Jambipos Online,
Jambi- Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat
kehilangan tutupan hutan masih terjadi di Provinsi Jambi sejak 2012 hingga
2016. Berdasarkan interpretasi Lansat 8 yang dilakukan Unit Geographic
Information Syatem KKI Warsi kurun waktu itu Provinsi Jambi kehilangan tutupan
hutan sebesar 189.125 Hektare (Ha) dari 1.159.559 Ha total hutan Jambi.
Demikian dijelaskan Maneger
Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf pada acara
Media Gathering menyambut Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada Minggu 5 Juni
2016, di Kantor Warsi Jambi, Jumat (3/6/2016).
Menurut Rudi Syaf, dalam
UU Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, secara jelas disebutkan bahwa
dalam rangka pelestarian lingkungan kawasan hutan yang mesti dipertahankan
minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai. Provinsi Jambi masuk dalam
empat DAS yaitu DAS Batanghari, DAS Betara, DAS Hitam Ulu, DAS Mendahara.
Dengan kondisi hutan yang kurang dari 1 juta ha, maka Jambi sudah kondisi
kritis. Hal itu terlihat dari tutupan hutan sudah kurang dari 20 persen.
“Hilangnya tutupan
hutan Jambi hampir 8 kali lapangan bola per jam. Ini angka yang cukup besar di
tengah upaya untuk mempertahankan hutan tersisi sebagai penyeimbang ekosistem.
Kehilangan hutan Jambi disebabkan aktivitas manusia, mulai dari konversi hutan
alam menjadi izin perusahaan hutan tanaman industri, pembukaan tambang bail
legal maupun ilegal. Bahkan kini penghilangan hutan sudah masuk dalam kawasan
lindungan,” ujar Rudi Syaf.
Disebutkan, dari
interprestasi yang dilakukan, kehilangan hutan yang paling banyak terpantau
berada di selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Di TNBT terpantau
aktivitas land clearing sejumlah perusahaan HIT, diantaranya oleh PT Lestari
Asri Jaya, PT Wana Mukti Wisesa.
Kemudian di Kabupaten
Bungo terdapat perusahaan Mugi Triman Internasional, Malaka Agro Perkasa.
Sementara di Kabupaten Merangin terdapat PT Hijau Arta Nusa dan Jebus Maju. Tak
hanya itu, dari pantauan KKI Warsi, hilangnya hutan dari konstribusi pembukaan lahan secara ilegal yang
dilakukan pihak-pihak lain.
“Pantauan KKI Warsi,
pembukaan lahan yang masif dilakukan di daerah Tebo, terutama sejak terbukanya
akses jalan ke kawasan hutan dengan dibangunnya koridor jalan yang
menghubungkan perusahaan HTI milik Sinar Mas dengan pabrik pengolahan kayunya
di Tebing Tinggi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Pembukaan lahan yang juga
masif terdapat di Kabupaten Merangin, khususnya Jangkat dengan dibukanya
kawasan TNKS dan penyangganya untuk perkebunan kopi,” jelas Rudi.
Disebutkan, kehilangan
hutan Jambi juga disebabkan hadirnya perusahaan tambang di dalam kawasan hutan,
baik secara legal maupun ilegal. Kawasan hutan yang dipinjam pakai oleh
Kementerian Kehutanan kepada perusahaan tambang pada rentang waktu 2013-2015
terdapat 84 ribu ha. Selebihnya pembukaan hutan untuk tambang dilakukan secara
ilegal.
“Pantauan yang
dilakukan KKI Warsi baru-baru ini, dalam DAS Batang Tabir Kabupaten Merangin,
tampak bukaan hutan yang cukup besar untuk areal pertambangan emas tanpa izin.
Bahkan pembukaan tambang ini sudah masuk ke dalam kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS),” kata Rudi.
Bencana Ekologis
Perubahan-perubahan
tutupan hutan di Provinsi Jambi itu penyebab semakin banyaknya bencana ekologi
yang menimpa Jambi dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Dari awal tahun 2016
saja, banjir bandang menghantam sejumlah tempat atau permukiman penduduk di
Merangin, Bungo dan Sarolangun.
“Kondisi ini
memperlihatkan bahwa kerusakan hutan yang terjadi telah menyebabkan hilangnya
keseimbangan ekosistem yang menimbulkan bahaya bagi kelangsungan hidup manusia.
Terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi pengrusakan hutan yang tengah
berlangsung,” jelas Rudi yang didampingi Humas KKI Warsi, Reni.
Menurut Rudi,
pemerintah hingga kini belum serius dalam melakukan perbaikan tata kelola
kehutanan sebagai bagian utama untuk menyelamatkan hutan. Seperti pembukaan
untuk areal hutan tanaman industri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun
2007 Pasal 38 menyebutkan, pemanfaatan hasil hutan pada HTI dilakukan pada
hutan produksi yang sudah tidak produktif.
“Menurut Kementerian
Kehutanan, kriteria hutan alam yang tidak produktif dicirikan oleh pohon yang
berdiameter kurang dari 20 cm dari 25 batang per ha. Pohon induk kurang dari 10
batang per hektar,” ujar Rudi.
Namun pada
kenyataanya, lanjut Rudi Syaf, berdasarkan analisis yang dilakukan HTI
dilakukan pada kawasan yang memiliki hutan alam yang masih bertutupan rapat.
Harusnya dipertahankan dalam rangka pelestarian ekosistem. “Untuk itu, yang
paling penting saat ini adalah kerja nyata pemerintah untuk melakukan perbaikan
tata kelola kehutanan, pada perusahaan hutan tanaman yang kini tengah
beraktivitas,” sebut Rudi.
Sedangkan untuk pihak
lain yang tengah melakukan pembukaan lahan secara ilegal harus dicarikan
solusinya yang tepat. Yang memberikan solusi untuk kebaikan ekologi dan tentu juga
untuk masyarakat yang sudah terlanjur berada di wilayah itu. Penegakan hukum
dan juga resolusi konflik dengan melibatkan mereka dalam skema pengelolaan
hutan bisa menjadi solusinya. (Asenk Lee Saragih)
Lahan HTI di lahan Gambut milik PT WKS di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Foto Asenk Lee Saragih. |
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE