Warga Suku Anak Dalam
(SAD) saat melakukan panen padi ladang di Kabupaten Batanghari 2 Januari 2011 lalu.
Sebagian warga SAD sudah mau bercocok tanam di wilayah mereka tinggal. Dok
Asenk Lee Saragih.
|
Warga Suku Anak Dalam (SAD) saat melakukan panen padi ladang di Kabupaten Batanghari 2 Januari 2011 lalu. Sebagian warga SAD sudah mau bercocok tanam di wilayah mereka tinggal. Dok Asenk Lee Saragih. |
Jambipos
Online-Keberadaan permukiman yang nomadem di hutan Jambi bagi masyarakat Suku
Anak Dalam (SAD) atau biasa disebut Orang Rimba di Jambi kini semakin tersita
oleh lahan perkebunan. Permukiman Orang Rimba yang dulunya terpusat di Bukit
Dua Belas juga semakin sempit seiring Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 258/Kpts-II/2000, yang merubah fungsi kawasan Hutan Produksi,
Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Biosfer menjadi Taman Nasional Bukit
Duabelas yang kemudian disingkat TNBD dengan luas 60.500 hektar.
Dengan kata lain,
terjadi perebutan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam. Tahun 2017 ini genap
wilayah Bukit 12 memasuki umurnya yang ke-17 tahun menjadi Taman Nasional. Luasan
tersebut membentang di wilayah pertemuan tiga kabupaten dalam Provinsi Jambi
yaitu Kabupaten Batanghari (65%), Kabupaten Sarolangun (15%), dan Kabupaten
Tebo (20%).
Jauh sebelum Bukit 12
menjadi Taman Nasional, persisnya ditahun 1984 kawasan ini sudah ditetapkan
sebagai tempat pengembaraan Orang Rimba melalui legitimasi RTRW Provinsi Jambi
seluas 28.000 hektar.
Berikut ini tulisan dari
Willy Marlupi, Pemerhati Suku Anak Dalam Bukit 12 yang berkiprah selama 15
tahun melakukan pendampingan kepada Orang Rimba dan juga salah satu Pendiri
Sokola Rimba bersama Butet (Marsaulina) Manurung.
Polemik dua kali bentrokan
serius antara Orang Rimba dengan masyarakat setempat di Jambi menjadi pelajaran
berharga bagi pemangku kebijakan. Bentrok pertama, Kelompok Bujang Kabut dengan
beberapa masyarakat desa di Kecamatan Tebo Ulu. Bentrok kedua, Kelompok Makekal
Hilir dengan masyarakat desa di Kecamatan Muara Tabir.
Bila ditarik ke
belakang dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, entah sudah berapa banyak
catatan polemik yang terkait dengan Orang Rimba. Kerap kali dipicu
masalah-masalah sepele. Misalnya Orang Rimba dituduh mencuri petai atau
buah-buahan hingga bentrokan berdarah menyebabkan kematian.
Dengan kata lain,
terjadi perebutan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam. Tahun 2017 ini genap
wilayah Bukit 12 memasuki umurnya yang ke-17 tahun menjadi Taman Nasional. Hal
ini disesuaikan dengan keluarnya keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 258/Kpts-II/2000, yang merubah fungsi kawasan Hutan Produksi, Suaka Alam,
Pelestarian Alam dan Cagar Biosfer menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas yang
kemudian disingkat TNBD dengan luas 60.500 hektar.
Luasan tersebut
membentang di wilayah pertemuan tiga kabupaten dalam Provinsi Jambi yaitu
Kabupaten Batanghari (65%), Kabupaten Sarolangun (15%), dan Kabupaten Tebo
(20%). Jauh sebelum Bukit 12 menjadi Taman Nasional, persisnya ditahun 1984
kawasan ini sudah ditetapkan sebagai tempat pengembaraan Orang Rimba melalui
legitimasi RTRW Provinsi Jambi seluas 28.000 hektar.
Wilayah Bukit 12
memang sejak lama dimanfaatkan Orang Rimba yang secara kultur hidup melalui
berladang, berburu dan mencari hasil hutan non kayu. Kultur tersebut masih berlangsung
hingga dengan kini walau sebagian besarnya sudah hidup ditengah kebun yang
mereka bangun sendiri.
Walau sudah punya
rumah semi permanen, mengenal handphone, kendaraan, genset, televisi, parabola
bahkan komputer. Bagi mereka yang belum beragama (seperti yang diatur
pemerintah) rata-rata masih menjalankan tradisi lama khususnya dalam konteks
keadatan hingga untuk pengembangan investasi masing-masing keluarga.
Singkat kata,
berladang, memanfaatkan hasil hutan dan berburu adalah nadi kehidupan mereka.
Sejak perubahan status wilayah Bukit 12 menjadi Taman Nasional seperti tak ada
yang mau bicara dampaknya terhadap Orang Rimba. Bicara ini seolah-olah tabu.
Dianggap anti lingkungan, anti konservasi, tidak seksi dan tak ada duitnya.
Di sisi lain pelaku konservasi
hanya memilih romantisme ‘kekunoan Orang Rimba’ dengan propaganda dan kampanye
tak kenal henti. Doktrin bahwa ‘hutan adalah segalanya’, ‘Konservasi bersama
masyarakat’ memaksa Orang Rimba seolah anti terhadap perubahan.
Padahal, tahun kelima
Bukit 12 diperluas jadi Taman Nasional Orang Rimba Bukit 12 sudah melapor ke
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan DPR-RI tentang kacaunya implementasi dan
kebijakan TNBD terhadap kehidupan mereka. Tentang pelarangan berburu dan
berladang, tentang polisi hutan yang menebangi pohon-pohon karet mereka dengan
dalih reboisasi dan perintah undang-undang.
Orang Rimba juga
protes rencana pengelolaan TNBD yang sudah disahkan. Karena proses pembuatannya
dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan mereka sejak awal. Rencana
pengelolaan tersebut juga dinilai akan mengancam masa depan mereka, karena TNBD
sebahagian besarnya dipenuhi oleh zona Inti dan zona Rimba yang secara prinsip
tidak membenarkan kegiatan ekploitatif, Pun adanya rencana Orang Rimba yang
didorong ke zona pemanfaatan yang porsinya sangat kecil di pinggir Taman
Nasional.
Dan perlu dicatat
bahwa hampir di semua sisi Bukit 12, baik sebelum dan sesudah menjadi Taman
Nasional, telah dimanfaatkan oleh Orang Rimba, masing-masing kelompok punya
wilayah kelolanya sendiri. Kita orang luar mungkin menyebut istilah itu dengan
kampung/dusun.
Kampung-kampung Orang
Rimba Bukit 12 itu bernama Makekal Hulu dan Hilir, Air Hitam, Kejasung Besar,
Kejasung Kecil, Terab, Sungkai, Bernai, dan sebagainya. Dari masing-masing
kampung itu terbagi lagi dalam satuan kecil yang mereka sebut dengan ‘Rombong’
atau mirip dengan Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) bagi kita Orang
Luar.
Selain protes dan
mendesak rencana pengelolaan TNBD untuk direvisi. Orang Rimba Bukit 12 berharap
rencana pengelolaan tersebut disesuaikan dengan kearifannya dalam memandang dan
memaknai hutan, mereka sudah punya sistem dan aturan adat untuk itu.
Namun sampai sekarang
rencana pengelolaan TNBD sepertinya tak tuntas direvisi, sehingga Orang Rimba
masih di bawah bayang-bayang ancaman Taman Nasional. Memilih Ke Luar Bukit 12
Sepuluh Ketumenggungan Orang Rimba kini hidup di luar “rumahnya” Bukit 12.
Ada yang terpaksa
hidup di pinggir-pinggir desa, di sepanjang jalan lintas, dan areal perkebunan
perusahaan. Ada yang mengemis di jalan raya, meminta sampai ke pusat kota.
Bahkan sampai “memalak” kendaraaan yang lewat dengan berbagai alasan.
Orang Rimba yang
dikenal dengan kearifannya seolah-olah memudar. Resistensi pun muncul. Mereka
acapkali bentrok dengan masyarakat desa dan sering menjadi korban gara-gara
berhadapan dengan masyarakat yang lebih dominan.
Pelaku usaha yang
tempatnya diduduki orang rimba menjadi serba salah karena mereka dianggap
sesuatu yang punya ‘imunitas’ dan sangat sensitif. Adalah Tumenggung Ngamal dan
Ngirang. Kelompok ini sebelumnya hidup di daerah Kejasung Kecil, Bukit 12,
Kabupaten Batanghari – secara geografis berada di wilayah utara perluasan TNBD
pada 2000.
Mereka sudah tahunan pindah
hingga kini menetap ke areal perkebunan HTI milik perusahaan di Kabupaten
Batang Hari dan Tebo. “Kami ke sini mencari buah semangkuk dan berburu
trenggiling, Kami ke luar Bukit 12 karena wilayah itu sudah jadi hutan lindung
taman nasional. Kami tak bisa mengeluarkan hasil hutan ataupun hasil kebun,
padahal kebun-kebun karet kami sudah ada yang bisa dipotong (diproduksi),” kata
Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Ngirang.
Kemudian Tumenggung
Lidah Pembangun. Kelompok ini masih satu kerabat dengan Kelompok Tumenggung
Ngamal dan Tumenggung Ngirang. Mereka sudah tiga tahun meninggalkan Kejasung
Kecil Bukit 12 lantas memilih tinggal di areal kerja perusahaan HTIyang juga
menjadi areal pemanfaatan Desa Muaro Killis, Lubuk Mandrasah dan Desa Suo-Suo,
Kabupaten Tebo.
Pola hidupnya sama.
Mencari hasil hutan non kayu dan belum begitu terbuka dengan dunia luar. Selama
tinggal disini sudah berkali-kali mereka berbenturan dengan masyarakat desa
soal pemanfaatan lahan dan pengguna jalan.
Selanjutnya adalah
Tumenggung Hasan, Buyung dan Bujang Kabut. Ketiga kelompok ini masih berkerabat
dengan Kelompok Tumenggung Tupang yang pemanfaatan lahannya satu hamparan
dengan Kelompok Tumenggung Lidah Pembangun. Tiga tahun terakhir mereka hidup di
wilayah hulu Sumai atau di areal HTI perusahaan dan sekitar Taman Nasional
Bukit 30, Kabupaten Tebo.
Agustus 2014 lalu,
Kelompok Bujang Kabut menjadi perhatian rekan-rekan media karena insiden
bentrokan antara mereka dengan beberapa masyarakat desa di Kecamatan Tebo Ulu.
Penyebab utamanya lagi-lagi pemanfaatan lahan dan sumberdaya.
Hubungan kekerabatan
kelompok ini dengan Orang Rimba Bukit 12 terjalin dari perkawinan atau yang
biasa mereka sebut dengan istilah ‘semendo-menyemendo’. Kelompok Tumenggung
Hasan dan Kelompok Tumenggung Buyung adalah semendonya kelompok Orang Rimba Air
Hitam Bukit 12, Kabupaten Sarolangun.
Begitu juga dengan
kelompok Cukai yang cukup lama tinggal di Semerantihan-Talang Mamak. Sekarang
beliau juga bersemendo dengan Orang Rimba Air Hitam Bukit 12. Biasanya ketika
ada hubungan semendo-menyemendo seperti ini interaksi antar kelompok akan
semakin menguat.
Kemudian kelompok
Tumenggung Majid. Kelompok ini juga di wilayah Air Hitam, Bukit 12, Kabupaten
Sarolangun. Persisnya di pinggir desa Pematang Kabau yang secara geografis
berada di selatan TNBD. Kelompok ini sudah cukup lama tinggal di pinggir desa
dan pernah beberapa kali menerima proyek perumahan melalui Departemen Sosial.
Seperti biasanya
proyek perumahan Depsos rata-rata menggunakan metode ‘eksitu’, atau terpaksa
dibangun diluar wilayah pemanfaatan komunitas dengan alasan legalitas, mudah
diakses, tapi sayang berkali-kali proyek ini terkesan gagal dan ditinggalkan
Orang Rimba.
Kelompok Majid adalah
kekerabatan kelompok Tumenggung Jelitai Kejasung Besar, kelompok ini pernah
mengalami benturan serius dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan
Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (BTNBD) akibat dari implementasi program
dan ketentuan TNBD, yang akhirnya membawa kelompok ini, kelompok Makekal dan
kelompok Kejasung Besar, melaporkan kasus-kasus tersebut kepada Komnas HAM dan
DPR-RI di Jakarta, sembilan tahun lalu.
Kemudian kelompok
Tumenggung Ngadap. Kelompok ini sekarang terpaksa berada di daerah Sungkai atau
di pinggir desa Tanah Garo, Kabupaten Tebo yang juga masuk ke dalam Perluasan
TNBD tahun 2000. Secara geografis kelompok ini berada di wilayah bagian utara,
TNBD.
Selain Ngadap, di
wilayah ini ada kelompok Depati Laman Senjo, Depati Bepak Ngarap dan kelompok
Ngukir-Mantan Tumenggung Makekal Hilir. Beberapa kelompok disini diketahui
berkonflik dengan masyarakat desa sekitarnya terkait pemanfaatan lahan dan
sumberdaya, juga dengan perusahaan yang kini sedang membangun perkebunan sawit
di wilayah tersebut.
Sebagian besar Orang
Rimba di wilayah ini sudah lama menikmati sumber ekonomi utama dari hasil
perkebunan karet yang mereka tanam sendiri. Boleh dibilang kelompok di daerah
inilah yang paling dulu mengenal budidaya karet, bahkan di kelompok Depati
Bepak Ngarap, Mendiang Wakil Tuha, ada karet tua yang sudah berumur lebih dari
delapan puluh tahun.
Secara akses ke
kelompok ini dulunya hanya melalui desa Tanah Garo dan desa Tambun Arang dengan
menyusuri sungai Bernai dan sungai Makekal, sejak adanya transmigrasi di tahun
1980-an akses ke wilayah ini lebih dekat dari desa Sungai Jernih atau Trans SPA
Tanah Garo.
Selanjutnya kita lihat
Kelompok Tumenggung Celitai. Wilayah Makekal tengah dan hulu Bukit 12 adalah
dalam kepemimpinan tumenggung ini. Daerah ini berbatasan langsung dengan
pemanfaatan lahan masyarakat desa Rantau Limau Manis dan desa Rantau Panjang
sekitarnya, dan secara geografis berada di posisi barat bagian utara TNBD yang
masuk dalam perluasan taman nasional pada tahun 2000.
Makekal hulu dan
tengah adalah wilayah yang paling dipadat oleh populasi Orang Rimba, jika kita
lihat secara administratif wilayah ini adalah wilayah pertemuan 3 kabupaten :
Tebo, Batang Hari dan Sarolangun.
Kelompok disini sudah
lama mengeluh tidak adanya perbaikan jalan yang sudah lama rusak parah,
dampaknya tentu saja membuat upah angkut getah karet melonjak tajam dan
sirkulasinya menjadi terhambat. Bayangkan, upah angkut untuk satu pikul getah
karet disini mencapai 200 ribu rupiah, atau senilai dengan 2000 rupiah
perkilogramnya.
Situasi ini sempat
beberapa kali mereka sampaikan kepada Bupati untuk ditindaklanjuti namun sampai
detik ini tak jua terealisasi karena rute jalan tersebut masuk dalam perluasan
taman nasional ditahun 2000. Artinya mau tidak mau, suka tidak suka, Orang Rimba
di wilayah ini harus keluarkan upah mahal agar karet mereka sampai ke desa dan
bisa terjual, atau memilih alternatif lain yaitu menjual kepada toke besar yang
ada diwilayah itu dengan harga yang murah.
Padahal jika
dikalkulasi getah karet orang Rimba Makekal ini produksinya bisa mencapai
ratusan ton perbulan, dan bisa terus bertambah sejalan dengan produksinya
kebun-kebun karet mereka yang baru. Berikutnya adalah, Tumenggung Maritua dan
Tumenggung Nyenong.
Dua kelompok ini
berasal dari wilayah Terap Bukit 12, Kabupaten Batang Hari yang secara
geografis berada diposisi timur utara TNBD. Yang mana wilayah ini juga masuk
dalam perluasan TNBD ditahun 2000. Kelompok ini dalam beberapa tahun terakhir
berada di lahan HTI yang berbatasan dengan Kabupaten Sarolangun.
Belum memiliki sumber
ekonomi tetap karena belum ada kebun karet atau kebun lainnya yang sudah
menghasilkan, pola hidup hampir sama dengan kelompok Tumenggung Ngamal, Ngirang
dan Tumenggung Lidah Pembangun, masih mencari hasil hutan non kayu dan berburu
untuk kebutuhan konsumsi hingga ekonomi kelompoknya.
Masih jarang diakses
pemerintah karena karena persoalan jarak dan akses rusak parah, rentan dan
mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu khususnya dalam pemanfaatan lahan
dan sumberdaya.
Kemudian ada kelompok
Tumenggung Meladang yang tinggal dihulu Kejasung Besar dan hulu sungai Telentam
Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Secara administrasi berada disisi selatan TNBD
yang berbatasan dengan wilayah pemanfaatan masyarakat desa kecamatan Air Hitam.
Pola hidup kurang
lebih sama dengan kelompok Tumenggung Maritua, Ngamal dan Ngirang, yang masih
bergantung dari hasil hutan non kayu karena belum memiliki kebun-kebun yang
menghasilkan sebagai sumber ekonomi tetapnya, kerap tinggal dikebun-kebun
masyarakat desa sekitarnya baik untuk kepentingan berburu dan mencari hasil
hutan non kayu.
Kemudian adalah
kelompok Tumenggung Jelitai. Kelompok ini berasal dari daerah Kejasung besar
Bukit 12 Kab. Batang Hari yang secara geografis berada di wilayah utara TNBD
dan masuk perluasan TNBD di tahun 2000. Seperti yang sudah disampaikan diatas
kelompok Jelitai masih kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Majid di Air
Hitam dan beberapa kelompok Orang Rimba Makekal.
Empat tahun terakhir
kelompok ini mendapat proyek 50 unit rumah yang dilakukan oleh Departemen
Sosial. Tapi tak lama kemudian sudah ditinggalkan karena dibangun di wilayah
desa Padang Kelapo yang jauh dari Kejasung Besar dan bukan wilayah pemanfaatan
mereka.
Sekarang kelompok ini
intens di desa Sungai Rengas yaitu salah satu pusat kecamatan di Kabupaten
Batanghari. Disana mereka ada Posko dan membentuk organisasi sendiri, mungkin
dengan begitu mereka merasa mandiri melakukan apa yang mereka perjuangkan.
Jauh sebelum menerima
program perumahan dan membentuk organisasi sendiri tentu saja mereka hidup dan
berkembang di wilayah Kejasung Besar Bukit 12,dan diwilayah itu sudah banyak
kebun karet mereka yang menghasilkan.
Namun karena buntunya
akses diwilayah tersebut terpaksa memilih hidup di luar wilayahnya dengan
bekerja kasar atau serabutan. Komitmen Taman Nasional Sebelum dan pada tahun
2000 adalah fase yang sangat penting bagi Orang Rimba Bukit 12 karena saat ini
sedang gencar-gencarnya kawan-kawan NGO mendorong perluasan bukit 12 dan mendesak
pencabutan perizinan beberapa perusahaan disisi utara Bukit 12, atau yang kini
menjadi TNBD.
Orang Rimba yang saat
itu tidak tahu apa-apa kerap dibawa berkampanye dan dihujani janji yang maha
dahsyat, bahwa taman nasional akan menjamin kehidupan mereka, taman nasional
untuk orang rimba, taman nasional akan menghentikan ekspansi perusahaan yang
dapat mengancam kehidupan dan masa depan mereka.
Orang Rimba mendadak
terkenal karena seringnya muncul di media cetak dan elektronik, terlibat
kampanye besar-besaran memohon kepada Tuhan dan pemerintah supaya tujuan mereka
tercapai : HTI dan Perkebunan sawit harus dihentikan!
Tak ada cara lain,
hanya dengan begitu Orang Rimba Bukit 12 bisa hidup aman dan nyaman, damai dan
sejahtera, Titik! Hasil gerakan tersebut sangat luar biasa, semua perizinan
usaha apakah itu untuk HTI dan perkebunan sawit akhirnya dihentikan dan dicabut
dan kemudian berganti status dengan perluasan taman nasional, benar-benar
fantastis!
Tuhan dan Pemerintah
mengabulkan Doa Orang Rimba, kawasan Bukit 12 pun bertambah lebih dari 100%,
sebelumnya 28.000 kini menjadi 60.500 hektar, Amin ! Itu gambaran kisah 15
tahun yang lalu, benar-benar manis, sangat indah dan tentu saja menyenangkan.
Kini, apakah satu
persatu mimpi Orang Rimba itu sudah terpenuhi? Apakah Orang Rimba sudah merasa
aman dan nyaman, Damai dan Sejahtera?
Berdasarkan laporan
akhir pemantauan dugaan pelanggaran hak masyarakat adat Orang Rimba yang
dilakukan oleh Komnas HAM pada tahun 2007. Diketahui bahwa ada dua belas
pelanggaran hak akibat dari kebijakan penetapan dan perluasan serta Rencana
Pengelolaan TNBD.
Pertama, Hak Kelompok
khusus, Pemerintah dianggap secara umum belum memberikan perlakukan dan
perlindungan lebih terhadap Orang Rimba sebagai kelompok khusus dalam kebijakan
pembangunan.
Kedua, Hak terhadap
tanah ulayat, Dimana ada upaya dari kebijakan TNBD mengurangi dan atau tidak
mengakui hak ulayat orang rimba. Ketiga, Hak hidup secara bemartabat, Dimana
telah terjadi pembatasan, pengurangan, dan pelarangan terhadap aktivitas
kehidupan Orang Rimba sebagai akibat kebijakan TNBD.
Keempat dan kelima,
Hak atas kesehatan dan pendidikan, dimana pemerintah tidak menyediakan sarana
dan prasarana yang layak, mampu diakses, dan dapat diterima orang rimba.
Keenam, Hak atas informasi, dimana pemerintah tidak memberikan dan menyediakan
nformasi yang cukup, adil, dan transparan dalam kebijakan TNBD secara umum.
Ketujuh, Hak atas
pengembangan diri, dimana program pemerintah untuk memukimkan orang rimba di
desa telah menyebabkan kehidupan orang rimba tidak berkembang, bahkan
sebaliknya menyebabkan pengembangan diri orang rimba terhambat.
Kedelapan, Hak atas
rasa aman, dimana telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, dimana telah
terjadi ancaman dan pelarangan aktivitas hidup orang rimba, perusakan hak milik
yang menyebabkan ketenangan hidup orang rimba terusik dan terganggu.
Kesembilan, Hak atas
kepemilikan, dimana telah terjadi perusakan dan pemusnahan atas hak milik orang
rimba, maupun upaya dari kebijakan taman nasional yang berpotensi menghambat,
membatasi, dan mengurangi hak milik orang rimba.
Kesepuluh, Hak untuk
berpartisipasi, dimana pemerintah tidak membuka dan tidak mengajak partisipasi
orang rimba dalam perencanaaan, perumusan, dan implementasi kebijakan taman
nasional, khususnya atas penyusunan buku rencana pengelolaan taman nasional.
Kesebelas, Hak atas
status kewarganegaraan, dimana pemerintah tidak memberikan hak berupa akta
kelahiran bagi setiap anak orang rimba yang lahir sebagai bagian dari
perlindungan dan pengakuan atas keberadaan orang rimba.
Keduabelas, Hak atas
lingkungan hidup, dimana lingkungan alam sebagai habitat hidup dan sumberdaya
penghidupan orang rimba telah rusak, di antaranya oleh kebijakan hak
pengusahaan hutan dan ekspansi perkebunan sawit.
Begitulah nasib Orang
Rimba Bukit 12, rumah sedemikian besar (60.500 hektar) yang katanya untuk
mereka, untuk penghidupan mereka, untuk kedamaian dan kesejahtraan mereka,
ternyata belum sesungguhnya menyentuh mimpi Aman, Nyaman, Damai dan Sejahtera.
Mereka tak merasa
berdaulat di wilayah yang katanya untuk mereka itu, merasa asing dan akhirnya
memilih hidup dipinggir-pinggiran desa-menjadi pengemis, ke
kabupaten-kota-menjadi pengemis, hingga menjadi ‘pemalak’ di areal-areal kerja
perusahaan, bentrok dengan masyarakat desa hampir setiap saat menjadi headline
media massa, Menyedihkan dan berbanding tebalik dari apa mereka impikan semula.
Sedang LSM yang
mendorong perluasan Bukit 12 menjadi taman nasional kini hidup dengan
kemewahan, nama besar dan eksistensi, dengan mudahnya melemparkan kondisi
kekinian Orang Rimba Bukit 12 sebagai tanggung jawab negara.
Orang Rimba hanya
dijadikan ikon untuk mencapai kepentingan konservasi saja, ketika itu tercapai
kemudian mencari target-target baru untuk dikonservasi lagi, mainkan isu lagi,
jualan lagi, begitulah seterusnya. Mereka hampir dipastikan gagal mengurusi
dampak yang timbul akibat dari kepentingan konservasi itu sendiri yang justru
melahirkan banyak pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat adat Orang Rimba
Bukit 12.
Andai pemerintah
serius memperhatikan Orang Rimba sebagai Masyarakat Hukum Adat sejatinya
laporan KomnasHAM adalah dasar evaluasi bahwa ada hal-hal yang harus dibenahi
untuk Bukit 12 yang kini sudah 17 tahun menjadi Taman Nasional.
Tak ada kata-kata
terlambat jika ada kemauan dan kepedulian terhadap Orang Rimba yang kini
semakin tebal di bawah bayang-bayang ancaman. Agar tidak ada lagi pertanyaan,
sesungguhnya siapa yang menarik untung dari Orang Rimba dan perluasan Taman
Nasional Bukit 12. (Refleksi 15 tahun
bersama Orang Rimba. (Penulis Pemerhati Suku Anak Dalam Bukit 12)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE