Musri Nauli (kanan) “Duo guru tambah duo jubah".......hmmm..."Seorang
guru akan bangga terhadap ilmunya hanya jika ia bisa melahirkan seorang
ksatria" Topan Prasetya Wibawa. IST FB
|
Jambipos Online-Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan
perkara No. 25/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya telah memutuskan kata “dapat”
didalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999/UU No. 20 tahun 2001
Tentang Tindak korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi).
Kata “dapat” didalam pasal 2
ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tema yang
paling menarik dan menyita para pemerhati anti korupsi. Baik dimulai dari
pembahasan UU ini maupun didalam berbagai permohonan di MK.
UU Tindak Korupsi merupakan salah satu UU yang “cukup laris
manis” diuji di MK bersama-sama dengan UU Pemilu, UU Ketenagakerjaan, UU
Advokat, KUHP, dan UU Pemerintahan Daerah.
UU Tindak Pidana korupsi “telah
diuji” baik dari norma, kewenangan maupun kewenangan mengadili. Bahkan MK
pernah menyatakan Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3
(tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan.
Putusan perkara No. 25/PUU-XIV/2016 menarik perhatian
setelah sebelumnya, MK didalam putusan No. 003/PUU-III/2006 telah
mempertimbangkan kata “dapat” didalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak
Pidana Korupsi.
Secara sekilas apabila perkara yang telah diputuskan oleh
MK, maka para pemohon kemudian dinyatakan Permohonan tidak dapat diterima (niet
Ontvan kelijk verklaard/NO).
Sehingga ketika MK kemudian memeriksa permohonan
terhadap pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak pidana Korupsi, 4 orang hakim
MK telah memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Dengan komposisi 9 orang hakim, 4 orang Hakim MK kemudian
menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) maka terhadap pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup
tajam.
Dalam catatan penulis, dissenting opinion oleh 4 orang
hakim di MK mengingatkan perbedaan mengenai hukuman mati dalam perkara putusan
MK Nomor 2-3/PUU-V/2007. Selain itu, tidak pernah adanya dissenting opinion
yang begitu tajam.
Sedangkan didalam Perkara No. No. 25/PUU-XIV/2016, para
pemohon tidak menggunakan alas uji didalam perkara ini yaitu pasal 28 D ayat
(1) Konstitusi namun menggunakan alas uji pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28 G ayat (1) dan pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) konstitusi.
Selain itu juga dengan hadirnya UU No. 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) membawa dampak
penting dengan makna “korupsi”.
“Kerugian Negara” akibat kesalahan administrasi
tidak dapat dikategorikan “korupsi. Sehingga proses memeriksa “kerugian Negara”
akibat kesalahan administrasi dilakukan di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan
Tata usaha Negara (Pasal 21 UU Administrasi Pemerintahan). Dengan demikian
hukum pidana kemudian dijadikan senjata pamungkas (ultimum remedium).
Dengan demikian maka berlandaskan kepada UU Administrasi
Pemerintahan, makna kata “dapat” sebagaimana didalam pasal 2 ayat (1) dan pasal
3 UU Tindak Pidana Korupsi menjadi bergeser.
Apabila sebelumnya didalam putusan MK Nomor
003/PUU-III/2006, makna “dapat” didalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak
Pidana Korupsi adalah perbuatan formal.
Merujuk kepada pasal 2 ayat (1) dan
pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, maka untuk membuktikan pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi langsung membuktikan setiap unsur didalam
pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi kemudian ditafsirkan sebagai
“conditionally constitutional dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Namun makna kata “dapat” didalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal
3 UU Tindak Pidana Korupsi kemudian menjadi bergeser. Dengan merujuk ketentuan
pasal 28 G ayat (1) Konstitusi dan Pasal 1 ayat (3) konstitusi, makna UU
Administrasi Pemerintahan kemudian diberi ruang untuk diterapkan didalam pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga semula didalam putusan MK Nomor 003/PUU-III/2006
yang menyebutkan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil kemudian
menjadi tindak pidana materiil.
Dengan demikian maka terhadap “tuduhan” korupsi haruslah
dapat dihitung jumlahnya. MK kemudian menyebutkan “actual loss”.
Putusan MK kemudian menjadi sinkron dengan UU No. 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Ratifikasi PBB Tentang Korupsi
(UNCAC). (Penulis Adalah Advokad dan Aktivis Lingkungan-Walhi)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE