Perkawinan Adat Batak Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih |
Jambipos Online-Didalam berbagai pranata adat, masih
dikenal perkawinan yang dilarang. Di adat Batak selain tidak
diperkenankan perkawinan sesama Marga (Mariboto), maka dikenal juga
perkawinan yang dilarang dalam ikrar tertentu (Marpadan). Misalnya
Hutabarat dan Silaban, Manullang dan Panjaitan dan seterusnya. Atau
tidak boleh menikah anak perempuan dari Saudara perempuan dari Ayah
(Berpariban).
Di Minangkabau juga dikenal perkawinan dilarang.
Terutama perkawinan sesuku. Begitu juga dengan perkawinan yang dilarang
“sasuku-saparuik”. Begitu juga perkawinan yang dilarang “sapasuan”.
Di Jambi, terutama di Marga Pelawan juga dikenal perkawinan yang
dilarang . Seperti perkawinan yang dilarang yang dikenal “Memutuskan
(Mewali). Perkawinan ini adalah kedua sepasang pengantin berasal dari
besan sama-sama laki-laki yang bersaudara.
Perkawinan dilarang disebabkan, para besan merupakan “memutuskan” dan bertindak sebagai wali.
Dengan demikian, maka “Adik perempuan kau”, atau “Anak sanak betino”
dilarang menjadi penghalang perkawinan. Peraturan ini sangat ketat dan
sangat dilarang. Marga Pangkalan Jambu juga mengenal perkawinan yang
dilarang .
Fungsi Kepala Dusun yang kemudian memutuskan sehingga
tidak bisa dilaksanakan perkawinan. Begitu pentingnya Kepala Dusun
untuk “memastikan” proses perkawinan, maka Kepala Dusun dapat mengukur
dan menilai dari derajat keluarga dari dusunnya. Sehingga tidak salah
kemudian Kepala Dusun dikenal “Anak Jantan. Anak Betino”.
Artinya,
Kepala Dusun dapat bertindak sebagai “mengetahui” anak Jantan dan anak
Betino” dari derajat keluarga dari masing-masing calon pengantin.
Sehingga Kepala Dusun bertindak sebagai “filter” untuk menghindarkan
terjadinya perkawinan yang dilarang.
Begitu juga perkawinan yang
dilarang dimana hubungan antara kedua besan merupakan saudara sama-sama
perempuan. Biasa dikenal dengan istilah “Purbo sikso”. Walaupun
kemudian dilaksanakan perkawinan, maka dapat dijatuhi sanksi adat berupa
“kambing sekok. Beras 20, selemak semanis”.
Sanksi begitu
tegas. Sehingga terhadap sanksi yang dijatuhkan ternyata tidak dibayar
oleh keluarga besar (kalbu/guguk/kaum), maka terhadap seluruh prosesi
perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Kepala Dusun begitu berfungsi
sehingga prosesi perkawinan yang tidak dapat dilaksanakan dengan istilah
“tidak diulur antar’. Terhadap proses perkawinan yang kemudian tidak
dilaksanakan, maka prosesi perkawinan tidak dapat dilaksanakan di dusun.
Sedangkan di Marga Pangkalan Jambu juga mengenal dengan istilah
“Purbo Pusako”. Dengan pengertian, kedua mempelai merupakan pembawa
pusako dari kalbu.
Kalbu adalah Satu keturunan besar. Istilah Kalbu terdapat di berbagai Marga atau Batin di berbagai tempat di Jambi.
Di daerah Kotamadya Jambi selain kalbu juga mengenal “guguk’. Kalbu atau “Guguk”
mengingatkan sistem kekerabatan di Sumatera Barat. Sering disebut Kaum.
Kaum dikenal di Muko-muko (Bengkulu), Kerinci dan dataran tinggi di
Merangin.
Sedangkan terhadap perkawinan yang dibenarkan biasa
dikenal “Anak Bako”. Anak bako adalah tali kerabat induk bako anak
pisang adalah hubungan antara seorang perempuan dengan anak-anak saudara
laki-laki ibunya atau sebaliknya .
Menurut Zulyani Hidayah ,
Pihak pemberi lelaki (Sumando) bagi seorang anak disebut bako. Sedangkan
pihak penerima lelaki disebut anak pisang. Ikatan kekerabatan secara
adat antara pihak bako disebut pasumandan. Chairul Anwar didalam
bukunya “Menindjau Hukum Adat Minangkabau”, juga menyebutkannya“ .
Begitu juga didalam buku “Hukum Kekerabatan Adat, Hilman Hadikusuma
menyebutkannya .
Perkawinan demikian lazim disebut sebagai
pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ke mamak berarti mengawini
anak mamak, sedangkan pulang ke bako ialah mengawini kemenakan ayah. A.A
Navis menyebutkannya “Perkawinan Ideal”. (Penulis: Musri Nauli)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE