Sahala Tua Saragih |
Oleh: Sahala Tua Saragih
Rupanya Jakarta-sentrisme, yakni cara pandang dan berpikir
bahwa Jakarta merupakan pusat segalanya, telah menjangkiti hampir seluruh aspek
kehidupan. Terutama pergulatan politik!
Pada tahun 1980-an hingga 1990-an ada sebuah kebiasaan
buruk yang dilakukan redaksi media nasional yang berkantor pusat di Jakarta.
Para wartawan mereka yang berada di luar Jakarta (biasa disebut koresponden)
yang berprestasi sangat bagus ditarik (dipindahkan) ke Jakarta. Ini biasa
terjadi tidak hanya di media massa cetak tetapi juga media massa elektronik,
termasuk kantor berita.
Waktu itu belum populer media massa online alias dalam
jaringan (daring). Sebagian koresponden yang berprestasi bagus justru merasa
bangga ditarik ke kantor pusat karena status mereka naik dari koresponden
honorer menjadi wartawan (pegawai) tetap. Dengan status baru ini mereka setiap
bulan memperoleh gaji tetap berikut beberapa tunjangan lainnya.
Ketika berstatus koresponden setiap bulan mereka memperoleh
hanya honor per berita. Jadi, besar-kecilnya pendapatan per bulan tergantung
kepada jumlah beritanya yang dimuat/disiarkan pada bulan sebelumnya.
Tentu saja
mereka tak berhak memperoleh beberapa tunjangan seperti yang dinikmati wartawan
di kantor pusat.
Walaupun ada perlakuan diskriminatif, ternyata sebagian
koresponden yang sangat bagus tak mau pindah ke Jakarta walau berkali-kali
didesak oleh Pemimpin Redaksinya.
Bahkan ada koresponden yang ditawari jabatan
redaktur atau editor (tentu ada tunjangan jabatan) namun mereka tetap bertahan
di daerahnya masing-masing. Tentu mereka memiliki alasan masing-masing, dan
Pemred mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Waktu itu masalah ini pernah saya persoalkan kepada seorang
Redaktur Pelaksana yang membawahi daerah-daerah di luar Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Saya melontarkan beberapa pertanyaan
tajam.
“Mengapa para koresponden yang bagus ditarik ke Jakarta?
Apakah Redaksi tidak membutuhkan wartawan-wartawan bagus di daerah-daerah di
luar Jabodetabek? Mengapa Redaksi mengambil para koresponden bagus dari
berbagai daerah secara gratis?
Mengapa Redaksi dan perusahaan tidak mau
mengeluarkan uang dan berlelah-lelah untuk menarik (menerima) para calon
wartawan muda yang ada di Jabodetabek saja, lalu mendidik dan melatih mereka di
redaksi hingga siap bekerja secara profesional?
Bukankah penduduk Jabodetabek
ada belasan juta jiwa? Ini namanya Redaksi dan perusahaan mau enaknya saja,
mendapatkan sumberdaya manusia bagus tanpa usaha dan biaya.”
Waktu itu sang Redpel sambil tersenyum dengan enteng saja
menjawab pertanyaan saya. “Bukan perusahaan nggak punya uang. Bukan perusahaan
kita nggak mau keluar duit. Kalau harus mencari calon-calon wartawan muda
yang sama sekali nggak berpengalaman, prosesnya kan pasti sangat panjang.
Ntar
kita sudah capek-capek mendidik dan melatih mereka, eh, belum sampai dua tahun,
sudah kabur. Sementara para koresponden kan sudah terbukti prestasi dan
kesetian mereka selama ini kepada koran kita ini meski statusnya honorer. Untuk
apa mesti repot-repot kalau yang sudah jadi pun ada tersedia di berbagai
daerah?”
Kisah nyata lama ini ternyata kini terjadi dalam dunia
politik dan pemerintahan. Para Kepala Daerah atau Walikota di luar Jabodetabek
ditarik ke Jakarta oleh penguasa partai-partai politik (parpol) besar.
Ada dua Walikota yang dinilai berprestasi sangat bagus, yakni Walikota
Surabaya, Tri
Rismaharini (Risma) dan Walikota Bandung, Ridwan
Kamil (Emil). Kedua pemimpin yang sebenarnya bukan politisi (seperti halnya
dahulu Joko Widodo – kini Presiden) dirayu-rayu, bahkan didesak-desak untuk
bersedia menjadi calon Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta pada
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017. Hanya dua tokoh terkenal ini dianggap
saingan sepadan bagi Gubernur petahana, Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok).
Sadar atau tak sadar, para penguasa parpol-parpol
besar di Jakarta itu telah mengadu domba rakyat daerah, terutama rakyat Kota
Surabaya dan Jakarta.
Sebagian rakyat di daerah itu dengan berbagai aksi
merayu-rayu, bahkan mendesak-desak Risma untuk bertarung di Pilkada Jakarta
tahun depan. Akan tetapi sebagian rakyat Surabaya justru berdemonstrasi.
Mereka mendesak agar Risma tidak meninggalkan tugasnya di
Surabaya. Rakyat Kota Bandung beruntung karena Emil cepat-cepat dengan tegas
dan konsisten menolak permintaan parpol-parpol besar itu.
Alasannya sangat
cerdas, daerah-daerah di luar Jakarta juga membutuhkan pemimpin yang diharapkan
mampu membangun daerah masing-masing. Bukan hanya Jakarta yang perlu
dibangun, katanya tegas.
Sebenarnya Risma juga telah berkali-kali menyatakan emoh
pindah ke Jakarta, namun penguasa parpol besar itu terus merayu dan mendesaknya
untuk bertarung dengan Ahok dalam Pilkada Jakarta tahun depan.
Apalagi setalah
Risma menggunakan istilah “tergantung kepada takdir Tuhan”. Ini dimaknai
bahwa hati Risma telah luluh, dan akan bersedia bertarung dengan Ahok kelak.
Sadar atau tak sadar, sesungguhnya realitas ini dengan
jelas membuktikan kegagalan para penguasa parpol-parpol besar itu melahirkan
kader-kader (politisi-politisi) yang sangat bagus, yang berkompeten menjadi
Gubernur ibukota republik ini.
Banyak orang dengan sinis kerap bertanya, apa sih kerja
para penguasa di Dewan Pemimpin Pusat (DPP) parpol-parpol itu? Koq melahirkan
satu kader bagus untuk jabatan Gubernur saja tak sanggup mereka lakukan? Koq
bisanya cuma mengambil pemimpin bagus dari daerah tanpa berkeringat?
Masakan dari
sekian banyak anggota (kader) parpolnya tak satu pun yang layak bertarung
dengan Ahok? Mengapa parpol-parpol zaman dahulu sanggup melahirkan kader-kader
hebat, yang mampu menjadi pemimpin-pemimpin nasional dan internasional,
berkelas negarawan pula?
Masih Jakarta Sentrisme
Sejak merdeka bangsa kita senantiasa mengakui bahwa
Indonesia sangat beraneka dalam berbagai hal. Pada era Orde Baru (Orba) ada
program delapan jalur pemerataan. Rezim Orba memang telah lama tumbang. Sejak
2001 secara hukum formal kita telah memberlakukan otonomi daerah.
Akan tetapi
fakta terbaru membuktikan bahwa Jakarta sentrisme masih tetap diberlakukan.
Jakarta harus nomor satu. Jakarta harus menjadi patokan atau tolok ukur baku
untuk semua daerah dalam segala hal. Semua daerah dilihat dari sudut Jakarta
belaka.
Oleh karena itu sebagian besar mutlak “gula” pembangunan di
berbagai sektor kehidupan ditaburkan di Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta. Ini
jelas merangsang semakin banyak “semut” berlomba-lomba berusaha untuk menikmati
“gula” yang ditaburkan di Jakarta. Di kota megapolitan ini menjadi pengemis pun
bisa kaya.
Banjir urbanisasi pun semakin lama semakin parah.
Memang
betul, sebagai ibukota negara, Jakarta merupakan milik seluruh rakyat
Indonesia. Akan tetapi pemerintah telah berlaku tidak adil terhadap
daerah-daerah di luar Jakarta, terutama daerah di luar Pulau Jawa.
Di Jakarta
terus dibangun jembatan-jembatan tinggi dan lebar, padahal di bawahnya tak ada
sungai, sementara di luar Jakarta, terutama yang jauh dari kota-kota besar,
banyak sekali sungai tanpa jembatan. Jakarta yang telah sangat maju dan makmur
terus dipacu pembangunannya, sedangkan banyak daerah tak kebagian “gula”
pembangunan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada tahun
2014 indeks pembangunan manusia (IPM) Jakarta tetap di peringkat pertama dan
terus meningkat dari tahun ke tahun, yakni 78,39. Bandingkan dengan IPM Jawa
Timur yang hanya 68,14, Jawa Barat 68,80, Jawa Tengah 68,78, Nusa Tenggara
Barat hanya 64,31, Nusa Tenggara Timur 62,26, dan Kalimantan Barat 64,89. Fakta
lainnya juga membuktikan, pada tahun 2015 di antara 9,7 juta penduduk Jakarta
yang tergolong miskin cuma 368.000 orang (3,79%), sedangkan yang masih buta
huruf tinggal 167.810 orang (1,73%) saja.
IPM merupakan tolok ukur kuantitatif tentang sejauh mana
masyarakat mendapatkan akses hasil pembangunan dalam hal pendapatan, kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain. Ada tiga dimensi dasar pengukuran IPM yaitu umur
panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup yang layak.
IPM merupakan
indikator penting untuk mengukur keberhasilan pemerintah suatu daerah dalam
membangun kualitas hidup masyarakatnya. Semakin tinggi angka IPM daerahnya
berarti semakin berkualitas kehidupan masyarakatnya.
Sebagai perbandingan, lihatlah data Jawa Timur. Penduduknya
37,4 juta. Sebanyak 4,7 juta orang (12,56%) di antaranya tergolong miskin.
Penduduknya yang masih buta huruf 10.846.000 orang (29%). Bayangkan! Ini
sungguh menyedihkan.
Bandingkan pula dengan Jawa Barat. Daerah tetangga Jakarta
ini berpenduduk 43 juta jiwa (tahun 2010). Tahun lalu 4,4 juta (10,23%)
penduduknya tergolong miskin. Masih ada 3.323.900 (7,73%) penduduknya yang
masih buta huruf. Bayangkan! Ini sungguh tragis. Dapat kita perkirakan nasib
daerah-daerah yang sangat jauh dari Pulau Jawa.
Bila para penguasa parpol-parpol besar di Jakarta itu
menyadari keadaan yang sangat timpang ini, seharusnya mereka cepat sadar untuk
tidak menyeret-nyeret para pemimpin bagus di daerah-daerah ke Jakarta untuk
bertarung dengan Ahok dalam Pilkada tahun depan.
Lagi pula yang akan mengadakan Pilkada satu-dua tahun lagi
bukan hanya Jakarta. Kita yakin sekali, masyarakat Jawa Timur niscaya
membutuhkan Gubernur baru nanti sekelas Risma. Masyarakat Jawa Barat pun pasti
membutuhkan Gubernur baru kelak sekelas Emil.
Melalui media ini kita mengimbau dan sangat mengharapkan,
agar semua pihak, terutama para petinggi di DPP parpol-parpol di Jakarta, harus
sadar bahwa Indonesia bukan Jakarta saja. Bukan Jakarta belaka yang membutuhkan
pemimpin (kepala daerah) yang jujur, tulus, pintar, dan tegas. Bukan hanya
warga Jakarta yang berhak menikmati berbagai fasilitas umum dengan mudah dan
murah, bahkan gratis.
Bukan hanya orang Jakarta yang boleh maju dan makmur. Semua
warga negara ini di manapun berada berhak lepas dari penjajahan dan belenggu
keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan, termasuk buta aksara. Setiap warga
berhak penuh hidup merdeka, aman, nyaman, dan sejahtera.
“Gula” pembangunan
harus ditaburkan secara adil dan merata ke semua daerah di ke-34 provinsi. Dengan
demikian, arus urbanisasi ke kota megapolitan dan kota-kota metropolitan dapat
direm, bahkan dihentikan. ***(Penulis adalah dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad Jatinagor dan Mantan Wartawan Sejumlah Media Nasional.)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE