Musri Nauli (kedua dari kiri).Ist |
Jambipos Online-Akhir-akhir ini, saya sering “kesal” membaca status di
FB, twitter, laporan, narasi bahkan pengajuan skripsi (untung aja tidak
tesis). Kekesalan dimulai dari penggunaan tanda baca, tema yang
ditawarkan, hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain, ide yang
berserakan hingga penulisan yang mengganggu makna.
Yang menulis
tidak hanya masyarakat kebanyakan. Bahkan “oknum” (kok pakai oknum, ya)
di Pemerintahan, ketua partai, “oknum” anggota DPRD (lagi-lagi pakai
oknum), timses, mahasiswa hingga masyarakat kebanyakan.
Bayangkan. Bagaimana mau membaca dengan baik, membaca tulisan sampai
tiga baris tidak menggunakan tanda baca (entah koma atau titik),
penggunaan tanda baca yang “tidak pas”, penggunaan capital, penggunaan
imbuhan, bahkan terkadang bahasa lisan kemudian “dijadikan” bahasa
tulisan.
Dari elaborasi yang saya tangkap, maka saya kemudian
berusaha “memotret” terhadap kesalahan fatal yang semestinya tidak perlu
terjadi.
Pertama. Judul. Didalam menulis untuk opini, status di
FB/twitter tentu saja berbeda dengan judul untuk karya ilmiah, laporan,
riset ataupun untuk tulisan “sedikit serius”.
Entah “terlalu
semangat’, Judulnya “cukup keren” namun melupakan kaidah-kaidah
penulisan sesuai dengan panduan menulis menurut Bahasa Indonesia.
Judul merupakan “identitas’. Pilihan kalimat “bombastis” kadang
diperlukan untuk “menarik minat pembaca”. Namun judul diperlukan sebagai
bahan pilihan (standing) dari penulis.
Menulis judul untuk “novel” ataupun sastra tentu saja berbeda dengan tulisan opini ataupun ilmiah popular.
Untuk ilmiah popular ataupun opini, diusahakan “padat”, tegas, pendek
namun tetap menarik minat pembaca. Usahakan “menghindarkan” istilah
asing. Apabila tidak bisa dihindarkan, maka berikan catatan kaki,
sehingga pembaca diberikan kesempatan untuk menentukan. Apakah mau
meneruskan membaca ataupun menghentikan minat pembaca.
Kadangkala kita tidak bisa memisahkan Judul untuk presentasi dengan
judul untuk bahan tulisan. Tentu saja judul di bahan presentasi
menggunakan powerpoint “diusahakan” 3-4 kalimat. Menggigit.
Saya
pernah melihat bahan presentasi dari lembaga nasional, hanya “copy
paste” bahan tulisan kedalam powerpoint. Sangat mengganggu. Sehingga
“terkesan” penggunaan powerpoint cuma “tempelen”. Sayang sekali.
Judul yang menarik akan membawa “alam kesadaran intelektual” didalam
melihat pemaparan. Dengan judul yang menarik akan “membawa” pembaca
“larut” dengan tema yang ditawarkan.
Judul tentu saja tidak
boleh mengganggu substansi. Saya pernah membaca judul dari media online
“Gadis cantik tewas karena kecelakaan’.
Judul itu akan
mengganggu makna beritanya. Apakah “didalam” melihat berita kematian
akibat kecelakaan, makna “cantik” kemudian digunakan untuk melihat
peristiwa menyedihkan.
Apakah tidak mengganggu pikiran pembaca.
Pembaca kemudian menjadi “berfikir’. Se-cantik” mana gadis yang
mengalami kecelakaan ? Pembaca kemudian menerawang. Apakah gadis yang
mengalami kecelakaan namun diberikan “pretense” penilaian oleh penulis
“cantik” sehingga berita menjadi bias.
Kedua. Alur tulisan.
Tulisan yang baik akan “menuntun” memahami alur masing-masing pikiran
penulis. Tulisan yang baik mengalir “bak air sungai”. Tenang, paham
namun terus mengalir hingga membaca hingga akhir tulisan.
Tentu saja dibutuhkan “kerajinan” dan kemampuan mengasah tulisan hingga dapat menentukan irama tulisan.
Sebagaimana sering disampaikan oleh para ahli, gaya tulisan
mempengaruhi penulis. Ada penulis yang memulai dengan tulisan dengan
peristiwa mengerikan. Ada yang memotret dari sudut yang luput dari
pengamatan. Ada yang langsung menohok pembaca. Namun ada yang memaparkan
angka-angka yang mencengangkan. Kesemuanya mempunyai karakter.
Tidak ada satupun yang bisa mencapai kesemuanya dengan baik. Namun kita
bisa menilai tulisan Hamka, tulisan Anies Baswedan, tulisan Hatta,
Syahrir, Tan Malaka, Gunawan Muhammad ataupun Ayu Utami. Kesemuanya
mempunyai karakter kuat didalam tulisan.
Menemukan gaya tulisan
dibutuhkan “waktu” renungan yang panjang, proses yang lama hingga
pendalaman penguasaan dan sudut pandang dari penulis.
Ketiga.
Penggunaan tanda baca. Ini masalah yang paling sering ditemukan. Padahal
pelajaran Bahasa Indonesia diajarkan dari Kelas 1 SD hingga perguruan
tinggi. Namun kaidah-kaidah dasar saja masih sering ditemukan.
Permulaan kalimat masih sering ditemukan tidka menggunakan huruf kapital. Begitu juga kalimat setelah tanda baca titik.
Saya sering mengajak yang menulis untuk membaca tulisannya sendiri.
Usahakan membaca dengan penghitungan waktu menarik nafas. Nah. Cara ini
cukup berhasil.
Dalam praktek, tulisan yang baik hanya bisa
dituliskan paling-paling satu setengah halaman. Setelah itu nafas kita
tidak bisa membaca tulisan itu.
Maka gunakan tanda baca titik. Ataupun
tanda baca koma yang kemudian diakhiri tanda baca titik pada kesempatan
selanjutnya.
Masih banyak ditemukan kesalahan fatal didalam kita
membaca tulisan. Mungkin karena kita menguasai Bahasa Indonesia, maka
pelajaran Bahasa Indonesia sering diabaikan sehingga praktis materinya
kemudian tidak menjadi perhatian.
Keempat. Penggunaan kata lisan
menjadi tulisan. Entah memang “tidak tahu”, seringkali penulisan kata
lisan namun kemudian tetap dituliskan didalam bahasa tulisan.
Kata-kata “ngga” seringkali ditemukan. Baik dituliskan “ngga”, “nggak”, ngak” ataupun kata lain.
Padahal Bahasa Indonesia sudah menegaskan kata “tidak” atau “tak” (tergantung konteks dan pesan yang disampaikan”.
Begitu juga kata “segerah”, “ruma”, “rubah”. Kesalahan fatal ini masih sering ditemukan.
Atau masih rancu menggunakan kata 'sanksi" sebagai hukuman dengan kata
sangsi yang bermakna "ragu-ragu'. Pembaca mehamami maksud dari sang
penulis. Namun ketika menggunakan kata "Sangsi' bermaksud "sanksi"
justru, sang penulis tidak memahami kaidah-kaidah bahasa Indonesia
dengan baik.
Kelima. Struktur tulisan. Dalam praktek masih
sering ditemukan. Antara struktur satu dengan struktur lain sering
“bertabrakan”, mengulangi hingga berputar-putar.
Padahal dengan struktur yang baik, pembaca paham dengan maksud dari penulis.
Terlalu banyak cerita yang terbuang percuma karena keengganan kita
membacanya. Terlalu banyak cerita yang bagus namun kita malas terus
membacanya. Sayang sekali memang.
Keenam. Teknik Penulisan.
Kuasai teknis penulisan. Kalau malas beli buku ataupun mengulangi
pelajaran sekolah, buka internet. Disana banyak sekali “berseliweran”
panduan untuk menulis.
Tulisan yang baik haruslah disiplin
didalam “logis, sistematis, struktur”. Tidak ada satupun tulisan yang
baik yang tidak disiplin dengan teknik seperti itu.
Selain itu,
setiap paragraph hanya memuat satu ide. Ide disusun bisa saja
menggunakan berbagai konsep. Untuk memudahkan, maka konsep maka
diusahakan satu paragraf. Apabila ide kita banyak, maka bagilah beberapa
paragraph.
Didalam satu paragraf, maka ada kalimat utama dan
kalimat penjelas. Bisa kita memulai dengan kalimat utama. Ataupun bisa
saja kita memberikan kalimat penjelas barulah diakhiri kalimat utama.
Kesemuanya “memerlukan” keterampilan yang harus diasah terus menerus.
Penulis yang baik tidak pernah puas terhadap tulisan terakhirnya.
Penulis harus gelisah dan terus memperbaiki tulisannya dan terus
memotret persoalan disekitarnya.
Ketujuh. Buatlah kerangka
karangan (outline). Penulis yang baik selalu membuat kerangka karangan.
Baik dituliskan sebelum membuat tulisan, membuat catatan kecil hingga
coretan di buku (bahkan fasilitas handphone telah menyediakan “note).
Dengan membuat “outline’, maka pikiran kita kemudian “dituntut” agar
tertib, disiplin didalam menjaga alur, tidak melompat dan berputar-putar
ataupun tulisan yang saling bertabrakan.
Kedelapan. Menulis
adalah kompas perjalanan waktu, sebagai “obor’ terhadap tema tertentu
sekaligus “mengukur” kemampuan berfikir pada waktu tertentu.
Saya pernah mengalami diskusi yang panjang dengan berbagai komunitas.
Namun setiap pendapat saya, saya selalu “melampirkan” tulisan yang
pernah saya tuliskan.
Dengan melampirkan tulisan, saya kemudian
memberikan pesan, tema ataupun pandangan saya terhadap peristiwa
tertentu, telah saya uraikan panjang lebar sehingga saya berharap,
diskusi menjadi produktif.
Dengan membaca tulisan lama, maka kita
bisa memahami sebuah peristiwa (dari sudut pandang suasana psikologis
ketika tulisan dibuat). Suasana ini memberikan kenangan dan pandangan
lebih lengkap dari sebuah peristiwa yang lampau.
Baik karena
suasana kegembiran ataupun suasana “gundah” ketika tulisan dibuat. Rasa
dan kenangan terhadap tulisan yang telah lama kita buat, membuat kita
merasa “melayang-layang” jauh dan membangkitkan semangat baru.
Kesembilan. Disiplin menulis. Tidak satupun penulis yang berhasil tanpa
ketekunan. Dengan ketekunan, maka kemampuan semakin terasah. Ibarat
pisau, otak setiap hari harus diasah agar tetap tajam, insting terasah
dan disiplin untuk terus menulis.
Menulis segala sesuatu dari
berbagai sudut. Memotret dari segala sisi. Entah bunga mawar yang
berbeda dilihat dari berbagai penulis (mawar bagi sastrawan, mawar bagi
ahli biologi, mawar dari sang penakluk cinta). Atau bulan (dari sudut
orang jatuh cinta, dari pengamatan ahli astronomi ataupun dari hati sang
pujangga).
Buatlah website (kalau malas mengeluarkan uang,
bikinlah blog gratis yang berserakan di dunia interneter). Kalau bisa
diusahakan setiap hari.
Atau Usahakan setiap minggu satu tulisan. Nanti
kalau hati gundah, bukalah blog. Ataupun kalau lagi gembira (mendapatkan
rejeki nomplok), tuliskanlah hingga kita bisa membaca perjalanan waktu
kehidupan.
Saya bertemu dengan orang yang menulis sangat dalam,
hebat dan membumi. Daya getarnya menggigit relung kehidupan. Namun
ternyata, sang penulis sangat tidak disiplin. Entah kesibukan atau
mungkin hendak menulis dengna serius, maka tulisan yang baik kemudian
tidak banyak saya temukan lagi.
Asalah terus menerus. Ingat.
Menulis bukanlah “sekedar pengetahuan’. Menulis adalah keterampilan.
Karena itu, asalah setiap hari. Dimulai satu kalimat setiap hari.
Kemudian disiplin mengisi satu tulisan setiap minggu.
Tidak perlu bermimpi menjadi penulis yang hebat ataupun terkenal. Menulis adalah “keresahan” ataupun kegembiran kita.
Kesebelas. Menulis adalah peradaban. Seluruh manusia memerlukan
menulis. Entah buat status FB/twitter, menulis gagasan, membuat
proposal, membuat karya ilmiah, membuat buku, membuat laporan, membikin
perjalanan (touring) ataupun sekedar mengundang acara “yasinan” di
kampung.
Saya pernah bertemu dengan seseorang yang berbicara
berapi-api, menggelegar, gagasannya keren, penggunaan katanya “ok”,
solusinya kongkrit. Pokoknya keren banget.
Namun ketika diminta menuliskan gagasannya. mulai keluar keringat dingin bahkan untuk menyelesaikan satu halamanpun tidak pernah selesai.
Ataupun
seseorang yang suka berdebat di millist. Menggunakan literature barat,
menggunakan istilah yang “bikin puyeng’. Namun menyelesaikan “paper
brief” cuma satu setengah halaman aja tidak pernah kelar.
Sementara disisi lain, ketika berbicara pelan, santun dan cenderung
tidak mau frontal. Namun ketika menulis, entah “energi” apa yang
digunakan sehingga bisa membawa ke berbagai tempat cakrawala yang luput
dari pembicaraan. Kekagetan yang dituliskannya kemudian memberikan
apresiasi saya kepadanya daripada sang pembicara yang berapi-api
sebelumnya.
Meminjam istilah Pramoedya Ananta Noer “Orang boleh
pandai setinggi langit. Selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam
masyarakat. Dan dari sejarah, menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Atau Hamka “Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan
ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya.
Bagi saya. menulis adalah “kegelisahan’, memoir perjalanan,
kegembiraan, optimism terhadap kehidupan dan kesempatan saya untuk
menggali satu tema tertentu terhadap sebuah peristiwa.
Saya
tidak pernah bermimpi menjadi penulis besar. Karena menulis adalah
“menggunakan” otak saya agar tidak tumpul. Agar kegembiraan selalu saya
rasakan ketika tulisan dipublish ataupun cuma dikotakkan didalam blog
pribadi. Itu lebih kebahagian dibandingkan kekayaan lain.
Dengan
menulis, saya kemudian terus belajar. Saya terus membaca dan “dipaksa”
menuangkan gagasan disaat sebagian orang kemudian memilih tidur cepat.
Dengan menulis, saya tetap bergembira dan memandang hidup dengan hati
nan riang gembira.
Agar Indonesia tidak dicatat cuma “bom”,
konflik agama, intrik politik, berita hoax, kasus korupsi/narkoba
ataupun diskusi yang tidak produktif.
Indonesia terlalu indah
dan sayang sekali tidak dituliskan. Indonesia adalah zamrud
khatulistiwa. Meminjam istilah Ikhsan Skuter “Tuhan mengeluarkan segala
kemampuannya untuk menciptakan Indonesia”.
Mengapa keindahan Indonesia tidak kita tuliskan dari seluruh penjuru nusantara.(Penulis Musri Nauli)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE