Oleh Nurul Fahmy
Jambipos Online-Jika
koran-koran sudah tidak ada lagi, kemana karya sastra yang ditulis oleh para
pengarang itu akan ‘dilemparkan’?
Industri media cetak (surat kabar) belakangan semakin
‘lesu’, menuju senjakalanya, menyusul gelombang kehadiran media massa berbasis
internet (media online/daring).
Senjakala ini bukan isapan jempol. Bukan karena
gejalanya telah diakui oleh jurnalis senior, Bre Redana, dalam artikelnya yang
berjudul “Inikah Senjakala Kami” (Senjakala Media Cetak) setahun lalu (28
Desember 2015) di Kompas—‘pengakuan’ yang sempat memantik perdebatan, cibiran,
penentangan, hingga keputus-asaan dari berbagai pihak. Namun senjakala surat
kabar ini memang sudah dimulai dengan rontoknya sejumlah media massa besar di
Indonesia secara berturut-turut, setidaknya sejak 2010 lalu hingga kini.
Koran Tempo, meski tidak tutup, namun ‘ngos-ngosan’ juga
untuk tetap menerbitan koran itu pada hari Minggu. Alasannya, oplah Koran Tempo
edisi Minggu turun drastis diangka 60 ribu eksemplar, dari jumlah 80 ribu pada
hari biasa. Alhasil, edisi akhir pekan koran ini dipindahkan ke hari Sabtu.
Turunnya oplah Koran Tempo pada hari Minggu, edisi akhir pekan
yang menyediakan halaman sastra, mungkin dapat menjadi tesis baru bahwa peminat
sastra koran, untuk media massa sekelas Koran Tempo-pun menurun drastis, apatah
lagi oplah koran divisi II dan III, meminjam istilah umum Harian Jawa Pos,
untuk menyebut anak-anak perusahaannya.
Dalam halnya majalah sastra, “Horison”, yang bertahun-tahun
terbit dengan gagah perkasa, melegitimasi para sastrawan di Indonesia, kini
juga mengalihkan dirinya ke online.
Di Jambi, senjakala ini secara diam-diam
sudah mulai menghantui para pekerja di industri media cetak sejak dua tiga
tahun belakangan ini.
Sejumlah media cetak lokal yang bertahun-tahun berjaya,
mulai cucuk-cabut formasi, baik di jajaran redaksi, maupun di bagian manajemen.
Mencoba kalau-kalau masih ada peruntungan oleh sentuhan tangan dingin sejumlah
personal yang dianggap handal dan mampu membendung serbuan gelombang media
online. Meski (anehnya) di sisi lain masih ada satu dua ‘koran baru’ yang nekad
coba-coba menerbitkan diri.
Namun demikianlah, berdasarkan ramalan ahli nujum dan
pengamat media, kelak–meski pernyataan ini tetap saja dinafikan oleh serikat
penerbit surat kabar–koran akan benar-benar tiada. Akan menjadi kenangan
belaka. Tradisi baca koran di pagi hari, akan tinggal jadi cerita generasi
berikutnya saja.
Kemudian. Lantas. Jika koran-koran sudah tidak ada lagi,
kemana karya sastra itu akan dipublikasikan? Di sini, di Jambi, pertanyaan ini
mungkin sudah lama dikubur dalam benak kita, dan para penulis sastra-nya.
Pertama-tama karena sudah terlalu lama rasanya koran-koran
di Jambi ini tidak lagi menyediakan halaman sastra (budaya) yang representatif
dan berkualitas.
Bukan hanya karena soal untung-rugi, tapi seperti kata Putu
Fajar Arcana, sastrawan/redaktur sastra, laman sastra di koran itu (Harian Kompas)
tetap ada, karena adanya anak-anak ideologi yang bernama ‘kesadaran literasi’
di media tersebut.
Kesadaran literasi. Itulah yang sudah lama tidak dimiliki
oleh media-media massa di Jambi ini. Baik oleh media lama, maupun media baru.
Kesadaran literasi yang pernah tumbuh bertahun lalu di hampir sebagian besar
media massa cetak di Jambi ini, kini pupus, seiring dengan rontoknya anak-anak
ideologi itu di jajaran redaksi surat kabarnya, seperti kata Putu Fajar Arcana,
dalam diskusi “Senjakala Ruang Sastra di Media, pada Kamis 28 April 2016 lalu
di gedung OLVEH, Jakarta.
Jika koran-koran sudah tidak ada lagi, kemana karya sastra
itu akan dipublikasikan? Pertanyaan ini sangat penting diajukan, pertama karena
tradisi para penulis, baik senior, apalagi penulis pemula yang merasa baru
‘sah’ meng(di)anggap dirinya sebagai penulis, jika tulisannya telah dimuat di
surat kabar. Tradisi yang sudah dimulai puluhan tahun lalu, sejak Indonesia ini
masih bernama Hindia Belanda.
Tamsilnya sejak dulu, seolah-olah belum jadi penulis
seseorang, kalau karya tulisnya belum pernah dimuat di koran. Belumlah jadi
penyair seseorang, kalau puisinya belum nampang di koran. Legitimasi atau
‘kesadaran palsu’ itu masih tumbuh sampai kini.
Masih ada. Masih dapat kita lihat dengan mata kepala kita,
bagaimana seorang penulis memposting statusnya yang berisi potongan gambar
surat kabar yang memuat tulisannya di media sosial. Seolah menegaskan bahwa
koran masih lebih tinggi derajatnya, ketimbang media sosial tempat dia
memposting potongan gambar itu. Koran dianggap lebih legitimate.
Tapi, selain soal legitimasi, persoalan honorarium pasti
jadi pertimbangan dan dorongan para penulis koran mengirimkan karyanya hanya ke
surat kabar yang mau membayar honor tulisan mereka.
Sebab hingga kini, hanya koran dan majalah (sastra) yang
baru berani membayar ‘mahal’ sebuah esai, cerpen maupun puisi yang ditayangkan
di media mereka. Belum ada media dalam jaringan (online) yang mau membayar
mahal sebuah tulisan (karya sastra), ketimbang koran.
Memang, dulu sempat hadir beberapa pengelola media berbasis
internet yang memberikan sangu hati kepada para penulis yang karyanya dimuat
dalam portal mereka. Namun, media-media tersebut akhirnya tengkurap juga, entah
karena apa pastinya. Sehingga pada akhirnya kembalilah mereka ke koran.
Pertanyaan ini menjadi penting, karena, tiga, istilah
sastra koran dianggap telah baku, lebih keren, dibandingkan misalnya sastra
siber, apalagi sastra Facebook, Twitter dan jenis media sosial lainnya. Karya
sastra yang telah terbit di koran dianggap lebih berkualitas karena telah
melewati seleksi, kurasi dan proses lainnya oleh redaktur yang (biasanya) juga
seorang sastrawan.
Sastra koran dianggap berbeda dengan karya sastra yang
ditayangkan di media online, yang (mungkin) dianggap, tidak melewati seleksi oleh
rakdatur. Apalagi media sosial, yang sebuah tulisan kadang diproses dan
tayangkan dengan amat mudah; Kapan teringat, langsung ditulis dan ditayangkan
sendiri.
Para penulis yang keras kepala (konservatif) akan menjawab,
masih ada penerbit buku, sebagai wadah untuk mempublikasikan karya-karya
mereka.
Penerbitan dan buku konvensional, juga masih dianggap lebih tinggi
derajatnya dari e-book atau media-media maya lainnya. Namun, sama seperti
koran, buku-buku dimasa depan juga diprediksi akan habis dan tidak akan
dijumpai lagi. Mungkin sama halnya jika kini kita hendak mencari kaset di toko.
Buku sudah beralih dalam format digital.
Lantas. Kemudian. Kemana karya-karya sastra itu akan
dilempar jika koran dan penerbitan buku sudah tidak lagi? Ini jelas hanya soal
persepsi para ‘penulis lawas’ penulis dengan pakem lama, dan keberanian mereka
untuk lepas dari tradisi lama, untuk memulai tradisi baru. Tulisan ini
merupakan salah satu bahan diskusi (Dialog Sastra) di Kantor Bahasa Provinsi
Jambi, 13 Desember 2016 lalu.
(Penulis Adalah Penggiat Sastra dan Pimred Inilahjambi.com)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE