Jambipos Online, Jambi-Sejumlah kalangan pesimis dengan mesin Perguruan Tinggi dalam memproduksi
tenaga kerja yang kompetitif. Dilema publik ini mencuat, seiring pengangguran
berlabel sarjana meningkat tajam.
Jumlah pengangguran
pada Februari 2016 tercatat sebanyak 70,3 ribu orang. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) Jambi menunjukkan Perguruan Tinggi menyumbang 7,56 ribu orang
pada Februari 2016, yang melonjak tajam dari 1,9 ribu orang pada Februari 2015
(yoy).
“Pengangguran dari
Perguruan Tinggi memang meningkat setiap tahunnya. Kebanyakan memang mau
mencari kerja. Tidak ingin menciptakan peluang usaha,” kata Deputi Perwakilan
Bank Indonesia Jambi, Meily Ika Permata, Kamis (6/10).
Penyerapan kerja
sarjana cenderung lambat, sambung Meily. Menurut dia, pemicu utama karena
alokasi lapangan pekerjaan yang tersedia tidak relevan dengan keahlian para
sarjana tersebut. Selain itu rendahnya kompetensi dan minimnya soft skill yang dimiliki calon tenaga
kerja.
Menurut dia, perbankan
kini telah berkonsentrasi menyalurkan kredit ke sektor mikro. Artinya, apabila mindset-nya tidak mencari kerja, maka
dapat dimanfaatkan untuk membuka usaha dengan akses permodalan dari perbankan.
"Dengan menjadi
pengusaha, selain akan berkontribusi dalam pembangunan bangsa juga menciptakan
lapangan kerja baru,” sebutnya.
Meily juga
memproyeksikan kesulitan mereka terserap dunia kerja semakin bertambah berat,
karena melakukan persaingan dengan tenaga kerja asing dari negara-negara ASEAN.
Sebagai dampak berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Selanjutnya, Ketua
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Syamsurizal Tan menuturkan tingkat
pertumbuhan ekonomi hanya 3,42 persen lebih rendah dibanding triwulan I 2015
sebesar 5,90 persen. Hal ini mendorong penurunan jumlah penduduk yang bekerja
dari 1,65 juta orang menjadi 1,62 juta pada 2016 (yoy).
Menurut dia, perguruan
tinggi perlu mendesain ulang konsep
pendidikan di kampus agar lulusannya mudah diserap industri. Kemudian,
pemerintah mengajak swasta duduk diskusi, untuk mendesain kurikulum sesuai
kebutuhan. “Bisa saja mengambil opsi menerbitkan sertifikat internasional
selama enam bulan. Dan Pencari kerja,
bisa langsung bekerja di sejumlah negara,” tegasnya.
Selanjutnya, ia menilai
banyaknya lulusan perguruan tinggi menganggur karena adanya ketimpangan antara
profil lulusan universitas dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang
dibutuhkan perusahaan.
Berdasarkan hasil studi
Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak tahun 2014
mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan
lulusan perguruan tinggi yang siap pakai.
Pengamat Ekonomi Jambi
Pantun Bukit menilai agar tingkat kesejahteraan tenaga kerja meningkat dan
menurunkan jumlah pengangguran, pemerintah memang harus detil memperhatikan
tenaga kerja. “Peningkatan ekonomi itu dipengaruhi 86 persen tenaga kerja,
kemudian 2 persen teknologi dan sisanya adalah permodalan,” sebutnya.
Semestinya tidak sulit
menekan jumlah pengangguran dari kalangan sarjana. Pasalnya program studi di
universitas sudah semakin beragam. Perbankan telah jor-joran mengucurkan usaha
mikro maupun kredit usaha rakyat (KUR). Kemudian banyak dibangun perusahaan baru
dan tingkat konsumsi masyarakat meningkat.
Kalau soal penyerapan
tenaga kerja, lanjut Pantun, penyebabnya
lulusan perguruan tinggi Jambi belum digital skill, yaitu tahu dan menguasai dunia digital. Kemudian agile thinking ability atau mampu
berpikir banyak skenario, lalu interpersonal
and communication skills atau keahlian berkomunikasi sehingga berani adu
pendapat.
Terakhir, menurut dia,
para lulusan juga harus punya global
skill. Skil tersebut meliputi kemampuan bahasa asing, bisa padu dan menyatu
dengan orang asing yang berbeda budaya, dan punya sensitivitas terhadap nilai
budaya.
Untuk diketahui,
tingginya angka pengangguran berdampak pada jumlah penduduk miskin. Jumlahnya
bertambah menjadi 289,81 ribu pada Maret 2016 yang terdiri dari 115,35 penduduk
miskin kota dan 174,46 ribu untuk penduduk pedesaan. (JP-02)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE