Jambipos Online-Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Agustus 2016 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day
Reverse Repo Rate (BI 7-day RR Rate) sebesar 5,25%,
dengan Suku bunga Deposit Facility (DF) sebesar 4,50% dan Lending Facility (LF) diturunkan sebesar 100 bps dari 7,00% menjadi sebesar 6,00%.
Sebagaimana
telah diumumkan pada tanggal 15 April 2016, untuk meningkatkan
efektivitas transmisi kebijakan moneter, terhitung mulai hari ini Bank
Indonesia menggunakan
BI 7-day RR Rate sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI Rate[1].
Selain itu, Bank Indonesia juga akan menjaga koridor suku bunga yang
simetris dan lebih sempit, yaitu batas bawah koridor (DF Rate) dan batas
atas koridor (LF Rate) berada masing-masing 75 bps di bawah dan di atas
BI 7-day
RR Rate.
Keputusan
tersebut di atas sejalan dengan upaya untuk menjaga stabilitas
makroekonomi dengan tetap memelihara momentum pertumbuhan ekonomi
domestik di tengah masih melemahnya pertumbuhan ekonomi global.
Bank
Indonesia
memandang bahwa dengan terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya
inflasi yang terkendali pada kisaran sasaran, defisit transaksi berjalan
yang membaik, dan nilai tukar yang relatif stabil, maka ruang bagi
pelonggaran moneter masih terbuka.
Bank Indonesia
akan mencermati kondisi ekonomi domestik dalam jangka pendek ke depan
serta perkembangan perekonomian global, terutama kemungkinan kenaikan
suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate).
Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan
Pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
melalui percepatan implementasi reformasi struktural. Bank Indonesia
juga berkoordinasi dengan Pemerintah menyiapkan langkah
kebijakan yang antisipatif agar implementasi UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dapat berjalan baik dan mendukung upaya penyesuaian fiskal yang dilakukan oleh Pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan masih belum menguat.
Meskipun
membaik akibat peningkatan konsumsi dan perbaikan sektor tenaga kerja,
ekonomi AS pada triwulan II 2016 tumbuh di bawah perkiraan seiring
dengan investasi yang masih melambat.
Perkembangan ekonomi
AS tersebut masih dibayangi oleh ketidakpastian, sehingga kenaikan
Fed Fund Rate (FFR) pada 2016 diperkirakan akan dilakukan hanya
satu kali dalam 2016. Sementara itu, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh
moderat, dibayangi oleh ketidakpastian pasca Brexit.
Demikian pula
ekonomi Tiongkok diperkirakan masih tumbuh terbatas
karena investasi publik belum dapat memberikan dorongan pada sektor
swasta yang masih menghadapi
overcapacity dan tingginya utang korporasi.
Di sisi lain, di
pasar komoditas, harga minyak dunia mulai meningkat meskipun masih
rendah. Harga beberapa komoditas ekspor Indonesia juga membaik, seperti
CPO, batubara, dan timah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pada triwulan II 2016, meskipun belum merata baik
secara spasial maupun sektoral.
Pertumbuhan
ekonomi pada triwulan II 2016 mencapai 5,18% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,91% (yoy).
Meningkatnya
kinerja ekonomi pada triwulan II 2016 didorong
oleh meningkatnya permintaan domestik, terutama konsumsi dan investasi
pemerintah serta konsumsi rumah tangga. Stimulus fiskal dan kebijakan
moneter yang longgar mulai memberi daya dorong terhadap konsumsi
pemerintah dan konsumsi swasta.
Secara spasial, pertumbuhan
ekonomi pada triwulan II 2016 didorong oleh peningkatan pertumbuhan di wilayah Jawa
dan Sumatera, sementara pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih melemah.
Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi ditopang oleh sektor jasa
keuangan dan pertanian. Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan
pertumbuhan ekonomi masih akan terjaga dengan baik, didukung oleh
pelonggaran kebijakan moneter dan makropudensial yang telah ditempuh
dan percepatan implementasi Paket Kebijakan Pemerintah.
Namun, di sisi
lain, penghematan belanja pemerintah pada semester II
2016 berpotensi menurunkan pertumbuhan
tahun ini. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi untuk
keseluruhan 2016 diperkirakan akan berada di kisaran 4,9-5,3% (yoy),
sedikit lebih rendah dari kisaran sebelumnya, yaitu
5,0 – 5,4% (yoy).
Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan II 2016 mencatat surplus, ditopang
oleh menurunnya defisit transaksi berjalan dan meningkatnya surplus
transaksi modal dan finansial.
Surplus NPI tercatat sebesar US$2,2 miliar, setelah pada triwulan
sebelumnya mengalami defisit sebesar US$0,3 miliar.
Perkembangan ini
menunjukkan keseimbangan eksternal perekonomian yang semakin baik dan
turut menopang terjaganya stabilitas makroekonomi.
Defisit transaksi berjalan menurun dari US$4,8 miliar (2,2% PDB) pada
triwulan I 2016 menjadi US$4,7 miliar (2,0% PDB) pada triwulan II 2016.
Penurunan tersebut ditopang oleh kenaikan surplus neraca perdagangan
nonmigas akibat peningkatan ekspor nonmigas yang
lebih besar dari peningkatan impor nonmigas.
Kenaikan kinerja ekspor
nonmigas terutama didukung oleh peningkatan ekspor produk manufaktur. Di
sisi lain, neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2016 mencatat surplus
sebesar 0,60 miliar dolar AS. Sementara itu,
surplus transaksi modal dan finansial pada triwulan II 2016 meningkat
dan
mencapai US$7,4 miliar, didukung oleh persepsi positif investor terhadap
prospek perekonomian domestik dan meredanya ketidakpastian
di pasar keuangan global.
Peningkatan tersebut terutama ditopang oleh
aliran masuk modal investasi portofolio. Adapun posisi cadangan devisa
pada akhir Juli 2016 tercatat sebesar 111,4 miliar dolar AS atau setara
8,5 bulan impor atau 8,2 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut berada di atas standar
kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Penguatan rupiah berlanjut seiring dengan persepsi positif atas prospek perekonomian domestik dan meredanya risiko eksternal.
Selama triwulan II 2016 nilai tukar Rupiah, secara rata-rata, menguat sebesar 1,59% dan mencapai level Rp 13.313 per dolar AS.
Penguatan nilai tukar rupiah terus berlanjut di bulan Juli 2016 sebesar 1,72%
dan
ditutup di level Rp13.112 per dolar AS.
Dari sisi domestik, penguatan
rupiah didukung oleh persepsi positif investor terhadap prospek
perekonomian domestik sejalan dengan terjaganya stabilitas makroekonomi
di samping implementasi UU Pengampunan Pajak.
Dari sisi eskternal,
penguatan Rupiah didorong oleh meredanya risiko di pasar keuangan global
terkait dengan terbatasnya dampak Brexit dan perkiraan penundaan
kenaikan FFR oleh the Fed. Ke depan, Bank Indonesia
akan tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai
fundamentalnya.
Inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran inflasi 2016, yaitu 4±1%.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli 2016 tercatat sebesar
0,69% (mtm)
atau 3,21% (yoy). Inflasi IHK pada periode Idul Fitri tahun ini cukup
terkendali dan lebih rendah dibandingkan rata-rata inflasi periode Idul
Fitri dalam empat tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari berbagai
kebijakan yang ditempuh Pemerintah serta koordinasi
yang kuat antara Pemerintah dan Bank Indonesia dalam menghadapi Idul
Fitri.
Terkendalinya inflasi terutama bersumber dari inflasi komponen
volatile foods (VF) yang terjaga dan inflasi komponen inti yang rendah.
Inflasi komponen VF lebih rendah dari rata-rata
inflasi VF pada periode Idul Fitri dalam empat tahun terakhir.
Hal ini
didorong oleh menurunnya harga sejumlah komoditas pangan di tengah
meningkatnya permintaan terkait Hari Raya Idul Fitri. Di sisi lain,
inflasi komponen administered prices (AP) terutama
didorong oleh kenaikan tarif angkutan udara, tarif angkutan antar kota
dan tarif kereta api. Sementara itu, inflasi inti tercatat cukup rendah,
yaitu sebesar 0,34% (mtm) atau 3,49% (yoy).
Kondisi tersebut sejalan
dengan masih terbatasnya permintaan domestik,
menguatnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya ekspektasi inflasi. Ke
depan, koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi akan terus dilakukan, khususnya mewaspadai tekanan
inflasi VF akibat dampak fenomena La Nina. Dengan
perkembangan tersebut, inflasi pada akhir tahun 2016 diperkirakan akan
berada dalam kisaran sasaran inflasi 2016.
Sistem
keuangan tetap stabil dengan ketahanan sistem perbankan yang terjaga
didukung permodalan yang kuat dan likuiditas yang memadai.
Pada akhir Triwulan
II 2016, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) tercatat
sebesar 22,3% dan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK)
berada pada level 20,3%, sementara rasio kredit bermasalah (Non
Performing Loan/NPL) berada di kisaran 3,1% (gross)
atau 1,5% (net). Transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur
suku bunga terus berlangsung, tercermin dari berlanjutnya penurunan suku
bunga deposito dan suku bunga kredit. Sementara itu, transmisi melalui
jalur kredit belum optimal, terlihat dari
pertumbuhan kredit yang masih terbatas.
Pertumbuhan kredit tercatat
sebesar 8,9% (yoy), meningkat dari pertumbuhan triwulan sebelumnya
sebesar 8,7% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK)
pada akhir triwulan II 2016 tercatat sebesar 5,9%
(yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya
sebesar 6,4% (yoy).
Bank Indonesia meyakini pelonggaran kebijakan
moneter dan makroprudensial yang dilakukan serta implementasi UU
Pengampunan Pajak dapat meningkatkan pertumbuhan kredit guna
mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.(Rel)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE