Ilustrasi/Belajar Dari Merpati. |
Muara Sebo Ilir, Batanghari
Menit itu, gue berdiri di depan
si BIANG KEROK
Biang kerok yang tahunan selalu aja jadi bahan keributan
Biang kerok yang tahunan selalu aja jadi bahan keributan
Dia dicintai
Dia perebutkan
Dia dicari
Dia perebutkan
Dia dicari
Dia pernah dibakar hidup-hidup
Orang rela bunuh-bunuhan demi dia
Bukan cuma manusia, cuaca pun bisa berubah gegara biang kerok ini
Orang rela bunuh-bunuhan demi dia
Bukan cuma manusia, cuaca pun bisa berubah gegara biang kerok ini
Si merah kecil berminyak kayak
bibir abis pake lipgloss
Dia biang kerok, tapi dia biang
kerok GUE, KITA, di RUMAH KITA.
Kenalin, namanya si KELAPA SAWIT
.
Dan hari ini gue menulis dari
area seluas 5,1 jt HA yang 2,1 juta hektarnya adalah wilayah hutan dan 1,09
juta hektarnya jadi area konsesi tambang, dengan minimal 300-an konflik di area
sana sejak 1999.
Di mana ada manusia, dicampur
dengan alam yang kaya, maka kerakusan akan lahir.
Berakhir dengan kebakaran masiv
mulai 2010.
And here I am. Kali ini berbeda
dengan biasanya, kali ini gue berangkat dengan rombongan yang diberangkatkan
oleh RSPO alias Roundtable on Sustainable Palm Oil.
I know banyak yang akan
mempertanyakan.
But no worry, karna gue tahu di mana gue berdiri. Dan gue adalah tipe orang yang akan belajar dari semua sisi.
But no worry, karna gue tahu di mana gue berdiri. Dan gue adalah tipe orang yang akan belajar dari semua sisi.
Buat gue akan lebih mudah membela sesuatu atas dasar yang DILIHAT sendiri, bukan sekadar KATANYA.
Perkenalan gue sendiri secara
langsung dengan RSPO dimulai beberapa bulan lalu walaupun sudah pernah gue
denger sebelumnya.
Dan saat perkenalan mereka menanyakan gue apa pendapat gue mengenai mereka,
jawaban gue cuma satu:
“RSPO saya anggap seperti tukang
cap, ibaratnya helm harus ada cap SNI agar resmi atau makanan ada cap
sertifikat BPOM, ya itulah.
Tidak ada yang saya salahkan, tapi belum ada yang
perlu di-support juga. Karena menurut saya, percuma kalau toh yang ada di dalam
sana juga para pihak gak baik yang emang sekadar butuh cap itu”
Bulan berlalu sampai datanglah
undangan untuk bersama meninjau area sertifikasi mereka di sekitar Jambi.
Tanpa ragu, gue iyakan dan
berangkat bersama mereka, beberapa aktivis, musisi dan belasan media dan
bergabung di sana dengan yayasan Setara, jaringan pendampingan mereka.
Rombongan yang menyenangkan,
ramah, pertemanan baru selama 4 hari berkeliling mulai dari Jambi, Sarolangun,
Merangin, Tanjung Sehati, sampai masuk ke area perusahaan yang jelas sedang
bermasalah, ASIAN AGRI di Muara Bulian.
Untuk memperpendek cerita,
intinya selama perjalanan itu gue mendengarkan cerita dan presentasi demi
presentasi baik dari pihak RSPO mengenai syarat mereka agar perusahaan bisa
mendapatkan sertifikasi dengan pengawasan NGO2 yang bekerjasama dengan jaringan
mereka, bagaimana itu dijaga dan bagaimana hal itu bisa menguntungkan petani
dalam jangka panjangnya, lengkap dengan contoh petani yang dulu bahkan tidak
bisa membeli motor sekarang bahkan punya mobil, pun dengan rumah mereka yang
sekarang mapan.
Mungkin rasa penasaranlah yang
akhirnya membuat gue lebih memilih sering memisahkan diri dari rombongan resmi
dan lebih banyak ngobrol dengan para petaninya langsung selama perjalanan.
Karena toh kalau semua cerita ini benar, alangkah indahnya untuk para petani kita kan?
Karena toh kalau semua cerita ini benar, alangkah indahnya untuk para petani kita kan?
Dan disanalah keyakinan bahwa ini bisnis semata semakin teguh.
Satu aja contoh obrolan gue dengan seorang petani kurang lebih seperti ini.
Gue : Pak, gimana rasanya setelah
barengan dengan RSPO?
Petani : Apa itu mba?
Gue : Ya itu yang baru dijelasin di dalem, kan bapak duduk juga
Petani : Oh itu mah saya gak tau, baru dikasih tau kemarin, saya mah gak paham mba sertifikat sertifikat gitu, kertas sertifikat ya?
Gue : Loh lalu sekarang gimana soal harga sawit yang bapak panen?
Petani : Ya sama aja mba , gak ada bedanya , emang gimana mba?
Gue : Nah jadi kalo gitu sehari hari nya gimana pak?
Petani : Ya gak gimana-gimana mba, bangun ya saya ke kebun, yang penting bawa uang pulang untuk keluarga, yang penting bisa makan
Petani : Apa itu mba?
Gue : Ya itu yang baru dijelasin di dalem, kan bapak duduk juga
Petani : Oh itu mah saya gak tau, baru dikasih tau kemarin, saya mah gak paham mba sertifikat sertifikat gitu, kertas sertifikat ya?
Gue : Loh lalu sekarang gimana soal harga sawit yang bapak panen?
Petani : Ya sama aja mba , gak ada bedanya , emang gimana mba?
Gue : Nah jadi kalo gitu sehari hari nya gimana pak?
Petani : Ya gak gimana-gimana mba, bangun ya saya ke kebun, yang penting bawa uang pulang untuk keluarga, yang penting bisa makan
Dan seterusnya dan seterusnya ,
begitu juga dengan sekitar 7 petani lain di area yang berbeda.
(Dan saat gue mengadakan
wawancara dengan mas Imam dari RSPO, mengenai kok bisa seperti itu dan apakah
benar RSPO tidak pernah turun sendiri ke lapisan paling bawah, beliau
membenarkan dan bilang itu baru rencana ke depannya dan selama ini memang hanya
melalui jaringan pendampingan)
Oh well.
Ternyata masih sama. Petani akan
sama saja nasibnya.
Kalaupun hasil yang mereka panen menghasil kan uang besar sekalipun terjual ke luar negeri, mereka hanya akan mendapatkan jumlah yang sama kok.
Kalaupun hasil yang mereka panen menghasil kan uang besar sekalipun terjual ke luar negeri, mereka hanya akan mendapatkan jumlah yang sama kok.
Mereka adalah bahan bisnis, bukan
partner bisnis.
Dalam kesederhanaan mereka.
Dalam kesederhanaan mereka.
Well, sambil berusaha melupakan
sisi menyesakkan itu, gue mengikuti berbagai kegiatan, mulai dari mengenal buah
sawit, mencoba menanam, panen sampai melepas bibit ikan dan melihat ternak yang
menjadi alternatif usaha dari masyarakat sekitar, gue mulai berpikir mengenai
bisnis raksasa yang tampaknya tidak pernah bisa tersentuh.
Sedemikian besarkan hasil dari
buah kecil ini? Hingga orang rela membunuh?
Well, di satu sisi gue berharap
dengan segenap hati gue bahwa RSPO dan ngo ngo pendampingnya memperhatian
perusahaan yang memang melenceng dari syarat awal untuk mendapatkan sertifikasi
dan nama RSPO yang demikian besar pasti harus dijaga kredibilitasnya dan
siapapun anggotanya yang bermasalah pasti akan dicabut atau minimal dibekukan.
Yakin.
Minimal itu harapan gue.
Terutama kalau perusahaan itu jelas
merugikan rakyat.
Dan dengan pikiran seperti itu,
tanpa sadar gue sudah melangkah menuju satu area dengan papan nama besar, PT
IIS yang gue tau adalah anak dari ASIAN AGRI, yang JELAS bermasalah (bersama
dengan PT DAS) bahkan sudah putus di Mahkamah AGUNG, dalam kasus pengemplangan
pajak triliunan.
Masuk ke kandangnya langsung.
Kandang yang mematahkan harapan
gue pada media yang membawa nama media nama cukup kritis, dengan biasanya gue
baca tulisan mereka yang tajam tapi tidak satupun tampaknya bersuara tentang
ini.
Dan akhirnya dengan memberanikan
diri atas nama penasaran dan harapan, di kandang macan itu jugalah gue
memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang tampaknya dihindari semua orang.
Dan kembali gue duduk bareng
Community Outreach and Engagement Manager nya RSPO dan menanyakan mengenai
segalak dan se KOMIT apakah RSPO pada syarat dasar mereka yang mereka tentukan
di awal akan perusahaan yang diberikan sertifikasi ini.
Dan gue pun bertanya dengan
peluru data lengkap yaitu AsianAgri yang jelas terkena masalah dan PT KDA di
area tidak jauh yang JELAS terlibat konflik beberapa tahun sebelumnya dan
bahkan di 2015 terlibat pembakaran hutan.
Well, tampaknya harapan gue bahwa
badan ini bisa menjaga kelangsungan industri dengan baik pun harus kembali hilang.
KEKECEWAAN besar buat gue saat
penjelasan yang diberikan untuk kedua kasus tersebut (DAN KENAPA SAMA SEKALI
TIDAK ADA TINDAKAN ATAS MEREKA) kemudian dijawab dengan serendengan bahasa dan
istilah teknis tinggi yang membuat gue sebagai orang awam BINGUNG (apalagi
petani) dan malah dilarikan pada sebuah proses yang berujung pada dua hal:
1. Untuk PT KDA , HARUSNYA ADA
PROSES LAPORAN RESMI DLL YANG TIDAK BISA INSTAN (sesuai dengan prosedur yang
memang ada dalam syarat RSPO untuk bisa menindak) dan
2. Untuk kasus ASIAN AGRI (PT IIS
DAN DAS) bahwa PENGEMPLANGAN/KASUS PAJAK ini tidak related ke apa yang tertulis
dan mereka jalani dalam industri yang dinaungi oleh RSPO ini sehingga tidak
perlu dilanjuti.
(note: untuk transkrip wawancara
jelas dan detail bisa gue email sesuai permintaan, rekaman sekalipun. Agak
percuma aja ditulis di sini, karena cuma seperti membaca tata cara kerja odong
odong yang muter-muter aja)
Mungkin gue orang bodoh karena
masih berharap, mungkin gue orang gak nyentuh sekolahan makanya gak ngerti
istilah istilah yang tinggi yang mereka sebut tapi minimal gue orang jujur yang
tau di mana gue harus berpihak.
Minimal gue tidak buta untuk bisa
liat SIAPA yang diuntungkan dengan dari semua lembaran kertas sertifikasi atau
status apalah ini.
Depan wartawan sekalipun, petani jelas menyatakan TIDAK ADA perbedaan apapun dari penghasilan mereka. DI RUMAH MEREKA, DI TANAH MEREKA.
Depan wartawan sekalipun, petani jelas menyatakan TIDAK ADA perbedaan apapun dari penghasilan mereka. DI RUMAH MEREKA, DI TANAH MEREKA.
So, ATAS dasar ke TIDAK CERDASAN
gue, maka sebelum gue makin tenggelam dalam rangkaian kata njelimet, maka gue
memperpendeknya dengan mempertanyakan satu pertanyaan yang akan menjadi kunci
dari semua nasib dan perubahan nasib saudara-saudara kita.
Dengan harapan terakhir,
Maka gue mempertanyakan pertanyaan terakhir gue:
“Jadi intinya mas, dengan semua
kasus ini baik mau ada laporan atau gak, atau apapun itu istilahnya, kan ini
JELAS merugikan masyarakat dan menyalahi syarat kalian, APAKAH RSPO sudah ada
tindakan SAMA SEKALI, mengingat ini sudah TAHUNAN dan SUDAH TERBUKTI DI
MAHKAMAH AGUNG dan kasus lainnya juga sudah jelas?”
Dan jawaban terakhir yang gue
dapet sebelum rekaman gue matikan adalah sebuah kata pendek, jelas, singkat,
padat dan MEMBUNUH harapan gue:
“BELUM“
Dan menit itu gue tau ini bisnis
apa dan bahwa nasib petani masih tidak akan berubah.
Dan bahwa hari ini, kalau gue
ditanya apa pendapat gue mengenai RSPO maka jawaban saya adalah:
“Kita memerlukan mereka saat kita
membutuhkan cap. Sama aja kayak BpOM atau SNI dll, tapi sayangnya saat mau
ketukang cetak cap, duit buat bikin capnya gak cukup, jadi harus saweran dan
akhirnya yang mau minjemin duit ya orang-orang yang butuh cap itu nantinya“
Teori Odong Odong.
PS:
Sekadar tambahan data dan fakta, kenapa gue berani menanyakan dua kasus terakhir adalah karena bbrp fakta ini:
1. Gue memegang minutes of Meeting tertanggal 13 Nov 2013 termasuk siapa saja yang hadir membicarakan konflik Batu Ampar (KDA)
2. Gue memegang kertas laporan yang dimasukkan ke RSPO mengenai konflik yang ditimbulkan KDA ini tertanggal tahun 2012
3. Adanya report Side Meeting antara kawan kawan dengan RSPO di Singapore tahun 2012 dan Medan 2013
4.Adanya dokumen di tangan gue yang berisi keberatan terhadap tanah yang diambil oleh PT KDA (SinarMas melalui RSPO)
5. Dan untuk kasus, Asian Agri, well … saya rasa putusan MA sudah cukup terlalu kuat untuk dijadikan alasan pencabutan atau pembekuan, SEHARUS nya kan?
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE