Foto Pimpinan Redaksi Mingguan "Independent" H Syamsulwatir M (Ayah Sakti Alam Watir) saat mengendarai Motor CG110-BH 6188 AB. Foto SAW. |
(1998-2015: Analisis Ekonomi Politik-Ringkasan Temuan)
Jambipos Online-CATATAN PALING awal yang menyebut media
cetak di Jambi adalah monografi Sumatera Tengah yang diterbitkan pada 1956 (?)
oleh Djawatan Penerangan Sumatera Tengah. Di dalam sebuah tabel pers yang
muncul setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, disebutkan bahwa dua surat
kabar diterbitkan di Jambi, yaitu Pelita Marga oleh Djawatan Penerangan
Kabupaten (Djapenkab) Merangin di Bangko dan Aktuil oleh Djapenkab Batang Hari
di (kota) Djambi.
Karakter media untuk kepentingan melayani pemerintah daerah
tersebut ternyata tak hilang dan bahkan menjadi ciri dari koran-koran lokal
yang terbit dan berkembang pada era Reformasi. Bedanya, kalau dulu Pelita Marga
dan Aktuil dimiliki oleh pemerintah daerah, sekarang koran-koran lokal yang
muncul diterbitkan oleh industri atau badan usaha di luar pemerintahan.
Meskipun pemiliknya swasta, melalui kerja sama dalam hal pemasangan berbagai
iklan dan langganan dengan pemerintah daerah, koran-koran lokal pada gilirannya
juga menjadi pelayan kepentingan pemerintah daerah.
Aliansi dan hubungan
klientelis yang dibentuk dengan pemerintah daerah tersebut membuat industri
koran lokal di Jambi tumbuh dan berkembang pesat setelah Orde Baru runtuh pada
1998.
Pada akhir Orde Baru, di Jambi hanya ada satu koran lokal
yang terbit, yaitu Jambi Independent, koran milik pengusaha daerah yang muncul
pada 1973 namun sejak 1995 bernaung di bawah Jawa Pos Group.
Khawatir koran
yang berkembang pesat setelah berganti manajemen ini sewaktu-waktu bisa
diberedel oleh pemerintah Orde Baru, Jawa Pos Group menerbitkan koran cadangan
bernama Jambi Ekspres. Rupanya ketika koran ini terbit pada awal 1999, rezim
sudah berganti.
Mengambil untung dari euforia pemberitaan setelah peristiwa Mei
1998, Jambi Ekspres juga segera mendapatkan kesuksesan besar bersama sang
kakak.
Selanjutnya, dari dua koran tersebut, tumbuh dan berkembang koran-koran
lain di bawah Jawa Pos Group. Pada 2002 mereka menerbitkan Posmetro Jambi, yang
dimaksudkan sebagai koran kriminal, dan pada 2004 menerbitkan Bungo Pos untuk
melayani pembeli di Jambi wilayah barat.
Periode 2006 hingga 2010, kelompok
yang berbasis di Surabaya tersebut menerbitkan 13 koran lokal lain yang
kebanyakan hanya beredar di satu-dua kabupaten atau kota.
Di luar Jawa Pos Group, ada Aksi Pos yang diterbitkan oleh
pengusaha dan politikus lokal Usman Ermulan pada 2004 atau setahun jelang
pencalonannya menjadi gubernur.
Selanjutnya pada 2010, Kelompok Kompas Gramedia
juga hadir di Jambi melalui Tribun Jambi. Meskipun terlambat datang dibanding
Jawa Pos Group, Tribun Jambi segera memeroleh pelanggan yang lebih besar karena
harga jualnya yang jauh lebih murah.
Ada juga Harian Jambi yang diterbitkan pada
2013 oleh tim sukses Sum Indra-Maulana setelah keduanya kalah dalam Pemilihan
Walikota Jambi serta Jambi Today oleh pengusaha dan politisi Partai Demokrat,
Paut Syakarin, pada 2014.
Tahun itu juga menyaksikan munculnya Jambi One yang
dimiliki para bos Jawa Pos Group di Jambi serta Tungkal Post yang kemudian
berubah menjadi Jambi Raya oleh aktivis lokal. Koran-koran ini menggenapi
jumlah total 20 koran lokal yang masih terbit hingga akhir 2015.
Kalau banyak peneliti sebelumnya menyebutkan bahwa perkembangan
pesat media cetak pasca-Orde Baru disebabkan oleh penghilangan syarat
kepemilikan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi penerbit media, kasus
Jambi memperlihatkan hal tersebut bukan faktor tunggal. Kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan pasca-Orde Baru serta
dinamika politik lokal yang menyertainya bahkan tampak lebih dominan.
Kebijakan otonomi daerah dimulai pada 1999 melalui UU Nomor
22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk
mengelola wilayahnya, disusul UU Nomor 25 Tahun 1999 yang mengatur pembagian
yang lebih adil terkait penerimaan daerah.
Dengan kebijakan itu, daerah seperti
berlomba mencari investor untuk meningkatkan pendapatan daerah. Hasilnya,
akumulasi modal swasta dalam bentuk investasi dan modal pemerintah di daerah
dalam bentuk anggaran menjadi jauh lebih besar ketimbang sebelumnya.
Magnet
daerah juga menjadi semakin menarik setelah pemerintah mengeluarkan UU Nomor 32
Tahun 2004 yang di antaranya mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara
langsung oleh rakyat mulai 2005. Dalam pemilihan langsung itu, apa pun kemudian
dimanfaatkan sebagai sumber daya politik, termasuk koran lokal.
Tak sulit untuk mencari hubungan antara kebijakan baru
desentralisasi dan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) dengan
pertumbuhan koran lokal.
Selain beberapa koran lokal dimiliki oleh aktor
politik daerah yang berguna untuk melayani ambisi politik mereka, periode
terbanyak berdirinya koran lokal, yakni 2006-2010, menunjukkan persisiannya
dengan pilkada-pilkada yang digelar di Jambi. Berperan dalam menyosialisasikan
kandidat, koran-koran lokal tersebut mengharapkan kue iklan yang besar jelang
penyelenggaraan pilkada.
Namun keliru kalau beranggapan relasi dengan aktor politik
tersebut berhenti setelah pilkada usai. Kenyataannya, kandidat yang terpilih
menjadi kepala daerah terus membangun bahkan meningkatkan hubungan yang baik
dengan koran lokal.
Kali ini mereka menggunakan anggaran daerah yang besar
sebagai berkah dari pembagian penerimaan negara yang lebih adil setelah
desentralisasi untuk beriklan dan berlangganan koran lokal.
Atas nama penyiaran
kegiatan pemerintah daerah, kepala daerah memasang iklan-iklan dalam bentuk
society, advertorial, dan iklan layanan masyarakat yang sesungguhnya bertujuan
mempopulerkan sang pejabat. Target mereka adalah agar terpilih kembali dalam
jabatan yang sama atau naik kelas dari bupati/walikota menjadi gubernur dalam
pilkada selanjutnya.
Demi tujuan itu, anggaran daerah untuk koran lokal
ditingkatkan dan akan terus membesar seiring kian dekatnya pilkada. Walhasil,
pemerintah daerah tercatat sebagai pelanggan sekaligus pengiklan terbesar untuk
koran-koran lokal di Jambi.
Dalam waktu 1,5 dasawarsa, relasi ini membuat
koran-koran lokal tumbuh dan berkembang pesat di Jambi, dari sebelumnya hanya
satu koran lokal pada pengujung Orde Baru menjadi lebih dari 20 pada akhir
2015.
Tak diragukan bahwa iklan, langganan, dan anggaran yang
disediakan mendasari hubungan klientelis-patrimonial antara koran lokal dan
pemerintah daerah.
Hubungan tersebut dicirikan oleh upaya saling memberikan
manfaat di antara dua pihak secara timbal-balik dan terus-menerus dalam kurun
waktu yang cukup untuk menjamin keterulangan.
Dalam hal ini pemerintah daerah
mendapatkan citra positif baik dari iklan yang dipasang maupun dari pemberitaan
yang tak mungkin kritis, sementara koran lokal memeroleh pemasukan keuangan
yang menjamin kelangsungan usahanya.
Meskipun saling tergantung, dua pihak yang
berhubungan sebetulnya tidak setara (Aspinall dan Sukmajati, 2015: 4-5). Di
sini pemerintah daerah menjadi patron, sementara koran lokal bertindak sebagai
klien.
Menyadari ketergantungan koran lokal pada pemerintah,
kepala daerah dengan segera menghentikan manfaat atau patronase (patronage)
dalam bentuk iklan dan langganan yang selama ini diberikan ketika sewaktu-waktu
terjadi masalah dalam hubungan mereka, misalnya akibat pemberitaan koran lokal
yang terpeleset negatif dan berujung ketersinggungan pemerintah daerah.
Karena
iklim industri koran lokal yang sangat tergantung pada pemerintah daerah, mau
tak mau koran kemudian berusaha memperbaiki hubungan mereka supaya kembali
mendapatkan iklan dan langganan.
Dengan kebutuhan pemerintah atau kepala daerah
pada citra dan pemberitaan positif supaya terpilih lagi dalam pilkada,
koran-koran lokal menjadikan titik krusial ini sebagai basis negosiasi.
Konsekuensi dari hubungan ini bisa ditebak, koran-koran lokal absen
memberitakan pemerintah daerah secara kritis dan hak masyarakat untuk
mendapatkan pemberitaan yang benar dan jujur terkait pemerintah mereka
terabaikan.
Seperti pada awal kemunculannya di Jambi, koran lokal memilih
melayani pemerintah daerah ketimbang menjadi forum kewargaan (civic forum) atau
anjing penjaga (watchdog) bagi kepentingan publik (Putra, 2004: 135).
Pokok-pokok Kesimpulan
DENGAN RINGKASAN temuan sebagaimana di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, koran lokal tumbuh pesat pasca-Orde
Baru dipengaruhi oleh kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Variabel ini
menambah penjelasan dari peneliti sebelumnya yang menekankan pentingnya
pencabutan SIUPP sebagai faktor yang memengaruhi perkembangan industri media di
Indonesia (Lim, 2011: 21-22; Sen dan Hill, 2011; Romano, 2003; Rijal, 2005:
421-474). Hilangnya SIUPP sebagai syarat penerbitan media jelas faktor yang
penting sekali, tetapi mengabaikan faktor otonomi daerah tentu saja tidak tepat
berdasarkan data bahwa lebih dari 90 persen koran yang tumbuh pesat di
Indonesia pasca-Orde Baru adalah koran lokal (Sutrisno, 2011: 88).
Kedua, penelitian ini mengonfirmasi peneliti-peneliti
ekonomi-politik yang menyatakan bahwa otonomi daerah dan desentralisasi di
Indonesia antara lain membuat akumulasi modal di daerah, baik modal swasta
dalam bentuk investasi maupun modal pemerintah dalam bentuk anggaran daerah,
menjadi semakin besar (Hadiz, 2010; Aspinall, 2013: 226-242).
Sebagai tambahan
penjelasan, salah satu bentuk investasi swasta tersebut adalah hadirnya
industri koran lokal yang tidak hanya dimiliki oleh pengusaha daerah, tetapi
sebagian yang lebih besar merupakan cabang dari industri media di tingkat
nasional. Sementara itu, akumulasi modal dalam bentuk anggaran daerah yang
besar di antaranya digunakan oleh kepala daerah untuk membangun aliansi dan
relasi klientelis-patrimonial dengan koran-koran lokal.
Ketiga, pilkada yang merupakan buah dari kebijakan
desentralisasi menjadi penjelas yang paling baik bagaimana relasi
klientelis-patrimonial itu dibangun.
Kalau pemerintah daerah membutuhkan koran
lokal untuk beriklan dan berlangganan supaya popularitas sang kepala daerah
meningkat dengan dengan tujuan terpilih dalam kontestasi politik selanjutnya,
koran lokal memeroleh patronase dalam bentuk anggaran untuk iklan dan langganan
yang angkanya semakin membesar seiring dekatnya pilkada.
Penelitian ini juga
berargumen bahwa patronase dalam bentuk anggaran untuk koran lokal jelang
pilkada tersebut adalah sebentuk politik uang (money politics), menambah
variasi lain seperti pembelian suara (vote buying), pemberian barang untuk
pribadi dan kelompok, pelayanan dan aktivitas sosial, serta proyek gentong babi
(pork barrel) sebagaimana yang telah ditemukan banyak peneliti politik
(Aspinall dan Sukmajati, 2015; Aspinall dan As'ad, 2015; Aspinall, 2014a:
545-570; Aspinall, 2014b).
Keempat, industri koran lokal yang didasarkan pada relasi
klientelis tersebut menghasilkan pers atau pemberitaan yang berpihak kepada dan
berperspektif pemerintah daerah sebagai sang patron, mengabaikan kepentingan
publik yang lebih luas.
Peran negatif koran lokal di era kebebasan pers seperti
itu tidak terlalu mengejutkan, sebagaimana beberapa peneliti yang lain juga
menemukan hal yang sama (Eriyanto, 2003; Eriyanto, 2008: 203-232; Hill, 2008:
188-207; Hill, 2011: 26-48; Brauchler, 2011: 119-140).
Kelima, dilihat dari perbandingan sistem media sebagaimana
diteliti oleh Daniel C. Hallin dan Paolo Mancini, model yang dikembangkan oleh
koran-koran lokal di Jambi menyerupai model pluralis terpolarisasi (polarized
pluralist model) seperti yang berlaku di negara-negara Mediterania.
Model ini
dicirikan oleh iklim industri media dengan sirkulasi yang rendah, paralelisme
politik yang tinggi, lemahnya profesionalisme wartawan, dan kuatnya intervensi
negara (Hallin dan Mancini, 2004: 67). Di Indonesia, paralelisme politik tidak
dibentuk berdasarkan ideologi, karena ideologi nyaris absen sebagai basis
politik. Sebagai gantinya, uang sering kali lebih dominan dan menentukan dalam
persaingan politik.
Sejalan dengan itu, penelitian ini menemukan bahwa di era
otonomi daerah yang menggunakan sistem elektoral terbuka dalam pemilihan
pejabat publik melalui pilkada, paralelisme lebih didasarkan pada uang yang
dianggarkan oleh pemerintah daerah atau elite-elite politik serta mengalir ke
koran-koran lokal melalui iklan dan langganan. Anggaran itu pada gilirannya
membuat perspektif pemerintah hadir di dalam pemberitaan serta melemahkan
profesionalisme media.
Keenam, menggunakan tiga pintu masuk dalam analisis ekonomi
politik media sebagaimana diusulkan Vincent Mosco (2009), spasialisasi mengambil
bentuk baik integrasi vertikal maupun integrasi horizontal.
Kalau praktik
integrasi vertikal mewujud dalam pendirian banyak anak perusahaan koran,
terutama oleh Jawa Pos Group, dengan tujuan mengefektifkan produksi sekaligus
menguasai pasar koran daerah; integrasi horizontal dilakukan dengan membuka
berbagai bisnis lain oleh induk perusahaan media, seperti Kelompok Kompas
Gramedia yang membuka toko buku, hotel, dan percetakan. Pendirian koran lokal
oleh pebisnis-cum-politikus lokal juga bisa dibaca sebagai spasialisasi
horizontal yang diintegrasikan ke dalam politik untuk melayani ambisi
pemiliknya.
Sementara itu, komodifikasi terlihat jelas dari praktik
penggunaan berbagai kolom dan ruang berita koran lokal menjadi iklan-iklan yang
dijual kepada pemerintah daerah demi mengejar keuntungan yang besar.
Kepala
daerah sendiri kemudian juga mengkomodifikasi informasi pemerintahan dan
pembangunan sedemikian rupa menjadi iklan-iklan politik dengan tujuan kampanye
atau membuat citra positif kepala daerah untuk kepentingan pilkada.
Pada
gilirannya iklan dan anggaran pemerintah daerah yang berlimpah mengkomodifikasi
koran lokal sebagai corong kepentingan pemerintah; koran-koran seolah telah
menjadi humas pemerintah daerah yang menyiarkan segala kebaikan dan kesuksesan
pemerintah daerah.
Struktur relasi yang dibangun oleh pemerintah daerah dan
koran lokal, dengan demikian, adalah klientelisme-patrimonial yang didasarkan
pada uang atau anggaran. Kalau pemerintah daerah berlaku sebagai patron yang
mengalirkan anggaran untuk koran lokal, koran lokal menjadi klien yang
memberikan manfaat melalui iklan dan pemberitaan positif untuk kepala daerah.
M. Husnul Abid, "Perkembangan Industri Koran Lokal di
Jambi Pasca-Orde Baru, 1998-2015: Analisis Ekonomi Politik", MA-thesis di
Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 2016. Bagian ini diambil
dari Bab IX Penutup, hlm. 268-275. (*)
Sumber:http://jambistudies)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE