Oleh: Musri Nauli
Jambipos Online, Jambi-Di dalam sebuah pertemuan di Jakarta
dengan Tema penegakkan hukum dan kebakaran hutan dan lahan (KARHUTLA), saya
kaget mengetahui bagaimana pandangna para pihak didalam melihat persoalan hukum
(KARHUTLA).
Dari para pihak yang mewakili unsur akademisi, penegak hukum hingga
berbagai pihak saya kemudian menyadari ada persoalan di tataran paradigm.
Tulisan ini mencoba untuk memotret bagaimana pandangan parapihak sekaligus sebagai
otokritik paradigm didalam persoalan hukum.
Pandangan pertama. Masih ada anggapan terhadap kesulitan
mencari barang bukti dan bukti-bukti lain untuk menjerat para pelaku kebakaran
hutan dan lahan. Pandangan kedua. Kesulitan untuk menerapkan tindak pidana yang
dituduhkan.
Pandangan ketiga. Masih menuduh masyarakat sebagai penyumbang
kebakaran. Pandangan keempat. Kesulitan koordinasi terhadap masing-masing pihak
untuk memproses hukum kepada para pelaku. Pandangan Kelima. Apabila sudah
diterapkan proses hukum administrasi ataupun proses hukum perdata, maka proses
hukum pidana tidak perlu diterapkan lagi.
Mari kita mulai melihat persoalan diatas sehingga lebih
utuh dan dapat menjawab problema-problema yang timbul.
Kesulitan Pembuktian
Tema ini cukup menarik sekaligus menjawab kegundahan yang
timbul selama ini di pikiran saya.
Kegundahan disebabkan, bagaimana mungkin kebakaran yang
massif sejak 6 tahun terakhir, namun praktis, para pelaku “lenggangkangkung”
dan “terkesan” tidak tersentuh.
Dalam upaya pembuktian, kemampuan penyidikan di Indonesia
haruslah diacungi jempol dalam kasus-kasus pelik seperti kasus terorisme,
narkoba, korupsi dan kasus pembunuhan.
Masih ingat kasus Bom Bali I yang dalam hitungan dibawah
satu bulan hingga bisa terungkap.
Atau kasus-kasus pembunuhan seperti terbunuhnya Nazaruddin
yang dalam hitungan bulanan mampu terungkap.
Bayangkan. Dengan ditemukannya mayat, kemampuan penyidik
dapat mengungkapkan kasus-kasus yang pelik sehingga tidak perlu diragukan lagi.
Namun dalam kebakaran sejak tahun 2010, kemampuan penyidik
tidak memberikan kabar yang menggembirakan.
Dalam rentang kebakaran tahun 2015 di Jambi, dari 69
perusahaan yang terbakar, 15 perusahaan kemudian “disebut-sebut” sebagai dalam
proses, namun hanya dua yang kemudian hingga di muka persidangan. Padahal
dengan terbakarnya areal 135 ribu hektar, kebakaran tahun 2015 adalah kebakaran
yang paling mengerikan dalam sejarah di Indonesia.
Dengan kebakaran tahun 2015 saja, menghasilkan emisi karbon
yang setara dengan emisi karbon Jerman tahunan.
Dari diskusi, persoalan muncul dengan alasan “kesulitan”
untuk mendapatkan barang bukti maupun bukti-bukti lain.
Argumentasi ini cukup mengganggu sekaligus menjadi
kesempatan bagi saya untuk mendalami persoalan ini lebih jauh.
Kesulitan apakah sehingga untuk mendapatkan barang bukti
ataupun bukti-bukti lain menyebabkan kasus-kasus ini kemudian mandeg di tingkat
penyidikan.
Apakah disebabkan karena “mencari saksi” atau mencari
“barang bukti’ semisal korek api ataupun bensin melihat kebakaran tersebut.
Apabila merujuk kepada pemikiran diatas, maka sudah menjadi
terkonfirmasilah penyebab kesulitan (paradigm penyidik) selama ini.
Padahal dengan “mencari barang bukti” seperti korek api
atau bensin atau saksi yang melihat terjadinya kebakaran maka paradigm ini
harus ditinggalkan.
Paradigma (sebagaimana sering sudah saya sampaikan)
berangkat dari sistem hukum eropa continental yang berasas “tiada pidana tanpa
kesalahan” (Geen straft vonder schuld). Pada dasarnya “setiap orang tidak dapat
dihukum/dipertanggungjawabkan apabila tidak ada kesalahan. Asas ini menjadi
prinsip baik diatur didalam pasal 1 KUHP maupun prinsip-prinsip sebagai Negara
hukum (Rechtstaat).
Namun didalam UU yang berkaitan dengan Sumber daya alam
seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
Perkebunan, UU Air, UU Pesisir dan Pulau Kecil dan sebagainya, berbagai asas
sudah menempatkan Indonesia juga menganut sistem hukum Anglo Saxon.
Asas-asas seperti “Tanggungjawab mutlak (strict liability),
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), tanggungjawab
pengganti (vicarious liability), gugatan kelompok (class action) ataupun
gugatan organisasi (legal standing) adalah asas didalam sistem hukum Anglo
saxon. Sehingga sudah jamak, Indonesia sudah menerapkan asas-asas hukum anglo
saxon.
Untuk “memastikan” agar tidak adanya tumpang tindih, maka
apabila kita perhatikan mengenai pertanggungjawaban didalam hukum pidana,
apabila UU sudah mengamanatkan tanggungjawab mutalk (strict liability) maka
mekanisme pembuktian terhadap kesalahan tidak perlu lagi menggunakan kesalahan
(schuld) dengan pendekatan kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culva).
Dengan
demikian, maka langsung diterapkan mekanisme didalam sistem hukum Anglo saxon.
Berpihak kepada persoalan kebakaran, maka terhadap areal
yang terbakar, maka pemegang izin dimintakan pertanggungjawaban. Baik merujuk
kepada pasal 48, Pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, PP No. 4 Tahun
2004, PP No. 45 tahun 2004, Permentan 47 Tahun 2014. Asas ini dikenal sebagai
absolute liability.
Asas absolute liability lebih ketat daripada asas strict
liability sebagaimana diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Asas absolute liability kemudian menempatkan pemegang tidak
perlu lagi dibuktikan kesalahan. Aas ini kemudian dikenal sebagai
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).
Sedangkan pemegang izin maka dapat diterapkan UU No. 40
Tahun 2007 Tentang Perusahaan Terbatas yang menggantikan UU No. 1 Tahun 1995.
Didalam pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 secara tegas dinyatakan “Direksi
mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”.
Asas terhadap Dewan Direksi yang bertanggungjawab terhadap
urusan perusahaan baik didalam maupun diluar pengadilan inilah yang biasa
disebut “tanggungjawab pengganti (vicarious liability).
Menilik kepada kalimat diatas, maka pemegang izin yang
terbakarlah yang dimintakan pertanggungjawaban (absolute liability). Terhadap
pemegang izin haruslah dimintakan pertanggungjawaban dan tidak perlu dibuktikan
kesalahan (asas liability with fault). Sedangkan terhadap pemegang izin, maka
Dewan Direksi yang bertanggungjawab dimuka hukum (asas vicarious liability).
Menggunakan asas-asas didalam sistem hukum Anglo saxon maka
selain akan mempermudah pembuktian dan tidak membuktikan kesalahan dari pelaku
juga sesuai dengan asas-asas anglo saxon didalam UU berkaitan dengan sumber
daya alam.
Sehingga alasan “kesulitan mencari saksi yang melihat siapa
yang membakar” atau mencari barang bukti terhadap terhadap kebakaran tidak
perlu lagi terjadi.
Dengan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka alasan
lain seperti “kesulitan untuk menerapkan tindak pidana yang dituduhkan” menjadi
tidak relevan lagi dibahas.
Masyarakat sebagai penyumbang kebakaran
Disisi yang lain, tuduhan masyarakat sebagai penyumbang
kebakaran selain tidak sesuai dengan fakta-fakta dilapangan, menyakitkan juga
bertentangan dengan konsepsi masyarakat sekaligus menutupi kedok perusahaan
yang terbukti terbakar 5 tahun terakhir.
Apabila kita bandingkan dengan titik-titik api baik sejak
tahun 2010 hingga 2015 maka terbukti kesemuanya berada di areal perusahaan.
Selain itu didaerah gambut, maka gambut yang diberikan izin
kepada perusahaan terletak di gambut dalam. Wilayah yang tidak dikerjakan oleh
masyarakat selama ini.
Selain wilayah gambut dalam merupakan wilayah yang tidak
dikelola masyarakat, Negara kemudian memberikan konsensi di areal gambut dalam
juga tidak melakukan pengawasan. Baik dengan model pengelolaan tanpa membakar
hingga peralatan yang diperlukan untuk melakukan pemadaman.
Pemberian izin di gambut dalam selain merusak hidrologi
gambut juga menghancurkan kawasan ekologi gambut. Dengan rusaknya hidrologi
gambut dan kawasan ekologi gambut mengakibatkan gambut menjadi rusak.
Cara ini kemudian diperparah kebakaran yang tidak mampu
lagi fungsi gambut sebagai daya dukung mengembalikan hidrologi gambut.
Dengan pemberian izin di lahan gambut dalam oleh Negara
untuk dikelola maka kemudian “pemegang izin” melepaskan tanggungjawabnya. Dari
ranah ini, maka tuduhan kepada masyarakat sebagai penyumbang kebakaran
menemukan momentum sehingga kebakaran dan beban kesalahan dari perusahaan dapat
dikesampingkan.
Lihatlah bagaimana upaya Negara maupun perusahaan yang
berkelit untuk melepaskan tanggungjawabnya. Baik dengan alasan “tidak mungkun
perusahaan” yang membakar, argumentasi lain seperti, “bukan satu perusahaan
saja yang terbakar” adalah upaya untuk menutupi persoalan kebakaran yang
sebenarnya.
Sehingga tuduhan kepada masyarakat merupakan salah satu
upaya untuk melepaskan kesalahan dan membebankan kepada masyarakat.
Dari ranah inilah kemudian menyebabkan penegakkan hukum
menjadi kurang maksimal dari paradigm para penegak hukum.
Berangkat dari paparan diatas maka problema penegakkan
hukum dalam kasus kahutla berangkat dari kesalahan cara pandang (paradigma)
didalam meletakkan hukum.
Menjadi tugas bersama untuk kembali merumuskan
agenda-agenda penegakkan hukum karhutla. Kesalahan paradigma haruslah
diluruskan. Sehingga proses hukum tidak berhenti di proses penyidikan. Namun
memberikan efek jera kepada pemegang izin yang berambisi menguasai tanah. Tapi
tidak mampu mengelola izin yang diberikan. (Penulis Adalah Advokad dan Aktivis
Lingkungan)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE