Jambipos Online, Jambi-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jambi meragukan
independensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait pengawasan industri keuangan.
Pasalnya, otoritas tersebut enggan menjalankan undang-undang perlindungan
konsumen secara adil dan transparan.
Menurut data YLKI Jambi, sedikitnya hampir 1.800-2.000 per tahun, konsumen
yang merugi akibat tindakan melanggar hukum pelaku industri keuangan di Jambi
seperti leasing, klaim asuransi, dan nasabah perbankan. Bahkan YLKI telah
berkali-kali mendorong OJK menjalankan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 2/SEOJK.07/2014, tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen
pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
“OJK harus berkontribusi untuk masyarakat Jambi. Kalau tidak, harus
dibubarkan saja. Karena OJK lebih memihak pelaku industri keuangan ketimbang
konsumen,” kata Ketua YLKI Jambi, Ibnu Kholdun , Kamis (29/9).
Ia mengatakan pengaduan masyarakat yang bersengketa dengan leasing
dan merasa diintimidasi oleh perilaku premanisme yang dibungkus dalam sistem
depkolektor. Pengaduan yang datang kepada YLKI, sambung Ibnu mencapai 3-5
konsumen setiap harinya. Seharusnya, OJK
terjun memediasi kedua belah pihak yang konflik.
Apalagi, lanjut dia, kontrak kemitraan antara lembaga jasa keuangan
dan konsumen bersifat fidusia atau termasuk hukum perdata. Namun pada
kenyataannya, secara sepihak, leasing melakukan penarikan paksa dari tangan konsumen.
“Kita tahu, ekonomi sedang susah. Konsumen yang mengadu rata-rata
punya iktikad baik untuk melunasi kreditnya. Tapi memang keadaan lagi sulit.
Seharusnya OJK berperan aktif dengan memberikan sanksi atau mencabut izin leasing,
yang melanggar hukum fidusia,” kata Ibnu lagi.
Ibnu pun mengaku, telah mendatangi OJK agar menjalankan
undang-undang perlindungan konsumen secara adil. Menurut dia, selama ini, OJK
hanya berfokus kepada industri keuangan, tanpa memproteksi konsumen.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi Ar Syahbandar
menekankan agar OJK menjalankan fungsinya sesuai semangat perundangan yang menginisiasi
lahirnya OJK. Sehingga kasus intimidasi, kerugian atas klaim asuransi, dan kesalahan
pada nasabah perbankan tidak merugikan konsumen.
“Kita panggil untuk mendengarkan (hearing) dari OJK dalam waktu
dekat. Kita tidak mau ada konsumen dirugikan. OJK harus pro-aktif menyelesaikan
konflik atara pelaku industri keuangan dengan konsumen,” katanya.
Selanjutnya, Syahbandar meminta OJK harus objektif dan tidak memihak
kepada pelaku usaha keuangan. Meskipun sesuai PP No 11 Tahun 2014 tentang
Pungutan oleh OJK, tiap sektor usaha wajib dipungut. Biaya pungutan tahunan
perusahaan perbankan tersebut sebesar 0,045 persen dari aset. Sedangkan anak
usahanya yang bergerak di bidang asuransi dan perusahaan pembiayaan,
masing-masing juga wajib dipungut sebesar 0,045 persen dari aset.
“Jangan takut. Iuran itu kan sudah ada undang-undang yang mengatur. Pengurusnya
jangan lemah dan merasa terintimidasi. Selain mengawasi usaha keuangan, mereka
juga harus melindungi konsumen,” tutupnya.
Sementara itu, saat wartawan hendak mengkomfirmasi
terkait kinerja OJK dalam menangani pengaduan konsumen, Agendaris Pengawas OJK
Jambi, Mayarizka Candra tidak merespon, saat dihubungi via telepon maupun SMS.
Begitu pula staf lainnya, Agus juga menolak memberikan tanggapan.
Untuk diketahui, berikut beberapa kasus kerugian konsumen yang
mencuat ke publik, dialami nasabah Bank Mega yang mengalami kerugian Rp5 miliar
karena uang di rekeningnya hilang, Senin (26/9/2016). Selanjutnya, nasabah Bank
BRI Bungo, rekeningnya dibobol hingga merugi ratusan juta, Selasa (27/9).
Selanjutnya, Depkolektor leasing PT Federal Internasional Finance
Jambi melakukan penarikan paksa motor konsumen di jalan, tepatnya di depan
kantor lurah jelutung (sabtu 18/06/16).
Kemudian konsumen atas nama Diego Richi warga Kelurahan
Pasar Atas Kecamatan Bangko. Kuat dugaan penarikan secara paksa mobilnya Minggu
(14/2), disaat mobil tersebut melintas
di kawasan jam gento sekitar pukul 13.30 WIB siang. (JP-05)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE