Kebun Sawit Milik Warga Sungai Palas Kecamatan Berbak Kab Tanjabtim Terbakar Tahun 2015. |
Jambipos Online, Jambi-Akibat kebaran hutan dan lahan pada
tahun 2015 di Provinsi Jambi yang luasnya mencapai 130.000 hektar, kerugian
mencapai kurang lebih Rp12 triliun. Besarnya kerugian tersebut tentunya berimbas pada penurunan pertumbuhan
perekonomian Provinsi Jambi.
Sementara jumlah hot spot pada tahun 2015
sebanyak 1.654 titik. Dari data yang dicatat Pemerintah Provinsi Jambi, 90%
kebakaran hutan dan lahan akibat perbuatan manusia, 10% karena faktor alam.
Hal itu dikemukakan Gubernur Jambi Zumi Zola dalam Rapat
Koordinasi Tingkat Menteri tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan,
bertempat di Ruang Rapat Mahakam Gedung Ali Wardhana, Jakarta, Selasa (22/3/2016).
Zola menjelaskan, setidaknya ada tiga penyebab kebakaran
hutan dan lahan di Provinsi Jambi pada tahun 2015. Penyebab pertama yakni dunia
usaha belum secara maksimal menyediakan SDM dan sarana prasarananya, sekat
kanal saat itu belum maksimal, baik jumlah maupun fungsinya, dan kebiasaan
masyarakat membuka lahan dengan cara membakar.
Zola menambahkan, karhutla di Provinsi Jambi tahun 2015
diperparah karena banyanya kebakaran yang terjadi di lahan gambut. “Total lahan
gambut di Provinsi Jambi kurang lebih 900.000 Ha, yang mayoritas berada di 3
kabupaten, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Muaro Jambi,” sebut
Zola.
“Strategi pencegahan yang kami lakukan saat ini, membentuk
Posko Satgas Pencegahan dan Pegendalian Karlahut, deteksi dini hot spot yang
setiap hari kami laporkan kepada Ibu Menteri (Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Kami mengeluarkan Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan, pemegang izin (lahan) wajib membuat sekat kanal dan
embung air, sesuai arahan Ibu Menteri, kami sosialisasikan kepada semua
perusahaan,” ujarnya.
“NGO memfasilitasi mambantu kami untuk membangun sekat
kanal, sumur hydrant, dan juga embung air pada areal gambut di luar daerah
pemegang izin. Dengan kemampuan yang kami miliki, menyiapkan SDM,
sarana-prasarana, juga sosialisasi kepada masyarakat, melakukan rapat
koordinasi yang menghasilkan maklumat kesepakatan sesuai arahan dari Ibu
Menteri, salah satunya adalah punishment (hukuman) baik penjara
maupun denda. Kami tambahkan satu, perusahaan yang dengan sengaja
membakar, atau lelet dan tidak tanggap memadamkan titik api, saya
rekomendasikan untuk dicabut izinnya,” terang Zola.
“Sekat kanal, kami monitor pembuatannya di
perusahaan-perusahaan, salah satunya di WKS, dari 426 unit, sudah terbangun 300
unit dan saya sudah cek, sesuai dengan arahan dari Menteri PU, waktu pertemuan
sebelumnya di Kementerian Kehutanan. Kami merekomendasikan WKS untuk menyiapkan
2 unit helikopter untuk water bombing, kami juga melakukan sekat kanal di
Tahura, sudah 2 unit yang dibuat dan akan ditambah 5 unit lagi,” tutur Zola.
Zola mengungkapkan, hambatan penanggulangan karhutla di
musim kemarau adalah sulitnya mendapatkan air, terutama dengan luasnya lahan
gambut yang sulit dijangkau serta kebiasaan masyarakat membakar lahan.
Selain mengharapkan dukungan dana dari Pemerintah Pusat
dalam pencegahan dan pengendalian karhutla, Zumi Zola juga mengharapkan
dukungan dari Menko Perekonomian dan Pemerintah Pusat agar PT Angkasa Pura
memasang Instrument Landing System (ILS) di Bandara Sultan Thaha
Jambi.
Lebih jauh Zumi Zola mengatakan, hal ini berkaitan dengan
lumpuhnya Bandara Jambi selama masa kabut asap karhutla tahun 2015 lalu.
“Selama 3 bulan Bandara Jambi lumpuh dan masyarakat harus berangkat lewat
Palembang, termasuk rombongan haji kami dari Jambi. Saya sudah ketemu dengan
pimpinan Angkasa Pura II, permintaan kami kalau bisa sebelum Agustus, sebelum
masuk musim kemarau,” harap Zola.
Zumi Zola menambahkan, berkaitan dengan CSR perusahaan
perkebunan dalam hubungannya dengan pencegahan dan pengendalian karhutla, agar
CSR perusahaan perkebunan juga dialokasikan untuk pencegahan dan pengendalian
karhutla.
“Mungkin ini adalah momen yang terbaik perusahaan
perkebunan menggunakan CSR-nya untuk dapat mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Selama ini, CSR lebih pada sumbangan, karena tidak ada ketentuan jumlahnya.
Kalau bisa menyarankan, CSR untuk perusahaan perkebunan ditentukan berapa besarannya
setahun, jadi mereka tidak menyumbang. Sekarang mereka tanggap, mungkin karena
kejadian tahun 2015 yang lalu, mereka masih dimonitor, saya lihat masih ada
kekuatiran dari pengusaha-pengusaha ini, tetapi mudah-mudahan, concern mereka
seterusnya,” jelas Zola.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin
Nasution menyatakan, rapat koordinasi ini adalah upaya membangun model yang
baru, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dimana pola selama ini tidak
patut lagi dipertahankan. “Kita disalahkan dunia, dunia internasional tidak
selalu bisa menerima argumentasi kita. Kita tidak mengatakan kita yang
terdepan, tetapi kita sangat siap mendiskusikan permasalahan ini,” ujar Darmin.
Mantan Gubernur Bank Indonesia ini mengemukakan, pencegahan
dan pengendalian karhutla identik dengan penyelamatan dari krisis dalam
pengawasan bank. “Dalam penyelamatan dari krisis, supervisory action-nya
harus kuat, baru kita berangkat sedikit dari level yang berbeda, atinya ada
level yang standar,” kata Darmin.
“Kita harus cari tahu berapa desa dan desa mana saja yang
rawan dan yang sangat rawan kebakaran, baru kita pilih yang bisa kita handle,”
tambah Darmin.
Darmin menekankan, pencegahan dan pengendalian karhutla
tidak bisa hanya menyatakan bahwa lokasi karhutla di provinsi atau di kabupaten
mana, tetapi harus lebih spesifik ke level desa, dan untuk itu harus dipetakan
desa yang rawan dan sangat rawan karhutla (yang palingcritical). “Meskipun
pemetaan ini bisa meleset, tetapi harus dilakukan,” ungkap Darmin.
Darmin juga mengemukakan untuk membangun crisis
centre, kemudian meminta bantuan internasional. “Karena mereka juga punya
kepentingan supaya karhutla tidak terulang,” sebut Darmin.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya,
menekankan pencagahan dan pengendalian karhutla ini harus dimonitor sepanjang
tahun, tidak bisa lagi dikatakan karhutla pada musim kemarau, karena sebelum
musim kemarau pun, sudah mulai banyak titik api, seperti di Riau. “Harus dicek
tiap hari,” sebut Siti.
Dikatkan oleh Siti, dari pengamatan UPP Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama bertahun-tahun, ada 371 desa sangat rawan
karhutla, sembari berharap ada insentif dan disindentif bagi desa yang bisa
mencegah dan mengendalikan karhutla, terutama dari 371 desa yang sangat wrawan
tersebut.
Siti mengemukakan, perintah presiden yang mengatakan ketika
ada api langsung dipadamkan, terbukti efektif dan manageable.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional, Fery Mursydan Baldan menegaskan,”Mau dibakar atau terbakar, kalau
sampai 40% terbakar, Hak Guna Usaha dipotong, kalau diatas 50%, izin akan
dicabut.”
Menteri Desa, Marwan Jaffar mengemukakan, Pendamping
Desa juga diarahkan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat
desa tentang pentingnya tanggap terhadap karhutla serta capacity building tangguh
bencana dan tangguh karhutla.
Kepala Bappenas, Sofyan Djalil menekankan, begitu ada Hak
Guna Usaha (HGU) yang diterima perusahaan, berarti ada hak dan kewajiban, dan
pencegahan dan pengendalian karhutla di lahan HGU adalah kewajiban perusahaan.
Sofyan Djalil mengusulkan agar di desa-desa high risk karhutla
ditempatkan Babinsa, dan polisi untuk represif paling awal.
Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro menyatakan, dalam
pencegahan dan pengendalian karhutla, dimanfaatkan dulu dana daerah. “Kita
manfaatkan dulu dana daerah, selain itu kita minta dana internasional, yang
dikoordinir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ungkap Bambang
Brodjonegoro.
Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead lebih teknis
menjelaskan tata kelola gambut, diantaranya dengan mensekat kanal, yang
diistilahkannya dengan penyekatan kanal atau sekatisasi kanal. “Jadi, bukan
kanalisasi, tetapi sekatisasi kanal,” sebut Nazir Foead. (JP-03)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE