Kapolri, Tito Karnavian (Tito) |
Oleh: Musri Nauli
Jambipos Online-Membaca “aksi damai” tanggal 2 Desember 2016 haruslah
dilihat dari rangkaian panjang sehingga “suasana sejuk”, “doa bersama” hingga
sholat jumat berakhir damai, kondusif dan bikin adem.
Rangkaian panjang dari tanggal 4 November 2016 bukanlah
kemudian dibaca semata-mata tanggal 2 Desember. Ada rangkaian panjang
peristiwa, strategi Jokowi yang kemudian dengan ciamik dimainkan oleh Kapolri,
Tito Karnavian (Tito).
Dengan ditetapkannya Ahok sebagai tersangka, dorongan untuk
“memproses” hukum kepada Ahok menemukan momentum. Aspirasi umat islam menemukan
ruang sehingga proses hukum kemudian bergulir ke Pengadilan.
Namun disisi lain, Tito sebagai “wong Palembang” tidak
kalah gertak dengan ancaman demo yang disuarakan berbagai kalangan agar Ahok
kemudian “ditahan”. Tito tidak mau tunduk dengan persoalan “penahanan”.
Diibaratkan Kato “wong Palembang”. Dikasih hati mau minta jantung. Tito tidak
kalah gertak.
Seruan Tito terhadap upaya makar sembari Dengan memainkan
strategi “mendatangi berbagai organisasi keagamaan” mengabarkan ada “penumpang
gelap” yang memboncengi aksi susulan, Tito terus merapikan pasukan agar tidak
menggunakan kekerasan didalam menghadapi unjuk rasa susulan. Kekuatan Tito kemudian
didukung oleh Panglima TNI yang terus keliling mengabarkan upaya makar berhasil
menempatkan duetnya untuk mengawal dari rongrongan dari “hidden agenda”.
Upaya ini berhasil selain kemudian NU secara tegas
mengeluarkan fatwa dan disusul MUI yang mempercayakan proses hukum kepada
Kapolri.
Namun Tito tetap membuka ruang terhadap aspirasi yang
menghendaki doa bersama, sholat Jumat. Sebuah diplomasi yang terus menerus
ciamik dimainkan oleh Tito.
Selain itu, diplomasi “soft” namun tegas yang memastikan
kegiatan berakhir dengan sholat Jumat merupakan salah satu bentuk untuk
mengukur “keseriusan” agenda sholat jumat dan membuang agenda diluar sholat
jumat.
Sembari itu, Tito yang berlatar belakang pengalaman panjang
anti terorisme terus membongkar sindikat terorisme yang menggunakan momentum
aksi umat islam untuk “hidden agenda”.
Penangkapan terorisme kemudian disusul membongkar rangkaian
upaya makar kemudian berhasil “meminggirkan” penumpang gelap yang menggunakan
aksi damai tanggal 2 Desember. Upaya yang rapi, tanpa riak kemudian berhasil
menempatkan tanggal 2 Desember sebagai aksi semata-mata “berdoa” tulus kepada
Tuhan Yang Maha Esa sembari proses hukum terhadap Ahok dikawal.
Ketenangan Tito membaca situasi kemudian menentramkan
Jokowi sehingga Jokowi kemudian sholat jumat sehingga tujuan aksi damai umat
Islam bertujuan mulia.
Upaya ini kemudian menempatkan Tito sebagai “dirijen” yang
mengatur irama dan menempatkan tanggal 2 Desember sebagai doa dan sholat Jumat
bersama.
Tito berhasil “memisahkan” doa bersama dengan “penumpang
gelap” yang menumpang aksi tanggal 2 Desember.
Sekarang kemudian kita mudah membaca. Strategi ciamik yang
dimainkan Tito kemudian disusul dengna ditangkapnya beberapa orang yang disebut
sebagai “upaya makar’. Cara ini kemudian berhasil.
Publik kemudian mulai memahami. Mana agenda makar dan mana
agenda tulus terhadap doa bersama kepada Indonesia.
Terima kasih, Pak Kapolri. Terima kasih diplomat ulung.
Satu periode sulit berhasil dilewati nyaris tanpa riak-riak berarti. (Penulis
Adalah Advokad dan Aktivis Lingkungan)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE