengan tangan maka dia wajib menempuh cara itu.
Hal ini
dilakukan oleh penguasa dan para petugas yang mewakilinya dalam suatu
kepemimpinan yang bersifat umum. Atau bisa juga hal itu dikerjakan oleh seorang
kepala rumah tangga pada keluarganya sendiri dalam kepemimpinan yang bersifat
lebih khusus.
Yang dimaksud dengan ‘melihat kemungkaran’ di sini bisa dimaknai
‘melihat dengan mata dan yang serupa dengannya’ atau melihat dalam artian
mengetahui informasinya.
Apabila seseorang bukan tergolong orang yang berhak
merubah dengan tangan maka kewajiban untuk melarang yang mungkar itu beralih
dengan menggunakan lisan yang memang mampu dilakukannya. Dan kalau pun untuk
itu pun dia tidak sanggup maka dia tetap berkewajiban untuk merubahnya dengan
hati, itulah selemah-lemah iman.
Merubah kemungkaran dengan hati adalah dengan
membenci kemungkaran itu dan munculnya pengaruh terhadap hatinya karenanya.
Perintah untuk merubah kemungkaran yang terkandung dalam hadits ini tidaklah
bertentangan dengan kandungan firman Allah ‘azza wa jalla.
Perlawanan terhadap kaum penindas (mustakbiriin) dapat
dilihat didalam QS. al-Maidah: 105. “Hai orang-orang yang beriman urusilah diri
kalian sendiri. Tidak akan membahayakan kalian orang yang sesat itu apabila
kalian sudah berada di atas petunjuk.” (QS. al-Maidah: 105).
Karena makna dari ayat ini adalah: Apabila kalian telah
melaksanakan kewajiban beramar ma’ruf dan nahi mungkar yang dituntut (oleh
agama) itu berarti kalian telah menunaikan kewajiban yang dibebankan kepada
kalian. Setelah hal itu kalian kerjakan, maka tidak akan merugikan kalian orang
yang sesat itu selama kalian tetap mengikuti petunjuk.
Berangkat dari pemahaman dari kaum beriman, maka kaum
beriman membangun dialog untuk menemukan dasar bersama didalam perjuangan
melawan ketamakan.
Tugas itulah yang melekat didalam diri Mas Gie.Tugas Mas Gie sederhana. Melaksanakan tugasnya sebagaimana
mandate sebagai Pendeta.
Yang membedakannya. Dia tidak memilih manusia yang dibelanya. Dan dia tidak memilih medan apa yang mesti diperjuangkannya. Termasuk resiko harus dipenjara, dipermalukan, diborgol di hadapan manusia yang dibelanya.
Dan didalam persidangan, sama sekali tidak ada kekesalan
dari Mas Gie ketika menjalankan panggilan kemudian “dituduh” menjadi provokator
sebagaimana didalam dakwaannya. Bahkan Mas Gie tetap memberikan kabar sukacita
dan mengajak Jaksa penuntut Umum tetap berpihak kepada ketidakadilan.
Salute dan salam hormat, Mas Gie. Janji kutunaikan. Menggunakan jubah untuk
tetap berpihak kepada kaum musdatafi’in untuk melawan kepada kaum penindas
(mustakbiriin). (Musri Nauli)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE