Oleh Musri Nauli
Jambipos Online-Usai sudah penetapan dari Mabes Polri
tentang kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mabes Polri kemudian meningkatkan
status penyelidikan ke tahap penyidikan. Dengan ditingkatkan status penyidikan
maka Ahok kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Terlepas dari berbagai perdebatan apakah perkara Ahok ini
telah memenuhi unsur yang disangkakan atau tidak, alangkah baiknya kita
memahami proses hukum acara pidana dalam sebuah perkara. Dari ranah inilah,
maka kita dapat memahami apakah Mabes Polri telah melaksanakan tugasnya untuk
menuntaskan perkara ini.
Dengan demikian, terhadap materi pokok perkara atau pasal
yang dituduhkan kepada Ahok sebagaimana tuduhan “penistaan agama” tidak menjadi
pembahasan tulisan ini. Pembahasan tentang materi pokok perkara akan menjadi
pembahasan yang terpisah.
Ada beberapa point-point yang menarik untuk dijadikan
telaah dalam pemaparan dari Kabareskrim Mabes Polri dan Kapolri. Point-point
yang disampaikan dapat menggambarkan bagaimana proses ini dibahas dan
ditentukan.
Point pertama adalah “adanya perbedaan pandangan antara
saksi ahli pidana, saksi ahli Bahasa dan saksi ahli agama”. Point kedua adanya
perbedaan pandangan sesama penyidik sehingga disebutkan oleh Kapolri adanya
“dissenting opinion”. Point ketiga adalah sikap penyelidik yang kemudian
menyerahkan kepada proses hukum selanjutnya ke muka persidangan.
Ketiga point menjadi pengamatan saya sehingga bisa
menentukan apakah Mabes Polri telah menjalankan tugasnya yang disebutkan oleh
Kapolri “Bekerja obyektif dan professional”.
Sebelum saya menguraikan lebih lanjut, sebaiknya kita
memahami hakekat dari hukum pidana.
Sebagaimana sering disampaikan dalam berbagai kesempatan,
prinsip hukum pidana adalah mencari kebenaran materiil. Kebenaran materiil
adalah kebenaran yang sebenar-benarnya. Bukan kebenaran formil yaitu kebenaran
berdasarkan kebenaran yang hanya didasarkan pada formalitas-formalitas hukum.
Kebenaran formil sering disebutkan didalam hukum acara Perdata.
Dengan demikian, maka didalam ranah hukum pidana, dalam
pembuktian hukum pidana, maka fakta-fakta hukum adalah landasan utama terhadap
penilaian telah terjadi atau tidaknya suatu tindak pidana. Fakta-fakta hukum
merujuk kepada keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan tersangka (Pasal 184 KUHAP).
Melihat urutan kekuatan pembuktian hukum acara pidana, maka
pasal 184 KUHAP kemudian menempatkan saksi sebagai sebagai bukti terkuat (pasal
185 KUHAP). Kekuatan saksi dapat dirujuk kepada pasal 1 ayat 27 KUHAP. Dengan
demikian, maka yang dikategorikan sebagai saksi adalah yang mendengar, melihat,
dan mengalami peristiwa secara langsung.
Dengan demikian, maka keterangan saksi merupakan alat bukti
yang pertama yang disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
pada umumnya tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan
saksi.
Bahkan menurut Yahya Harahap “hampir semua pembuktian perkara pidana
selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya
disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Dengan melihat kekuatan saksi, maka penyelidik Mabes Polri
kemudian dapat memanggil masyarakat yang mendengarkan pidato Ahok di Kepulauan
Seribu.
Apakah pada saat itu, masyarakat Kepulauan Seribu kemudian “merasakan”
penistaan agama ataupun tidak. Itu materi yang mesti digali oleh penyelidik
Mabes Polri terhadap kekuatan pembuktian saksi.
Setelah keterangan saksi diberikan, maka dilakukan
penilaian apakah para saksi sudah dapat dikategorikan sebagai alat bukti kuat
untuk menentukan terjadi tindak pidana sebagaimana dituduhkan.
Apabila dari
hasil penilaian dari penyelidik tidak ditemukan unsur terpenuhinya, maka dengan
kekuatan bukti saksi, perkara ini tidak dapat dilanjutkan. Sedangkan apabila
hasil penilaian terdapatnya unsur terpenuhinya tindak pidana yang dituduhkan,
maka terhadap bukti saksi haruslah didukung dengan bukti yang lain yaitu
keterangan ahli.
Dengan demikian, maka penyelidik kemudian menggali
keterangan ahli. Dalam kesempatan ini, dihadirkan berbagai ahli pidana, ahli
bahasa, dan ahli agama baik yang dihadirkan oleh saksi, dari penyelidik itu
sendiri dan ahli dari pihak Ahok untuk menjawab persoalan diatas.
Terhadap keterangan ahli, apapun yang diberikan, maka
menurut saya sudah termasuk materi perkara.
Ahli yang dihadirkan oleh Polri adalah Saksi ahli agama
Deden, Buya Syafi’i Maarif, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), Prof. Dr. H. Yunahar
Ilyas LA. M.Ag. (Muhammadiyah), KH. Miftahul Ahyar, 6. Dr. H.M. Hamdan Rasyid
(MUI).
Saksi Ahli Bahasa adalah . Prof. DR. Wahyu Wibowo, Dr. Can Niknik M. Kuntoro, Wiwin Erni Siti Nurlina. Ahli Pidana adalah Prof. Edward Omar Haritjh, Prof. Dr. Indriyanto Seno Aji, Dr. Eva Achjani Zulfa, Dr. Pujiono.
Sedangkan dari Pelapor adalah ahli agama Habib Riziek. Ahli Pidana Dr. Muzakir, Abdul Chair Ramadhan, SH. , MH. Ahli Bahasa Dr. Husni Muaz, Dr. Rohmadi M.Pd.
Sedangkan dari pihak Ahok kemudian dihadirkan ahli Ahli Agama Prof. Dr. Hamkah Haq, MA, Dr. Phil. Syafiq Hasyim, KH. Masdar Farid, KH. Ahmad Ishomuddin, Dr. Sa’dullah Affandy, Dr. Zainal Abidin. M.A. Ahli Bahasa, Prof. Rahayu Sutiarti, Dr. Aprinus Salam, Dr. M. Umar Muslim. Ahli Pidana, C. Djisman Samosir. SH. MH., Dr. Noor Aziz Said, SH. , MS. Dan Ahli Psikologi Prof. Sarlito Wirawan.
Sebelum kita memberikan penilaian terhadap kapasitas dan kualifikasi ahli, maka terhadap ahli mempunyai beban pembuktian apabila keterangan ahli yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa (pasal 1 angka 28 KUHAP).
Dengan demikian, maka nilai pembuktian keterangan ahli
terletak pada keahlian khusus dalam bidangnya. Maka keterangan ahli tidak
menyangkut pokok perkara yang ditujukan, namun menjelaskan suatu keadaan masih
kurang tentang suatu keadaan atau siapa pelakunya.
Didalam praktek didalam hukum acara pidana, sebelum
memberikan keterangan ahli (baik ahli pidana, ahli bahasa maupun ahli agama),
maka terhadap ahli harus dibuktikan kualifikasi tertentu.
Baik gelar akademis, ketekunan terhadap keahlian, karya
ilmiah yang sudah dihasilkan merupakan “kredit point” dan penilaian terhadap
suatu keahlian khusus.
Bahkan secara tersirat, linier keahlian merupakan penilaian
tersendiri bagi hakim untuk menilai suatu keahlian dari ahli.
Kita dengan mudah menilai bagaimana tergopoh-gopohnya ahli
digital forensic dari Mabes Polri berhadapan dengan hukum acara terhadap
“keteledoran” memindahkan data rekaman dari CCTV menggunakan “flask disk”
berhadapan dengan keahlian yang mempunyai “hak paten” yang dihadirkan pihak
Jessica.
Dari kualifikasi itu saja, mudah kelihatan, dari sisi akademis,
keahlian dari pihak Jessica lebih “kualifikasi” dibandingkan ahli dari Mabes
Polri.
Atau kita dengan mudah menilai keahlian forensic yang
berasal dari Australia yang dihadirkan oleh Jessica baik karena keahlian yang
beberapa kali memeriksa forensic korban sianida dibandingkan dari ahli forensic
yang belum pernah memeriksa korban sianida yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut
umum dan cuma membaca literature kedokteran.
Dengan memperbandingkan kualifikasi baik sisi gelar
akademis, ketekunan terhadap keahlian ataupun karya ilmiah yang dihasilkan,
maka terhadap berbagai ahli yang dihadirkan berbagai pihak (saksi korban,
Penyelidik Mabes Polri maupun pihak Ahok) kita dapat mudah menilai “kapasitas
ahli” sebelum memberikan keterangan ahlinya dihadapan penyelidik.
Pembahasan formal terhadap “keahlian” ahli diperlukan
sebelum memberikan keterangan ahli. Bahkan dalam praktek di sebuah pengadilan,
ahli yang dihadirkan dibuktikan dengan “kualifikasi” tertentu. Baik keterangan
dari kampus yang menerangkan keahlian yang dihadirkan (walaupun secara factual
sudah diketahui ahli yang dihadirkan dikenal sebagai Doktor yang dikenal
public). Namun terhadap proses formal, keterangan di kampus haruslah dibuktikan
dengan formal.
Begitu juga didalam penggalian “keahlian”, hakim sering
memulai dengan melihat karya ilmiah, linier pendidikan dan keahlian hingga
ketekunan menjalani disiplin ilmunya.
Maka “sehebat apapun” sarjana hukum ataupun telah memegang
gelar sarjana hukum bertahun-tahun maka secara formal akan dikalahkan dari segi
akademis dari seorang Doktor ilmu hukum yang masih muda. Dari gelar
akademispun, kualifikasi S1 tentu saja mempunyai penilaian dari pemegang gelar
Doktor.
Praktek jamak ini sering digunakan dalam praktek hukum
acara pidana. Begitu juga dalam praktek hukum acara perdata. Bahkan Di
Pengadilan Negeri Jambipun, seorang ahli pernah tidak diterima dimuka
persidangan setelah yang bersangkutan tidak membawa keterangan dari kampus yang
menerangkan tentang keahlian yang bersangkutan.
Maka dari pendekatan ini, terhadap perbedaan pendapat di
kalangan penyelidik tidak dapat dibenarkan. Penyelidik sama sekali tidak
diberikan oleh KUHAP untuk memberikan pendapatnya. Sehingga pernyataan Kapolri
tentang “dissenting opinion” sama sekali tidak dikenal di tahap penyelidikan.
Tema “dissenting opinion” dikenal dalam putusan hakim.
Atau dengan kata lain, KUHAP tidak memberikan ruang kepada
penyelidik untuk memberikan pendapat hukumnya. Penyelidik memberikan penilaian
apakah perkara ini dapat ditingkatkan kepada penyidikan atau tidak berdasarkan
kepada bukti-bukti yang ada.
Selain itu, terhadap perkara ini kemudian disepakati
“diserahkan” kepada pengadilan yang terbuka umum menggambarkan beban perkara
tidak mau diletakkan pada Mabes Polri. Mabes Polri “terkesan” melemparkan bola
panas kepada proses hukum.
Dari ranah ini, maka selain melanggar HAM juga bertentangan
dengan prinsip “penghormatan hukum” kepada manusia.
Dalam prinsip hukum pidana, dikenal asas “in dubio pro reo”
yang kemudian menjadi pijakan untuk menilai suatu perkara. Didalam berbagai
yurisprudensi seperti Putusan MA No. 33 K/MIL/2009, Putusan MA No. 2175
K/Pid/2007 sering disebutkan “asas in dubio pro reo yang menyatakan jika
terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan
hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan”.
Makna ini kemudian merupakan asas pelaksanaan pasal 183
KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah
yang bersalah melakukannya". Makna ini kemudian dipertegas “ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang” (penjelasan pasal 183 KUHAP).
Walaupun asas ini dipergunakan hakim untuk menilai perkara,
namun “membebankan” persoalan kepada proses hukum kepada hakim dapat disebutkan
“memindahkan bara persoalan”.
Membaca kasus Ahok, maka didalam ranah beban pembuktian dan
hukum acara pidana menimbulkan persoalan dari pendekatan formal (cacat
formiil). Terhadap pelanggaran Hukum acara mengakibatkan “keseriuan” memberikan
penghormatan HAM. Dari ranah ini, maka penulis “terusik” terhadap persoalan
dari hukum acara pidana.
Dengan demikian, sebelum memasuki materi perkara, penilaian
kasus Ahok dari pendekatan hukum formil merupakan alat panduan (guideline)
didalam melakukan penilaian selanjutnya didalam membaca kasus Ahok.
Semoga ada yang bisa membantu untuk “menjawab” pertanyaan
dan “menjernihkan” persoalan ini sehingga untuk kasus Ahok, kita dapat mengukur
terhadap pernyataan Kapolri “bekerja obyektif dan professional”. (Penulis
Advokad-Ketua Walhi Jambi)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE