Rizal Ependi. Ra, A.Md |
Oleh : Rizal Ependi. Ra, A.Md
Jambipos Online-Berjalan meniti rel kereta sepertinya
sangat berbahaya ketimbang harus menapak lumpur di tebing cadas berbatu. Ada
satu pilihan lagi menepi di simpang jalan berpangkal mulus berujung terjal dan
berdebu.
Sungguh suatu petaka bila mempertahankan sebuah idealisme
ditengah badai suap yang menderuh. Saling sikut berebut manut kepada pembesar negeri
yang tengah berperang melawan maut.
Peretas negeri ini telah berseru, jangan sekali-kali
melupakan sejarah. Sejarah masa silam yang kelam tanpa cahaya. Namun seorang Soekarno
telah menyalakan pelita yang kelak menjadi suluh di tengah gelap.
Tadinya hanya suluh, namun kemudian membakar semangat
rakyat Indonesia untuk mengisi kemerdekaan yang lahir pada tahun 45. Berkobar
semangat bekerja keras dengan terus mengumpulkan "upeti" untuk
kemudian dibagikan ke rakyat dengan jargon membangun negeri.
Konon, pembangunan merata hingga ke desa menjadi agenda pembesar negeri untuk bersama menikmati indahnya merdeka. Semoga cita –cita mulia para pemimpin bukan hanya mimpi semu. Terbangun, mandi dan sisa mimpi larut terbawa air hingga ke lubang selokan yang berbau.
Di seluruh Indonesia kebagian program pembangunan yang katanya untuk mensejahterakan rakyat. Tak ketingalan pula untuk Provinsi Jambi yang dikenal sebagian orang sebagai segumpal tanah surga yang jatuh ke bumi.
Konon, pembangunan merata hingga ke desa menjadi agenda pembesar negeri untuk bersama menikmati indahnya merdeka. Semoga cita –cita mulia para pemimpin bukan hanya mimpi semu. Terbangun, mandi dan sisa mimpi larut terbawa air hingga ke lubang selokan yang berbau.
Di seluruh Indonesia kebagian program pembangunan yang katanya untuk mensejahterakan rakyat. Tak ketingalan pula untuk Provinsi Jambi yang dikenal sebagian orang sebagai segumpal tanah surga yang jatuh ke bumi.
Pembangunan di Jambi terus menggeliat, pelaksanaanya lancar
tanpa hambatan. Namun, ada yang tersembunyi dibalik semua itu, proses pembangunan
dilaksanakan bak sebuah bisnis jeruk purut. Dananya terus mengerucut hingga
kebawah semakin susut dan terasa kecut.
Terasa kecut bagi yang ogah manut, namun jika penurut semua
akan lancar dan dapat berperan ganda pada episode berikutnya. Mulus memang, semua
berjalan mulus karena peran pengawas telah dihapus? Tinggal kirim fulus satu
kardus, a ye ye, bebas jikamau lewat walaupun jalan tak lurus.
Ada istilah baru, "setor atas", ya, tentunya dari
bawah. Seandainya 40 biji apel, yang di atas kebagian 30 biji, sisanya nyangkut
sebagai upah tunggu terima. Inilah salah satu faktor penyebab menjamurnya praktik
kotor di Jambi.
Di Jambi sepertinya tak malu lagi "bermain
lumpur" kendati kotor, setelah menyetor akan kinclong. Bahkan, sebagian
pihak menjadikan praktik kotor ini sebagai sebuah bisnis triwulan. Itung-itung
sebagai penghasilan tambahan, bahkan sampai menjadi pendapatan pokok, jika ada sisa
disisihkan buat beli sebatang rokok.
Sukses dari lumpur berbau bukan lagi hal yang membuat takut
atau malu. Malah telah menjadi sebuah keniscayaan, budaya yang membanggakan. “Mama
rupanya tak tahu kalau minyak makan yang ku beli tadi hanya setengah kilo, bukan
sekilo. Sisanya lebih dari cukup untuk uang jajan ku", seorang siswa SD
telah melakukan praktik kotor terhadap amanah orang tuanya.
Ini baru anak SD, bagaimana jika sang anak telah menyandang
gelar Insinyur, Magister Management (MM), MBA, ME atau Prof Dr Ir, Jailangkung,
SH, MH, misalnya. Mungkin saja minyak makan yang dibeli bukan sekilo atau
setengah kilo, tapi seperempat kilonya saja.
Itu pun bukan minyak murni
(orisinil oil), tapi minyak jelanta, hah !
Dalam hal ini, ormas boleh saja berteriak lantang, koran
boleh juga terbit pagi dan petang. Namun kalau pengawas tak di hadang, bisnis jeruk
purut ini akan semakin subur. Walaupun akhirnya berbuah lebat, paling banter
hasilnya digunakan untuk pergi ke dukun.
Awa..wa...wa..wa, uuh...uhh puah....puah, gitu,
manteranya. Ironisnya, mendapatkan untung besar, pembisnis jeruk purut ini
malah naik haji atau menjadi pendeta. Sahdan, ada juga yang beruforia berwisata
keluar kampung dengan para "mama" pembisnis lendir.
Ini fatal, Ini sangat fatal, akibatnya mama yang didapur
jarang disentuh, dia pasti mencoba mencari hangat dari pria sahabat dekat. Walaupun
alibinya hanya sekedar curhat, lama-lama kan bisa berkeringat.
Penat berkata, sungguh sebuah nestapa, celakalah bagi
rakyat jelata yang hanya tahu membayar "upeti" dan kelak akan dibalas
dengan peti mati. Nauzubbilahi Minzalik.(Penulis
Adalah Jurnalis-Tinggal di Jambi)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE