Oleh: Musri Nauli
Jambipos Online-Selama dua tahun ini, kita disuguhkan
berita-berita hoax, caci maki, berita pelintiran, tidak nyambung, saling
menyalahkan, memperkeruh keadaan, logika tidak jalan hingga berbagai issu yang
bikin suasana bikin kisruh.
Jokowi dan Ahok dijadikan sasaran tembak. Entah betul atau
tidak berita yang dishare, tapi Jokowi dan Ahok sering disalahkan dan dan
menjadi penyebab kekisruahan.
Entah pengguna medsos, masyarakat bahkan pejabat yang
mendiskusikan tentang berita dari medsos. Dan untuk membantu alur memahami,
maka saya akan beberapa contoh bagaimana logika tidak jalan.
MENGHINA ULAMA
Entah koplok atau “sok tahu”, berbagai medsos “menghajar”
ulama-ulama sepuh yang kadar keilmuannya tidak diragukan lagi. Gus Mus, Buya
Syafie, Quraish Shihab, Said Agil Siroj.
Medsos kemudian “memborbardir” issu bid’ah dari seorang
artis yang enteng ngomong di televisi. Artis yang datang entah darimana,
“seakan-akan” fasih bercerita tentang bid’ah.
Bagaimana saya percaya. Jangankan Menafsirkan. Tajwid aja
tidak lurus. Jadi. Bagaimana pula saya percaya dengan omongannya.
Namun medsos kemudian tidak henti-hentinya mempersoalkan
bid’ah dan meragukan keulamaan dari Gus Mus, Quraish Shihab maupun Said Aqil
Siroj.
BERITA BOHONG
Issu komunis dan issu Syiah merupakan issu sensitive dan
memancing kemarahanan rakyat. Entah koplok atau memang hendak mengail di air
keruh, berita ini menggelinding “bak salju”.
Dalam suasana pilres, Jokowi sering dipelintir dengan
berita komunis. Dan entah darimana sumbernya, berita ini kemudian mempengaruhi
pemilih pilres. 2 tahun kemudian penyebar berita “Obor Rakya” disidangkan dan
kita mengetahui, hukuman pidana telah menyatakan bersalah.
Tidak cukup dengan Jokowi. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj
bahkan mantan Menteri Agama, Quraish Shihab, ahli tafsir kemudian disebut
Syiah. Issu sensitive yang bikin heboh negeri.
Namun entah “terlalu” bersemangat, bahkan ada juga yang
jurnalis, disatu sisi menyelesaikan beritanya namun juga share berita hoax. Ah. Bikin geleng-geleng kepala saja.
JOKOWI DAN AHOH
Entah nyambung atau tidak, atau disambung-sambung, setiap
permasalahan di negeri ini haruslah disalahkan Jokowi atau Ahok.
Diangkatnya Setya Novanto, Ketua DPR-RI yang pasti dipilih
oleh anggota DPR, malah meme beterbangan pernyataan Jokowi dalam issu “papa
minta saham”. Coba hayo. Yang dipilih Ketua DPR, kok Presiden dijadikan meme.
Bahkan seorang pembesar dengan “enteng” menuduh masuknya 10
juta pekerja dari Tiongkok. Sayapun geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin
pembesar yang menyandang gelar berteret, sering tampil di media tapi kok
percaya berita hoax.
Emangnya mudah memasukkan pekerja 10 juta orang. Lha wong
menarik minat mendatangkan turis 10 juta, Negara sibuk promosi di berbagai
dunia.
Banjir di daerah Jawa Barat, Gubernur cuma meminta berdoa
dan bersabar. Banjir di Bandung, Ahok kena getahnya.
BERITA PELINTIRAN
Nah. Kalo berita pelintiran jangan disebutkan jumlahnya.
Situs-situs abal-abal sering menyampaikan berita pelintiran. Berita sebenarnya
“discreenshoot”, diedit ditambahkan nada provokatif dan kemudian dishare.
Tidak cukup tukang sate ataupun penjaga warnet yang
melakukan. Bahkan yang mengaku dari kampus, mengajar ilmu jurnalistik, sedang
mengambil gelar Doktor di Belanda kemudian dengan enteng kemudian menyebarkannya
dan membikin “degup” jantung negeri sedang dipertaruhkan.
Berita ini kemudian menjadi berita paling panas tahun 2016.
Bahkan berita paling panas setelah pilpres. Lalu mengapa “gonjang-ganjing” ini
sedang menggema di dunia ini.
Pertama. Manusia yang percaya berita dari hantu kemudian
mendiskusikannya dan kemudian menjadikan kebenaran, maka ada sesuatu yang salah
dari informasi yang diterimanya.
Mengapa ada nada kebencian terhadap NU, Muhammadiyah, ulama
sepuh, Jokowi dan Ahok ? Terlepas dari kasus Ahok, issu ini terus menggelinding
dan memakan korban saling berjatuhan.
Ulama sepuh seperti Gus Musa tau Said Aqil Siroj tidak
terlepas dari issu panas dan terus berhadapan dengan medsos. Tidak cukup dengan
perdebatan panas bahkan issu penggulinggan sebagai Ketua Umum PBNU terus
disuarakan. Ah. Benteng terus digempur hingga NU tidak menjadi benteng mengawal
kebenaran.
Kedua. Penegakkan Hukum terhadap pelaku penyebar berita
medsos yang kurang maksimal. Issu Rush money yang dilakukan oleh seorang guru
SMK di Jakarta, seorang pendidik yang menyampaikan pendidikan yang baik kepada
muridnya, justru terjebak dengan issu sensitive. Rush Money. Sebuah isu tidak
main-main. Bahkan dapat dikategorikan sebagai “issu bom”.
Selain itu praktis, terhadap penyebar berita hoax tidak
terdengar lagi kabarnya. Ketiga. Meruntuhkan symbol-simbol pengawal kebenaran. Menghajar
NU namun tidak berhasil. NU kemudian menjadi benteng kokoh mengawal kebenaran.
Islam, Kebangsaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas merupakan “sikap
patriotic” NU yang handal didalam mengawal Keindonesiaan.
NU kemudian dianggap sebagai benteng yang harus dirobohkan.
Dari ranah ini, kemudian NU menjadi “sasaran” tembak yang terus menerus
disasar.
Begitu juga Quraish Shihab sebagai ahli tafsir. Dalam
berbagai tema penting, tausiah Quraish Shihab mampu menjernihkan persoalan dan
mengembalikan makna Islam sebagai agama bagi semua umat manusia. Rahmatan lil
Alamin.
Kesulitan berargumentasi dengan Quraish Shihab kemudian
menyebabkan, serangan kepada Quraish Shihab menjadi personal. Quraish Shihab
kemudian dituduh Syiah. Bahkan putri Quraish Shihab, Najwa Shihab sebagai
pembaca acara “Mata Najwa” dipersoalkan tidak memakai jilbab.
Upaya menghajar dari segi personal dilakukan selain
meruntuhkan integritasnya juga bertujuan agar “tausiah” tidak menjadi bahan
pembanding dari serangan dari dunia maya.
Keempat. Mengalihkan persoalan. Dengan serangan sistematis
, cyber war ketika kehilangan issu, mulai mengalihkan persoalan. Masih ingat
ketika paska Pilpres, tiba-tiba berita kemudian digiring ke persoalan
Palestina. Namun entah dukungan apa yang diberikan kepada Palestina, namun
persoalan kemanusiaan Palestina tidak mendapatkan porsi yang cukup dari
dukungan yang diberikan oleh Indonesia.
Atau masih ingat dengan ditetapkan Ahok sebagai tersangka.
Tiba-tiba konsentrasi kemudian diberikan kepada Rohingya. Sembari menunggu
tanggal 2 Desember, Issu Rohingya dijadikan sebagai issu perekat.
Membaca suasana gaduh di negeri ini, maka kemudian tidak
salah, hantu terus berkeliaran menghinggapi pikiran kita. Hantu terus menebar
teror, menciptakan permusuhan, mempersoalkan aqidah, mengusung issu agama
menjadi trending politik di kancah negeri.
Kita tidak lagi dibebani berfikir mengenai kebangsaan,
pluralism, masalah pangan, masalah banjir, masalah tanah atapun masalah
kesehatan yang tidak diurus oleh Negara.
Hantu kemudian mengelilingi pikiran kita dan menciptakan
teror baru yang lebih dahsyat dampaknya dari alam bawah sadar. Hantu kemudian
menempatkan sebagai manusia dungu. Percaya kepada hantu yang memberikan kabar
namun kemudian kabur tidak bertanggungjawab.
Sudah saatnya manusialah yang menjadi pengendali. Mengusir
hantu dari pikiran kita agar bisa tetap berfikir jernih. (Penulis Adalah
Aktivis dan Advokad)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE