Oleh: Musri Nauli
Jambipos Online-Saya tidak akan membahas penggunaan ayat-ayat
Al Qur’an oleh teroris didalam bai’at ataupun meyakini perbuatan
terorisnya. Biarlah itu menjadi ranah kaum agamawan untuk menolak
ataupun membenarkannya. Tapi saya mengetahui bagaimana penggunaan
ayat-ayat Al Qur’an ataupun tafsiran “sempit” untuk membenarkan
perbuatannya.
Tapi penangkapan seorang perempuan lugu di
kontrakan di Bekasi dan jaringannya di berbagai tempat di Ngawi, Klaten
mengganggu nurani kita melihat peristiwa.
Padahal ditemukan bom
dengan 3 kg berjenis TATP berbentuk rice cooker sudah memberikan pesan
yang berbahaya terhadap “daya ledak” bom yang diciptakan.
Kemampuan ledaknya mencapai 300 meter (high explosive)
Meremehkan kemampuan merakit bom ataupun jaringan terorisme mengingatkan peristiwa Bom Bali I tahun 2002.
Meremehkan kemampuan merakit bom ataupun jaringan terorisme mengingatkan peristiwa Bom Bali I tahun 2002.
Masih ingat tuduhan kepada pelaku Bom Bali I yang tertangkap dianggap
“tidak mungkin’. Bayangkan dari pesantren kecil di Jawa, bagaimana
mungkin mereka bisa mendesain perencanaan bom Bali I yang menghentak
Indonesia dan dunia. Imam Samudra, Umar Patek, Ali Imron, Ali Gufron,
Amrozi adalah nama-nama yang terlibat didalam desain canggih pada saat
itu.
Publik “meragukan” hasil penangkapan dan menuduh “ada
desain besar” menghancurkan kelompok Islam. Tuduhan itu cukup serius
sehingga sebuah televisi harus melayangkan secara “live” bagaimana Ali
Imron harus memeragakan perakitan bom dalam sejumlah “filling” cabinet
hingga siap digunakan.
Dengan santai, Ali Imron memeragakan
rangkain 23 adegan lengkap detail penggunaan istilah kimia untuk merakit
bom, memasukkan kedalam mobil L-300 hingga meledak di Legian, Kuta,
Bali. Hasil rakitan bom kemudian dapat disetarakan dengan bom TNT
seberat 1 kg merupakan bom RDX berbobot 50-150 kg. Serpihan mobil L-300
adalah awal investigas membuka misteri peristiwa tersebut.
Peristiwanya sungguh dahsyat. 202 orang tewas. 209 orang luka-luka.
Dunia hukum kemudian heboh terhadap terorisme yang belum diatur didalam
norma hukum Indonesia.
“Meremehkan” kemampuan para veteran
Afganistan dengan “daya ledak luarbiasa” adalah “kekagetan” rakyat
Indonesia pada saat itu. Perang Afganistan yang jauh dari ufuk Indonesia
membuat “ketidakpercayaan” alumni pesantren mampu merakit bom hingga
mempunyai daya ledak di 23 negara. Australia menjadi korban yan
warganegaranya yang cukup banyak.
Entah didesain khusus ataupun
“kekurangpengetahuan” tentang veteran Afganistan, resistensi public
terutama tokoh-tokoh Islam menolak keras penangkapan dan tuduhan dari
Mabes Polri terhadap Imam Samudra cs. Tuduhan “mengada-ada” kepada Mabes
Polri begitu kuat.
Namun dengan ketekunan dimulai dari
pengungkapan sepeda motor Yamaha, serpihan mobil L-300 (nomor chasis dan
nomor mesin sudah dihapus dengan cara digerinda namun KIR masih
meninggalkan jejak) maka misteri ini kemudian terkuak.
Jejak ini
kemudian menemukan Amrozi di Lamongan tiga minggu kemudian. Jejak ini
kemudian berhasil mengungkapkan pelaku lain seperti Ali Imron, Ali
Gufron, Imam Samudra, Umar Patek dan lain-lain.
Publik kemudian
“kaget” dengan kelompok Bom Bali I. Dengan latarbelakangi veteran
Afganistan, jaringan teroris mereka sudah menjadi jaringan global yang
disebut-disebut bagian dari Al Qaeda.
Dengan kemampuan itulah,
maka misteri terhadap “peristiwa” kemudian membuka mata Indonesia.
Kemampuan “merakit” bom adalah keahlian yang tidak bisa diremehkan
walaupun mereka berasal dari pesantren kecil di Jawa.
Kemampuan
itu tidak boleh diremehkan dengan melihat penampilan dari pelaku. Itu
pelajaran yang disampaikan oleh Ali Gufron ketika “mempresentasikan”
perakitan bom yang mempunyai daya ledak luarbiasa.” Begitu juga
kesaksian Nasir Abbas, Anggota Jamaah Islamiyah yang terlibat
serangkaian teror bom di Indonesia seperti bom di Kedutaan Australia dan
di Hotel JW Marriot.
Ali Imron menceritakan pengalamannya saat
terlibat pengeboman di Bali tahun 2002. "Yang saya lakukan dulu itu
bukan jihad. Itu jihad yang lebih banyak mudaratnya”. Ali Imron dan
Nasir Abbas kemudian membantu Indonesia untuk mengungkapkan scenario
teroris.
Yang pasti, saya tidak mempertaruhkan masa depan anak-anak saya dengan kejadian seperti di Syria, Lebanon.
Jadi. Meremehkan kemampuan para teroris dengan kehidupan sehari-hari memberikan peluang terjadinya teroris. Dan itu yang diinginkan oleh teroris yang menganggap Indonesia sebagai surga tumbuhnya terorisme. Dan tugas kita bersama untuk melawan teroris untuk menghancurkan Indonesia.(Penulis Adalah Pengacara dan Aktivis Lingkungan-Tinggal di Jambi).
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE