FOTO ILUSTRASI-FB |
Oleh: Musri Nauli
Jambipos Online-Diibaratkan pertandingan marathon yang
memerlukan reli yang panjang maka dibutuhkan stamina yang matang. Tidak cukup
start dengan teriakan yang lantang namun kemudian diloyo di akhir finish. Atau
bahkan tidak dapat mencapai finish. Demikianlah kita membaca kasus Patrialis
Akbar.
Dengan mengucapkan kalimat sakti “Demi allah…”, PA berujar
bersumpah tidak menerima sepeser rupiahpun dari Basuki. Dan kemudian diamini
oleh Basuki Hariman. (BH) Keduanya kemudian terlibat dalam “tuduhan” cukup
serius dari KPK sebagai “suap”. PA dituduh menerima suap sedangkan BH kemudian
disebutkan “memberi suap”.
Dalam pembicaraan masyarakat berbagai polemic kemudian
mengemuka. Banyak yang masih keliru mengenai korupsi. Sebagian masih
berpendapat, unsur “korupsi” adalah adanya kerugian Negara. Kedua. Setiap OTT
memerlukan adanya barang bukti “uang yang dituduh diterima”. Ketiga. Rangkaian
menerima suap.
Masih banyak kekeliruan dan pemahaman di tengah masyarakat
yang menempatkan “korupsi” semata-mata cuma adanya unsur “kerugian negara’.
Padahal, suap dikategorikan sebagai “korupsi sebagaimana
konvensi PBB tahun 2003. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia
berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April
2006.
Didalam UU No. 31 Tahun 1999/UU No. 20 Tahun 2001, kategori
suap dapat dilihat dari Pasal 5 hingga pasal 12. Makna ini merupakan ancaman
tertinggi dari unsur-unsur pasal-pasal 418 – Pasal 425 KUHP. Dengan demikian
sebelum diatur didalam UU Korupsi, tindak pidana suap dikenal didalam KUHP.
Dengan demikian, maka terhadap penyelenggara Negara ataupun penegak hukum tidak
dibenarkan menerima suap.
Makna ini kemudian berdasarkan pasal 6 UU ayat (2) No. 21
Tahun 2001 kemudian menegaskan, unsur-unsur pasal didalam tindak pidana korupsi
tidak merujuk kepada unsur-unsur terhadap pasal 5 – Pasal 12 KUHP. Makna ini
kemudian dikenal sebagai asas “Lex specialis derogate lex generalis”.
Dengan
demikian, maka tindak pidana suap tidak dibenarkan baik didalam hukum nasional
sebagaimana diatur didalam KUHP dan kemudian dipertegas didalam UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Dengan demikian apabila bentuk korupsi baik dimulai dari
“perbuatan melawan hukum .. merugikan keuangan Negara, memperkaya diri sendiri,
“penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri sendiri/orang lain, merugikan
keuangan Negara”, dan “suap”. Sehingga kekelliruan terhadap “suap” yang
disebutkan “tidak merugikan keuangan Negara” adalah bentuk “kesesatan
(mistake)” yang harus diluruskan. Dari ranah ini, maka kemudian kita bisa menempatkan
“suap” sebagai tindak pidana korupsi.
Selanjutnya. Adanya tuduhan Setiap OTT memerlukan adanya
barang bukti “uang yang dituduh diterima”. Ini salah satu tema yang menarik
untuk dikaji.
Mengenai “uang diterima”. Uang diterima adalah barang
bukti. Bukan alat bukti. Didalam KUHAP, barang bukti tidak merupakan keharusan
didalam hukum acara pidana.
Walaupun tindak pidana korupsi telah diatur didalam
UU Khusus (Lex specialis derogate lex generalis), namun hukum acara tindak
pidana korupsi tidak diatur didalam UU No. 31 Tahun 1999. Maka berkaitan dengan
hukum acara masih tunduk kepada KUHAP. Didalam KUHAP menyebutkan definisi
“barang bukti” dan alat bukti.
Mencampur-adukkan istilah “barang bukti”, “alat bukti” dan
pembuktian didalam lapangan hukum acara pidana menyesatkan. Istilah barang bukti disebutkan yaitu “alat yang dipakai
melakukan tindak pidana” maupun “hasil tindak pidana”.
Berbagai yurisprudensi kemudian menyebutkan Untuk menjadi
barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu
disebut dalam surat tuduhan. Barang bukti harus diperlihatkan kepada saksi juga
terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenai benda itu.
Tentunya juga diperlihatkan bukti diam (silent evidence)
seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti. Alasan yang
disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan.
Berbeda dengan alat bukti. Didalam praktek hukum acara
pidana, pasal 184 KUHAP menegaskan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
“alat bukti”. Alat bukti itu terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa.
Pasal 184 KUHAP yang menegaskan “alat bukti” adalah sebagai
alat untuk melihat apakah telah terbukti melakukan tindak pidana atau tidak.
Bahkan sebagai bahan bagi hakim untuk menentukan kesalahan atau tidak terhadap
pelaku.
Didalam pasal 183 KUHAP secara tegas dinyatakan, bahwa hakim harus
memutuskan berdasarkan kepada dua alat bukti yang sah. Begitu pula putusan,
harus menjelaskan putusan itu dijatuhkan yang berdasarkan alat bukti yang sah.
Lalu, bagaimana dengan kekuatan “barang bukti”. Dalam
praktek pidana, barang bukti mempunyai kekuatan pembuktian apabila telah
diterangkan para saksi, ahli dan surat, keterangan tersangka yang menerangkan
tentang barang bukti tersebut. “barang bukti” tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat apabila tidak ada saksi, ahli, atau surat atau keterangan
tersangka yang menerangkan tentang “barang bukti” tersebut. Didalam KUHAP,
mencantumkan “barang bukti dapat dihadirkan… “
Dan hakim berwenang untuk tidak usah mendengar semua saksi
apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan
telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa.
Namun yang
harus Penasehat Hukum perhatikan tentang barang bukti yang dihadirkan oleh
Jaksa penuntut umum ditentukan haruslah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Dengan melihat kekuatan “barang bukti” dibandingkan dengan
“alat bukti”, maka tentu saja KPK ketika melakukan operasi OTT terhadap PA dan
BH tidak sertamerta mendasarkan “barang bukti” uang yang “diakui tidak diterima
oleh PA”.
Berbagai penyadapan maupun berbagai rangkaian kemudian bermuara
kepada PA. Teknik penyidikan secara sekilas sempat disampaikan oleh KPK didalam
konferensi persnya dan dibuktikan di persidangan.
Ketiga. Rangkaian menerima suap. Tema yang cukup menarik
adalah “apakah PA” telah menerima suap dari BH ”tanpa adanya “barang bukti”.
Ada scenario menarik apabila dilihat dari kalimat sakti
“Demi allah.. “ dari PA dan pernyataan dari BH yang tidak mengetahui apakah
uang yang diberikannya kepada Kamaluddin (K) telah diberikan kepada PA.
Skenario pertama adalah “pengakuan PA” yang tidak pernah
menerima “sesuatu” dari BH sudah terkonfirmasi baik dari pengakuan PA maupun
dari pernyataan BH.
Namun yang dilupakan adalah keterangan dari K. Melihat
rangkaian (baik pengakuan PA dan BH ketika pertemuan “tidak pernah membicarakan
uang”), maka KPK sudah mengetahui alur komunikasi antara PA, BH dan K. Hubungan
langsung antara PA dengan BH belum diketahui secara langsung.
Sehingga alur
perjalanan “uang” dari BH ke K dan PA (walaupun PA dan BH tidak berkomunikasi langsung
dengan alur perjalanan uang) merupakan peristiwa yang menarik dan dapat kita
lihat nanti waktu persidangan. Ini adalah “modus” baru terhadap “pengingkaran”
para tersangka dari kasus korupsi.
Lalu apa kepentingan BH “memberikan uang” kepada K apabila
tidak berkaitan dengan bisnisnya yang terganggu berdasarkan kepentingan
pengujian UU. Sehingga pernyataan BH yang tidak “memberikan uang” kepada PA
sama sekali tidak sesuai dengan “pemberian uang” kepada K.
Dan ingat. Uang diberikannya tidak sedikit. Bahkan didalam
Konpres, KPK sudah mensinyalir “pemberian ketiga”.
Sehingga kalimat “PA tidak pernah menerima uang dari BH”
tidak bisa diartikan secara grammatical. Bukan “essensi”. Dari praktek hukum
pidana, pernyataan ini dapat diartikan, “walaupun PA tidak menerima sepeser
rupiahpun dari Basuki”, namun “PA menerima “sesuatu” dari K”. K menerima dari
BH’. Sehingga redaksi kalimatnya menjadi tepat “PA menerima sesuatu dari BH
“melalui” K”.
Terlepas dari pembuktian yang akan disaksikan didalam
persidangan, maka yang dilupakan PA adalah “bertemu dan membicarakan perkara
yang sedang berjalan”.
Didalam kode etik sudah disebutkan “menjaga jarak untuk
tidak berhubungan langsung atau tidak langsung baik dengan pihak berperkara
maupun dengan pihak lain dengan perkara yang akan atau sedang ditangani
sehingga dapat mempengaruhi obyektivias atau citra mengenai obyektivitas
putusan yang dijatuhkan.
Sehingga “pertemuan” PA dan BH “walaupun” tidak
membicarakan uang, namun membicarakan perkara yang sedang ditangani oleh PA
telah masuk ke ranah pelanggaran etik. Dengan demikian, pernyataan PA
“seakan-akan” dizolimi tidak tepat lagi.
Namun yang ditunggu adalah pernyataan KPK tentang akan
menelisik “keterlibatan” internal di MK. Apakah yang dilakukan oleh PA
merupakan “perbuatan sendiri” menyalahgunakan wewenangnya sebagai hakim MK
untuk “bermain-main” dengan pihak luar atau memang ada “desain” khusus dari PA
untuk mempengaruhi hakim-hakim MK sebelum pengambilan putusan.
Apabila “peran” PA begitu dominan sehingga putusan kemudian
“sesuai” dengan order dari BH, maka kemudian harus dibuktikan, apakah “uang”
dari BH juga mengalir kepada hakim-hakim MK yang lain.
Namun apabila “cuma” PA yang bermain, maka PA “mengambil
keuntungan” dari hasil putusan perkara yang sudah diputuskan. Cara ini mirip
dengna yang dilakukan dalam kasus Akil Muchtar, Kalau istilah yang biasa
disebut “nembak diatas kudo”. Cara ini sering dipraktekkan oleh “mafia” yang
menghubungi para pihak agar “menyetor” sejumlah uang. Padahal perkara yang
disebutkan telah diputuskan.
Peristiwa yang paling anyar terjadi dalam kasus Rohadi,
Panitera Pengganti PN Jakarta Utara. Mari kita tunggu adegan selanjutnya.
Namun yang pasti. Dibutuhkan stamina yang kuat untuk mengikuti
persidangan. Berbagai fakta-fakta yang “belum” disebutkan didalam konpres, akan
terkuak. Dan kita kemudian terkaget-kaget dengan fakta-fakta yang akan terbuka
di persidangan. (Penulis Adalah Advokad dan Aktivis Lingkungan Walhi). Tulisan
Ini Sudah Dimuat Harian Jambi Independent, Selasa 31 Januari 2017.)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE