Musri Nauli |
Oleh : Musri Nauli
Namanya Sugianto. Kami biasa memanggilnya “Mas Gie”.
Pendeta yang berada di lingkaran perlawanan Jambi awal tahun 2000-an.
Saya sengaja “mempertebal” makna “Pendeta” di tengah
“kegalauan” public ketika memberikan materi Pancasila di kampus islam ternama
di Jambi.
Riuh dan polemic mewarnai paska pertemuan. Sahabat-sahabat
saya yang mengundang kemudian “disidangkan” oleh kampus. Berbagai isu kemudian
meruyak. Dianggap membawa aliran. Dianggap membawa pengaruh buruk kepada
mahasiswa.
Ah. Entahlah. Yang kutahu pasti, para pengundang
menceritakan kepada saya sambil tertawa. Tentu tidak lupa mengisap rokok
Sampoerna putih khas mahasiswa.
Gerejanyapun kemudian menjadi “sarang” berkumpul aktivis
mahasiswa. Termasuk aktivis buruh dan aktivis petani yang sedang sibuk
mempersiapkan berbagai aksi-aksi.
Pergaulan lintas agama membuat Mas Gie menjadi familiar di
berbagai generasi. Menjadi tempat “oase” membicarakan berbagai gagasan.
Termasuk menyebarkan berbagai buku yang bagi kami adalah “harta karun”.
Dari sana, saya menemukan tempat bertemu. Setelah
berpetualang di berbagai tempat seperti Palembang, Lampung, Bandung Jakarta,
sosok seperti Romo Sandyan begitu melekat (Pada saat itu, sosok Romo Sandiyan
merupakan sosok idola di kalangan gerakan).
Sebagai teman, Mas Gie adalah “tempat” bertemunya berbagai
teman yang terpisah oleh gagasan. Sebagai Abang, Mas Gie “memanggil” saya
ketika ditemukan kekeliruan. Menjaga saya dari “fitnah” namun menegur keras
ketika bertemu berdua.
Dalam berbagai pertemuan, suasana kemanusiaan begitu
terasa. Kami tidka pernah berdiskusi agama. Bagi kami tidak pernah
mendiskusikan tema-tema yang begitu sensitive.
Sebagai pendeta, saya juga mendengarkan, Mas Gie
dipersoalkan oleh jemaatnya. Tempat kediamannya yang selalu ramai pasti
memantik perhatian. Namun jawaban sama juga saya temukan. Bercerita sambil
tertawa.
Setelah meninggalkan Jambi, hampir praktis saya bertegur
sapa di dunia maya. Saling mengirimkan kabar sembari menceritakan issu politik
dengan tertawa.
Menjelang akhir tahun, saya mendapatkan kabar. Beliau
ditangkap di sebuah secretariat di Jakarta.
Saya tidak peduli kasus apa yang menimpanya. Namun yang
saya tahu pasti. Berada di lingkaran masyarakat tertindas merupakan sebuah
konsekwensi dari sebuah pilihan.
Pilihan yang tidak perlu saya pertanyakan
kepadanya. Hingga hari ini saya tidak pernah menanyakan kronologis ataupun
peristiwa sesungguhnya. Biarlah itu menjadi misteri yang bisa dijawab dimuka
persidangan.
Dan saya kemudian menetapkan pilihan. Dengan jubah, Mas Gie menyebarkan perdamaian. Dan dengan
jubah pula, saya berada disampingnya. Berada di pusaran masyarakat
terpinggirkan. (Penulis Adalah Advokad-Aktivis)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE