Jambipos Online, Jambi-Ketika Jokowi meresmikan
terminal bandara baru di Jambi dengan menetapkan Nama Sultan Thaha Airport secara
sekilas disambut gegap gempita rakyat Jambi. Kedatangan Jokowi kemudian
disambut “bak Raja” yang memberikan harapan kepada rakyat Jambi.
Namun menetapkan Sultan Thaha Airport sebelumnya disebut Sultan Thaha Saifuddin menimbulkan masalah.
Pertama. Dalam laporan Snouck Hurgronje kepada Gubernur Jenderal
Batavia tanggal 26 Januari 1900, “sengaja” untuk menyingkat nama Sultan
Thaha dari semula Sultan Thaha Syaifuddin bukan semata-mata cuma urusan
administrasi. Namun semata-mata “menghilangkan identitas Kerajaan Jambi”
yang sudah bercorak Islam.
Belanda khawatir dengan “kekuatan
jaringan bisnis Islam” yang pada awal 20-an sudah membangun solidaritas
dan semangat Negara-negara lepas dari colonial.
Sentimen agama
sengaja dihilangkan oleh Belanda selain khawatir akan membangun
solidaritas yang kuat dan serangan balik dari rakyat yang sudah
mendapatkan informasi yang banyak dari Negara-negara Timur Tengah.
Kedua. Dalam pendapatnya, Snouck Hurgronje menyebutkan dengna bahasa
yang lugas “Sesudah pada tahun 1858, kekuatan Sultan Thaha semula
dipatahkan, maka ia diturunkan dari takhta tanpa benar-benar
menghilangkan pengaruh yang dimilikinya. Kemudian ia diganti oleh sultan
yang lain (Sultan Boneka) sementara ia terus menetap di negerinya.
Selain itu Belanda masih trauma dengan penyerbuan Markas Belanda di Muara Kumpeh ketika Belanda memaksa untuk memonopoli lada.
Rakyat Jambi kemudian menolak monopoli pembelian lada melalui Belanda.
Perlawanan dilakukan dengan menyerang kantor dagang Belanda dan
terbunuhnya Kepala dagang VOC, Sybrandt Swart. Sultan Sri Ingalogo
kemudian ditangkap kemudian diasingkan ke Batavia dan dibuang ke Pulau
Banda. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai perlawanan rakyat Jambi di
Muara Kumpeh.
Junaidi T Noor menyebutkan Sultan Thaha Saifuddin
berhasil menyerbu markas Belanda di Muaro Kumpeh. Pasukan Belanda dan
dibawah pimpinan Mayor Van Langen kemudian dikalahkan. Walaupun Belanda
didukung oleh 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada
25 September 1858.
Ketiga. Belanda juga masih memahami kekuatan
Kerajaan Jambi awal 17 ketika Kerajaan Jambi mulai menguasai jalur
perdagangan di pesisir Pantai Timur Sumatera.
Keempat. Belanda khawatir dengan cara menghapuskan wilayah Kerajaan Jambi sebagai bagian dari Kerajaan Turki.
Snouk Hurgronje mengetahui bagaimana upaya Sultan Thaha menyurati
Sultan Turki, melalui Singapore, untuk memperoleh cap yang menyatakan
bahwa Jambi merupakan bahagian dari wilayah vassal state Turki, agar
Belanda tidak berbuat sewenang-wenang. Sultan Thaha mempercayakan kepada
salah seorang putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk membawa surat ke
Turki.
Akan tetapi sesampainya di Singapure, surat tersebut diserahkan
kepada seorang pembesar dari keturunan Arab untuk dibawa ke Istambul
Turki dengan memberi imbalan sebesar 30.000 dollar Spanyol.
Dalam
bukunya, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial, Elsbeth
Locher-Scholten menyebutkan “Belanda khawatir apabila Kerajaan Jambi
mendapatkan stempel dari Turki, maka akan mempengaruhi diplomasi Belanda
di Eropa.
Belanda memahami kekuatan Turki dalam kancah Eropa sehingga akan mempersulit Belanda untuk menguasai Kerajaan Jambi.
Sikap Sultan Thaha Saifuddin kemudian mendorong Belanda untuk melakukan
ekspansi militer pada 1857 dan berhasil mengusir sultan dari istananya.
Dari tempat pengasingannya di daerah pedalaman Jambi (1857), Sultan Thaha coba mencari bantuan militer kepada Turki.
Namun kedudukan Sultan Thaha semakin dikepung. Bahkan semakin sempit
ketika Pasukan Belanda dari Palembang langsung mendirikan benteng di
Muara Tembesi tanggal 21 Maret 1901.
Turki kemudian pernah
memberikan bantuan dan tidak pernah sampai ke Sultan Thaha hingga Sultan
Thaha kemudian dinyatakan gugur tahun 1904.
Nama Sultan Thaha
Saefuddin kemudian diabadikan di bandara di Jambi. Namun “entah dengar
bisikan darimana”, Jokowi kemudian hanya menyebutkan “Sultan Thaha”
sebagai nama bandara di Jambi.
Penghilangan nama “Saefuddin”
justru akan menghilangkan makna essensial dari perlawanan Sang Pahlawan
Jambi. Namun yang paling mengkhawatirkan Pemerintah justru mengukuhkan
sikap arogansi Pemerintah colonial terhadap pengakuan Kerajaan Jambi.
Tanpa bermaksud untuk “menggurui” apalagi menyatakan “kekeliruan”,
penghilangan nama “Saefuddin” dikembalikan tetap menjadi Sultan Thaha
Saefuddin.
Lihatlah Nama Bandara Riau tetap menggunakan “Sultan
Syarif Kasim II”. Atau nama bandara di Palembang tetap mencantumkam
“Sultan Mahmud Badaruddin II”. Upaya ini belum terlambat sebelum berlarut-larut.
Catatan kaki
Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, hal. 2197
Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907), hlm.135. (Penulis Musri Nauli SH-Direktur Walhi Jambi)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE